13 Juni 1993

083. Menghimbau Kepada Kebaikan, Menyuruh yang Ma'ruf dan Mencegah yang Mungkar

Judul di atas itu adalah terjemahan dari S. Ali 'Imran 104: ....yad'uwna ila lkhayri wa ya^muruwna bi lma'ruwfi wa yanhawna 'ani lmunkari ....

Menghimbau atau mengajak di satu pihak dengan menyuruh dan mencegah di lain pihak mempunyai perbedaan yang menyolok. Kalau yang dihadapi di luar jalur kontrol kita, maka kita tidak dapat menyurhnya ataupun mencegahnya. Kita hanya dapat menyuruh ataupun mencegah seseorang apabila dia itu di dalam jalur kontrol kita. Contohnya si Ali yang bupati dalam kedudukannya sebagai bupati dapat memerintah ataupun menyuruh si Alwi yang camat dalam urusan pemerintahan, oleh karena si Alwi yang camat berada dalam garis komando si Ali yang bupati. Akan tetapi si Ali yang sama tidak dapat memerintah si Alwi dalam hal pergi memancing ikan, karena dalam hal ini si Alwi sebagai individu tidak lagi berada dalam jalur kontrol si Ali sebagai individu. Maka sebagai individu si Ali paling-paling hanya dapat mengajak ataupun menghimbau si Alwi sebagai seorang individu untuk pergi memancing.

Saya teringat suatu kejadian satu generasi sebelum saya, seorang muballigh datang kepada seorang gallarang yang peminum yang sedang minum. Muballigh tersebut langsung melarang si gallarang minum tuak. "Hai tuan gallarang jangan minum tuak, itu haram", muballigh melarang. "Apa nukana (apa katamu)", bentak sang gallarang, "he Anu alleanga' ballo' siguci (bawa kemari seguci tuak)". Kemudian tuak seguci itu dituangkan ke tubuh sang muballigh. "He, ini mandilah tuak". Ada pula seorang imam kalau ia mendapat laporan di sebuah tempat ada pattujuang, maksudnya pesta minum tuak, yang istilah sekarang tuak party, sang imam mendatangi tempat itu lalu menantang mereka: "Inai rewa anrinni (siapa yang berani melawan di sini)". Dan kalau jagonya peminum ada yang berani, sang imam yang juga jago silat, dalam tempo yang singkat, namun sengit, segera dapat melumpuhkan si jago tuak. Setelah pertarungan itu selesai, sang imam baru mengeluarkan perintah melarang minum minuman keras itu.

Pada kasus yang pertama, sang muballigh seharusnya mengaplikasikan fungsionalisasi ajaran Islam itu dengan cara menghimbau. Untuk itu ada metodenya menurut Al Quran:

Ud'u ila- sabiyli rabbika bi lhikmati wa lmaw'idzati lhasanati wa jadiluhum billatiy hiya ahsan, himbaulah ke dalam jalan Maha Pengaturmu dengan bijak dan informasi yang jelas dan berdiskusilah dengan mereka itu dengan sebaik-baiknya.

Sedangkan pada kasus yang kedua, sang imam lebih dahulu menanamkan wibawa untuk meletakkan para peminum itu di bawah jalur kontrol sang imam. Sesudah jalur kontrol itu diperolehnya barulah ia melarang minum tuak. Jadi sang imam dalam rangka fungsionalisasi ajaran Islam ia memakai jalur nahie munkar mencegah kemungkaran, dengan mekanisme pertarungan fisik.

Maka menyeru kepada kebaikan itu dihadapkan kepada mereka yang diluar jalur kontrol, dengan metode da'wah: bijak, informasi yang baik dan diskusi. Sedangkan menyuruh yang ma'ruf utamanya mencegah yang mungkar haruslah diciptakan jalur kontrol terlebih dahulu, tegasnya penting adanya mekanisme yang menutup kesempatan berbuat curang. Ibarat mekanisme berupa tudung saji untuk melindungi makanan atau sajian dari terkaman kucing. Jadi fungsionalisasi ajaran Islam itu haruslah berupa gabungan antara memperbaiki niat manusia dengan yad'uwna ila lkhayr, dan mekanisme untuk menutup kesempatan dalam rangka nahi mungkar, oleh karena berbuat jahat itu penyebabnya adalah kombinasi antara niat yang jahat dan kesempatan yang terbuka lebar.

Baru-baru ini timbul heboh akademik tentang jual-menjual skripsi, katakanlah heboh plagiat akademik. Untuk mencegah kemungkaran ini dalam tubuh organisasi Lembaga Perguruan Tinggi perlu adanya mekanisme pada ujung tombak organisasi yaitu jurusan. Apa yang saya kemukakan ini, yaitu mekanisme untuk mencegah kemungkaran plagiat akademik, bukanlah suatu imajinasi. Mekanisme ini telah bertahun-tahun dipakai di Unhas maupun di UMI. Mekanisme itu dalam tahap awal adalah seminar judul. Judul yang telah disetujui oleh pembimbing diseminarkan. Tujuannya agar supaya tidak tejadi duplikasi skripsi. Mekanisme selanjutnya adalah seminar skripsi. Tujuan seminar utamanya adalah untuk mengetahui apakah mahasiswa betul-betul melakukan penelitian sesuai apa yang ditentukan dalam seminar judul. Yang lebih utama apakah ia menguasai materi skripsi. Dalam seminar isi skripsi ini akan kentara betul jika mahasiswa itu dibuatkan oleh orang lain. ekanisme terakhir tentulah seperti pada Lembaga Perguruan Tinggi lainnya adalah ujian meja. Mudah-mudahan mekanisme ini dapat diaplikasikan pula pada Perguruan Tinggi yang lain, sehingga kemungkaran plagiat akademik dapat diperkecil sekecil-kecilnya, insya Allah. WaLla-hu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 13 Juni 1993