3 Juni 2007

781. Tragedi Berdarah Pasuruan, Empat Tewas

Bentrokan Pasuruan, menurut versi yang dikemukakan Komandan Korps Marinir (Dankormar) Mayjen Safzen Nurdien dalam jumpa persnya di Markas Marinir I di Jalan Opak, Surabaya, Rabu (30/5), tembakan itu dilakukan untuk membela diri lantaran diserang warga tatkala melakukan patroli di desa tersebut. Tatkala melakukan penyerangan, warga terlihat membawa clurit, batu dan kayu. Anggotanya sudah berupaya menghalau dengan memberikan tembakan peringatan ke atas. Karena tak takut, akhirnya, pasukan melakukan tembakan ke tanah yang kemudian diperkirakan memantul dan mengenai para korban.

Keterangan Safzen Nurdien yang menyatakan: "anggotanya memberikan tembakan peringatan ke atas. kemudian tembakan ke tanah," itu merupakan kebohongan publik. Bagaimana bisa tembakan ke atas atau ke tanah, kalau kenyataan bicara lain. Di belakang rumah Misnatun yang pada hari Rabu dipasangi police line masih terlihat bercak isi kepala Khotijah yang menempel di daun pintu. "Ini isi kepala isteri saya yang belum dibersihkan," kata Misnatun dengan mata berkaca-kaca." Kepala Khotijah yang sedang hamil 4 bulan itu diterjang peluru tepat mengenai kepalanya hingga tembus ke belakang. Sutam diterjang peluru menembus tengkuk di belakang kepalanya. Dada Mistin diterjang peluru tembus ke punggungnya dan merobek dada anaknya Khairil Agung bocah yang masih berumur 3 tahun. Peluru-peluru itu "menyanyi" bahwa itu berasal dari tembakan mendatar para Marinir, bukan tembakan peringatan ke atas, bukan tembakan ke tanah, seperti kebohongan publik yang dinyatakan Safzen Nurdien dalam jumpa persnya. Tidak masuk akal perempuan hamil 4 bulan dan perempuan yang mnggendong anaknya akan menyerang yang membahayakan para Marinir.

Tindakan Marinir melakukan penembakan terhadap para petani menuai kecaman. Penyerangan dan penembakan itu melanggar hukum bahkan itu pelanggaran HAM berat. Seharusnya TNI AL menahan diri untuk tidak melakukan penembakan dan anarkis terhadap warga. Pencopotan Komandan Pusat Latihan tempur (Danpuslatpur) Marinir, Mayor Husni Sukarwo pasca tragedi berdarah Pasuruan dinilai belum cukup oleh Ali Mochtar Ngabalin yang anggota Komisi I DPR RI. Panglima TNI harus mencopot Dankormar Mayjen Safzen Nurdien. Menurut Ngabalin dalam UU TNI No.34/2004,selain perang, operasi militer hanya bisa dilakukan terhadap kelompok separatis dan teroris. "Tapi warga Alas Tlogo, Pasuruan bukan separatis maupun teroris. Di sana juga tidak ada urusan Marinir. Itu wewenang polisi. Marinir tidak seharusnya melakukan arakisme begitu, sebab senjata dibeli lewat APBN yang jelas-jelas dari rakyat," tegas Ali.

Pada pihak lain, LBH Surabaya memberikan versi yang berbeda atas tragedi berdarah tersebut. Bentrokan antara warga dan marinir bermula dari upaya pembuldoseran tanaman warga di atas tanah yang masih berstatus sengketa oleh pekerja dari PT Rajawali, sebuah perusahaan hotikultura yang menjadi mitranya TNI AL. Untuk menjalankan aksinya itulah, para pekerja dikawal oleh para Marinir. Menurut Herlambang dari LBH Surabaya, menyusul reformasi, terjadi proses re-claiming oleh warga Alas Tlogo dan sekitarnya terhadap tanah-tanah mereka yang sebelumnya dikuasai pihak TNI AL. Ketika itu, kata dia, terjadi kesepakatan bahwa pemukiman TNI AL (Prokimal) tak akan diutak-utik, namun lahan pertanian dikembalikan kepada warga untuk digarap.

Permasalahannya, sejak terjadi pergantian komandan tahun lalu, terjadi kebijakan yang berbeda. Aksi kekerasan terhadap petani kembali marak. Beberapa kali warga dilaporkan dibawa secara paksa ke markas Marinir. "Komandan yang baru sepertinya memang tidak mengerti tentang kasus tanah,"ujar Herlambang. Menurut Muhamad Faiq Asidiki, Kordinator Divisi Tanah dan Lingkungan LBH Surabaya, sebenarnya sebagian lahan pertanian yang diaku milik TNI ternyata dialihfungsikan sebagai lahan pertanian hotikultura oleh PT Rajawali. Perusahaan yang antara lain menanam tebu dan mangga ini mendapat konsesi pertanian dari pihak TNI AL. "Warga jelas bertanya-tanya, mengapa bukan mereka yang mendapatkan hak itu sebagai penduduk setempat dan juga pemilik awalnya sebelum diambil alih," tandas Faiq.

***

Bentrokan Pasuruan menambah panjang daftar kekerasan terhadap petani yang melibatkan aparat pertahanan. Sebelumnya, kasus serupa juga terjadi di desa Sukamulya, Rumpin, Bogor, 22 Januari lalu. Ketika itu, warga terlibat bentrok dengan TNI AU yang mengklaim tanah yang dikuasai warga sebagai milik mereka. Dalam kejadian itu, sekurang-kurangya 2 orang dilaporkan ditembak. Konflik antara tentara dan warga umumnya mencuat lantaran perbedaan pengakuan hak atas tanah. Dalam kasus sengketa tanah di Jatiwangi di Majalengka, Jawa Barat, umpamanya, pihak AU mengklaim hak tanah lantaran dulunya di lahan yang disengketakan tersebut merupakan pangkalan udara AU Jepang. Sebaliknya, masyarakat setempat bersikukuh bahwa lahan tersebut merupakan milik keluarga mereka yang disita oleh Jepang.

Bentrokan Pasuruan yang melibatkan warga desa Alas Tlogo dengan pasukan marinir tak hanya mengundang kecaman, tapi juga menuai spekulasi terhadap rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengimplementasikan reforma agraria. Program ini merupakan janjinya dalam pilpres 2004 silam. Spekulasi, atau tepatnya kekhawatiran tersebut, terkait dengan dugaan adanya benang merah terhadap kekerasan terhadap petani selama tahun 2007 ini. "Ini masih analisa sementara,"ungkap Usep Setiawan, Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria kepada berpolitik.com. Usep menilai, bentrokan Pasuruan dapat diindikasikan sebagai keengganan militer untuk turut menyukseskan rencana SBY melakukan penataan agraria. Karena itu, ia berharap SBY segera mempertegas rencana penataan agraria yang hendak digulirkannya itu. "Langkah awalnya, SBY selaku panglima tertinggi TNI segera menggiring kembali TNI untuk kembali ke barak dan menegaskan posisi polisi sebagai penjaga keamanan dan TNI bukannya centeng bagi perusahaan-perusahaan yang terlibat konflik agraria dengan masyarakat," paparnya.

Firman Allah, yang seharusnya dicamkan baik-baik oleh para petinggi TNI:
-- FHL ‘ASYTM AN TWLYTM AN TFSDWA FY ALARDh WTQTh’AWA ARhAMKM (S.MhMD, 47:22), dibaca:
-- fahal ‘asaitum tawallaitum an tufsidu- fil ardhi watuqaththi’u- arha-makum, artinya:
-- Maka apakah jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kemanusiaan?
WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 3 Juni 2007