28 November 1993

105. Mengendalikan Tiga Sekawan

Di negara-negara maju dalam arti materiel yang ditakar dengan GNP, tiga sekawan modal - industri - teknologi saling pacu. Sebabnya ialah lebih banyak investasi modal di bidang industri akan menghasilkan kwantitas luaran industri yang lebih tinggi. Sebagian dari output itu dipakai untuk menambah investasi dan sebagiannya pula dipakai untuk biaya riset pengembangan teknologi. Maka tiga sekawan tersebut, ibarat roda yang berputar makin lama makin cepat. Keadaan saling pacu tersebut dinamakan umpan balik positif. Ungkapan ini dipinjam dari dunia permesinan. Keadaan umpan balik positif ini dalam teknik mengatur adalah keadaan yang tidak dikehendaki. Suatu poros yang berputar makin lama makin cepat akhirnya akan patah, karena poros itu dibebani momen puntir yang kian membesar. Dalam teknik mengatur didesainlah gabungan tiga jenis pengaturan PDI (proporsional, diferensial, integral) sehingga sistem itu tidak akan mengalami umpan balik positif.

Tiga sekawan yang saling pacu itu akan mengambrukkan sistem sosial, ibarat poros mesin yang patah. Adapun beban momen puntir dalam sistem sosial ini berupa kesenjangan sosial dalam bentuk makro yang berwujud pembagian dunia: utara - selatan, pengurasan sumberdaya alam, dan pencemaran global termasuk di dalamnya kesulitan dalam pembuangan limbah industri.

Tiga sekawan ini mulai berpacu dalam sejarah sejak peristiwa yang dikenal dengan revolusi industri. Metodologi keilmuan yang dipungut barat dari dunia Islam, yaitu menguji kebenaran teori secara experimental, menyebabkan kemajuan sains di barat mulai dari era Newton dalam abad ke-17. Kemajuan sains ini merambat dan memacu perkembangan teknologi dalam abad berikutnya tatkala James Watt mendapatkan mesin uap atau lebih tepat jika dikatakan mempermaju mesin uap Newcome (1712). Substitusi tenaga otot manusia dan binatang dengan tenaga mesin ini beserta dengan persediaan batubara yang banyak di Cornwall dan Lancashire melahirkan revolusi industri di Inggeris dan merupakan titik mula gerak saling pacu tiga sekawan modal - industri - teknologi.

Orang Yahudi yang hidup di Eropah dengan ciri khasnya yang eksklusif, menyebabkan mereka dilarang berdagang barang-barang pokok kebutuhan hidup. Untuk dapat bertahan hidup mereka itu berdagang uang, menjadi rentenir. Revolusi industri yang membutuhkan uang menjadikan perdagangan uang orang Yahudi menjadi subur yang meningkatkan mereka dari rentenir menjadi bankir. Dan dari sinilah asal muasalnya mengapa orang Yahudi menguasai pasar modal hingga kini, bahkan meraka juga memutar modal petro dollar dari negara-negara Arab.

Orang-orang barat memungut pengetahuan dari dunia Islam secara parsial, yaitu hanya memungut metodologi keilmuan. Sedangkan sistem sosial menurut ajaran Islam tidak dipungutnya. Ini dapat dimaklumi oleh karena mereka itu tidak beragama Islam. Sistem sosial yang sudah terlanjur dalam keadaan umpan balik positif dari tiga sekawan itu dewasa ini, tidak mempunyai alat kontrol semacam pengatur PDI dalam sistem permesinan.

Salah satu Rukun Islam ialah zakat, baik yang bersifat konsumtif yang disebut zakat fithri, maupun yang bersifat produktif yang disebut zakat tijarah atau zakat dagang. Bagaimana zakat dagang ini dikenakan pada industri? Sebenarnya dagang dengan industri tidak berbeda secara esensial, yaitu keduanya berkisar pada membeli dan menjual. Kalau orang membeli kayu gelondongan dan juga menjual kayu gelondongan disebut dagang kayu gelondongan. Tetapi kalau membeli kayu gelondongan dijadikan balok kayu dan papan lebih dahulu sebelum dijual disebutlah industri penggergajian kayu. Jadi membeli barang kemudian menjualnya tanpa mengolahnya maka itu dagang. Tetapi kalau beli - olah - jual maka itu industri. Walhasil perlakuan ataupun perhitungan zakat tijarah terhadap industri tidak berbeda dengan terhadap dagang.

Pertumbuhan modal dengan sistem kredit berbunga ibarat lilin cair yang menitik membentuk tumpukan-tumpukan ataupun gunung-gunung lilin. Tetapi sebaliknya dapat pula menjurus pada kredit macet yang berlanjut pada penyitaan barang jaminan di satu pihak atau ambruknya bank pada pihak yang lain. Pertumbuhan modal dapat terkendali dengan sistem zakat tijarah. Tidak seperti pada sistem kredit berbunga, sistem zakat tijarah ini potongan yang berupa zakat dari output industri itu dikelola oleh lembaga Baytu lMaal yang pegawainya disebut 'Aamil. Di sini tidak dikenal kredit berbunga dari nasabah melainkan sistem pemberian modal usaha kepada bakal pengusaha yang dididik oleh 'Aamil utamanya dalam hal manajemen sebelum diberi modal usaha. Kalau usahanya macet tidak ada penyitaan karena modal itu diberikan. Kalau usahanya maju maka ia harus mengeluarkan zakat mengisi Baytu lMaal. Sistem zakat tijarah ini ibarat cairan aspal yang menitik, tidak akan terbentuk tumpukan-tumpukan aspal, melainkan cenderung untuk merata.

Sistem perbankan Islam, yaitu sistim mudharabah, bank dengan nasabah berbagi keuntungan dan bersama menanggung risiko, yang diterapkan sekarang diharapkan dapat melepaskan diri dari sistem kredit berbunga yang mendominasi dunia sekarang ini. Tahapan selanjutnya adalah sistem perbankan Islam tersebut berjalan seiring dengan sistem Baytu lMaal, sistem pemberian modal usaha tersebut. Lalu siapa yang harus menjadi pemilik Baytu lMaal? Di negara-negara yang berdasar Islam, artinya hukum-hukum positifnya bersumber dari Al Quran dan Hadits, pemilik Baytu lMaal adalah negara. Di sini zakat tijarah itu dapat dianggap pajak. Sedangkan di negara-negara yang tidak berdasar Islam, yang hukum-hukum positifnya tidak bersumber dari Al Quran dan Hadits, pemilik Baytu lMaal adalah yayasan yang berbadan hukum, dengan komisaris Majelis Ulama. Dalam hal ini jelaslah pula bahwa zakat tijarah tidak boleh dianggap sama dengan pajak. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 28 November 1993