14 Agustus 2005

689. Memorandum of Understanding

The Memorandum of Understanding covers the following topics: governing of Aceh (including a law on the governing of Aceh, political participation, economy, and rule of law), human rights, amnesty and reintegration into society, security arrangements, establishment of the Aceh Monitoring Mission, and dispute settlement. The Government of Indonesia has invited the European Union and a number of ASEAN countries to carry out the tasks of the Aceh Monitoring Mission." (Press Release, Joint statement by the Government of Indonesia and the Free Aceh Movement (GAM), Helsinki, 17 July 2005)

Besok, tanggal 15 Agustus 2005, insya Allah, draft Memorandum of Understanding (MoU) akan ditandatangani di Helsinki. Sejak 27 Januari 2005 dimulailah perundingan informal antara NKRI dengan GAM sampai lima babak yang diakhiri pada tanggal 17 Juli 2005 di Helsinki. Pada hari itu telah diparaf draft MoU oleh ketua Juru Runding RI dan Ketua Juru Runding GAM.

Dengan adanya tsunami 26 Desember 2005, ternyata telah membuka pintu bagi penyelesaian konflik di Aheh. Baiklah kita kutip paragraf terakhir Seri 657, berjudul "Gempa Diikuti Tsunami, Isyarat Allah", bertanggal 2 Januari 2005, seperti berikut:

"Aceh perlu dibangun dari reruntuhan. Sejarah pertikaian politik dan senjata perlu dilupakan. Blok-blok psikologis ditepis, semuanya memfokuskan perhatian pada kerja berat, dan dana yang tidak sedikit sekitar Rp.10 triliun, serta makan waktu yang panjang untuk membangun Aceh kembali. Ya, semuanya, bukan orang Aceh saja tetapi seluruh rakyat Indonesia, rakyat sipil, birokrat, Polri, ABRI dan GAM. Darurat sipil dicabut disertai amnesti umum dan GAM mundur selangkah, menerima kenyataan Otonomi Khusus "Syari'at Islam" di Nanggroe Aceh Darussalam dalam pangkuan Republik Indonesia. Semoga isyarat Allah berupa tsunami itu dapat dihayati dengan baik, sehingga terciptalah damai di Aceh."

AlhamduliLlah, hal yang penting yang patut disyukuri dalam MoU itu ternyata GAM telah mundur selangkah, yaitu menerima kenyataan Otonomi Khusus "Syari'at Islam" di Nanggroe Aceh Darussalam dalam pangkuan Republik Indonesia.

Wakil Presiden HM Jusuf Kalla, di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat 22 Juli 2005 berkata: Kalau yang menolak MoU Helsinki hanya satu partai artinya 80 persen suara sudah menerima. Jadi selesai. Dan siapa yang tidak ingin damai, silakan ke Aceh sendiri untuk angkat senjata. Wapres rupanya mencium bau-bau tidak enak dari sementara golongan yang tidak senang terhadap MoU yang telah disepakati/diparaf itu.

Dan bau tidak enak itu memperlihatkan wajahnya, tatkala Ketua Umum DPP PDIP Megawati menunjukkan sikap negatifnya terhadap Kesepakatan Helsinki yang tertuang dalam MoU tersebut. Hal itu terbongkar ketika Megawati di hadapan peserta kursus reguler Lemhanas angkatan 38 di Gedung Lemhanas, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Kamis, 28 juli 2005 telah melambungkan salto penentangannya terhadap MoU yang akan ditanda-tangani besok, insya-Allah, 15 Agusutus 2005 tersebut.

Penentangan PDIP terhadap MoU itu apapun alasannya mengingatkan kita pada waktu mulai diproses UU tentang otonomi khusus Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Baiklah kita kutip dari Seri 474, bertanggal 13 Mei 2001. "PDIP menolak pemberlakuan Syari'at Islam dalam RUU Nanggroe Aceh Darusslam yang kini sedang dibahas dalam Pansus DPR. Demikian ditegaskan Sutjipto, Sekjen yang juga ketua fraksi PDIP di MPR, setelah menghadiri rapat tertutup PDIP yang dipimpin Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. RUU Nanggroe Aceh merupakan salah satu fokus utama pembahasan dalam rapat tertutup itu. Syari'at Islam di bumi Serambi Mekah itu katanya tidak sesuai dengan Pancasila dasar negara dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)." Ada apa sebenarnya antara PDIP dengan Aceh?

***

Walaupun MoU itu belum diumumkan apa isinya, namum tidak dapat tidak dalam hasil kesepakatan Helsinki itu patut diduga tentu ada yang menyangkut masalah amandemen Undang Undang No.18/2001 atau Undang Undang No.31/2002, yaitu tentang hak partisipasi politik secara adil yang salah satunya melalui partai politik lokal di Aceh, maka mau tidak mau pihak DPR harus melakukan amandemen Undang Undang tersebut.

Tampaknya ada kartu kuat yang dimiliki oleh pihak Eksekutif dibanding kartu yang dimiliki pihak Legislatif terutama dari kelompok PDI-P yang menguasai sekitar 109 kursi di DPR ditambah dengan kolaborasinya dari PKB yang menduduki 52 kursi. Apabila harus terjadi sampai pemungutan suara untuk meratifikasi MoU yang ditandatangani 15 Agustus 2005, dan amandemen Undang Undang No.18/2001 atau Undang Undang No.31/2002, maka melihat secara teoritis pihak PDI-P dan PKB akan kalah dalam pemungutan suara. Dan hal ini telah diperhitungkan pihak Eksekutif, sehingga Jusuf Kalla berani menyatakan: Kalau yang menolak hanya satu partai artinya 80 persen suara sudah menerima. Jadi selesai. Dan siapa yang tidak ingin damai, silakan ke Aceh sendiri untuk angkat senjata, seperti yang telah ditulis di atas itu.

Firman Allah:
-- FAaDzA FRGhT FAaNShB . WALY RBK FARGhB (S. ALANSyRAh, 94:7,8), dibaca: faidza- faraghta fanshab . waila- rabbika faraghab, artinya: apabila engkau telah selesai (satu tahap), berupayalah (melanjutkannya) . Dan kepada Maha Pengaturmu berharaplah. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 14 Agustus 2005