25 November 2007

803. S. Madjidi yang Rasional vs "Islam Liberal"

RasuluLlah mendapati penduduk Madinah sedang mengawinkan kurma, lalu RasuluLlah memberikan tanggapan mengapa mesti kurma itu dikawinkan segala, mengapa tidak dibiarkan begitu saja. Penduduk Madinah yang petani kurma itu berhenti mengawinkan kurmanya. Kemudian ternyata produksi kurma menurun karenanya. Para petani kurma melaporkan panen kurma yang menurun itu kepada RasuluLlah. Maka keluarlah sabda RasuluLlah: Wa antum a'lamu biamri dunyaakum Kamu sekalian lebih mengetahui urusan duniamu.
S.Majidi yang terkenal tinggi manthiqnya memperhadapkan asbab al-wurud (latar belakang lahirnya Hadits) tersebut terhadap ayat:
-- SBhN ALDzY KhLQ AZWAJ KLHA MMA TNBT ALARDh (S.YS, 36:36), dibaca:
-- subha-nal ladzi- khalaqal azwa-ja kullaha- mimma- tumbitul ardhu.
Ikutilah rentetan kata faham yang mengunci semua kalimat beliau: "Mimma- tunbitul ardh, faham? Al azwa-j, faham? Tumbuh-tumbuhan itu berjodoh-jodohan, ada jantan ada betina, faham? S. Yasin itu Makkiyah, faham? S. Yasin diterima Nabi di Makkah, peristiwa mengawinkan kurma di Madinah, jadi Nabi melarang mengawinkan kurma setelah Nabi mendapatkan Ilmu dari Allah, tumbuh-tumbuhan itu ada jantan ada betina. Ini tidak masuk akal, faham? Nabi mustahil melupakan ayat, faham? Karena Nabi mustahil melupakan ayat, tidak mungkin Nabi melarang mengawinkan kurma. Kalaupun memang panen kurma pernah berkurang, itu tidak ada hubungannya dengan Nabi, faham?. Lalu bagaimana mungkin lahir pernyataan Nabi: Wa antum a'lamu biamri dunyaakum. faham?"
Saya ulangi yang telah ditulis dalam Seri yang lalu. Menurut beliau Hadits itu, yang artinya "kamu sekalian lebih tahu urusan dunia kamu", dijadikan dalil oleh orang-orang yang pemahamnya memisahkan antara urusan dunia (baca kehidupan berpolitik, bermasyarakat dan bernegara) dengan urusan akhirat (baca kehidupan beragama). Pemisahan itu menurut istilah kontemporernya adalah sekularisme, ataupun diperhalus menjadi sekularisasi (secula = dunia) oleh almarhum Nurcholis Madjid dengan semboyan Nurcholis yang kontroversial: Islam yes, partai Islam no.
***
Terakhir, surga tempat tinggal Adam dan isterinya letaknya di bumi. Ini sudah dikemukakan dalam Seri 240, berjudul: "Adam dan Hawa di Taman", bertanggal 8 September 1996. Yang sering melayari cyber space, silakan visit seri 240. Ringkasnya seperti berikut:
Surga dalam Bahasa Al-Quran: "Jannah", akar katanya dari tiga huruf: {JNN], jim, nun, nun, yang arti dasarnya tidak dapat ditangkap mata, terlindung, terhalang. Suatu waktu dalam rumah S. Majidi, di papan tulis tertera tulisan jim, nun, nun dengan beberapa kata turunannya: Jinn, Jannah, Mujannah, Janin, Majnun. Jinn artinya makhluk yang tak dapat ditangkap oleh mata kasar, Jannah artinya tempat yang terlindung dari sinar matahari, yaitu taman, Mujannah alat yang melindungi diri dari tebasan pedang musuh, perisai, Janin yaitu makhluk yang akan menjadi manusia yang masih terlindung di dalam rahim, Majnun, orang yang pikirannya terhalang dari dunia nyata, orang gila.
Apa yang dimaksud Jannah dalam Al Quran? (untuk menghemat ruangan ayat-ayat diberikan tejemahannya saja, tanpa menterjemahkan "jannah")
-- Orang-orang yang beriman dan beramal salih mereka itu penghuni al-Jannah, mereka kekal di dalamnya (2:82).
-- Dan di dekatnya Jannah tempat diam (53:15).
Dalam kedua ayat di atas itu al-Jannah dan Jannah berarti surga di akhirat kelak.
Selanjutnya marilah kita perhatikan ayat yang berikut:
-- Umpama orang-orang yang menafakahkan hartanya, karena mengharapkan ridha Allah dan menetapkan (keimanan) dirinya, seperti Jannah di dataran tinggi yang ditimpa hujan lebat (2:265).
Dalam ayat di atas Jannah berarti taman atau kebun di permukaan bumi ini.
Jadi menurut Al Quran yang dipergunakan sebagai kamus, Jannah dapat berarti surga di akhirat, atau dapat pula berarti taman di permukaan bumi ini, sesuai dengan konteks ayat itu masing-masing.
Manusia mulai dalam alam arwah, lalu ruh itu ditiupkan ke dalam janin dalam alam rahim ibu. Kemudian lahir ke luar ke alam syahadah. Seterusnya ruh dicabut berpindah ke alam barzakh, menunggu berbangkit dengan jasad yang baru pada hari berbangkit, lalu diadili, kemudian ke alam akhirat yang kekal. Dari hasil pengadilan itu yang selamat masuk jannah atau surga yang celaka masuk neraka.
Kalau Adam dan Hawa mula-mula tinggal dalam jannah atau surga yang di akhirat kelak, maka ada empat keberatannya:
-- Pertama, Adam dan Hawa ibarat dalam cerita science fiction menerobos waktu berjalan mundur dari akhirat ke alam dunia.
-- Kedua, surga di akhirat itu diharamkan setan masuk di dalamnya. Dalam ayat (2:36) disebutkan setan menipu keduanya dalam jannah.
-- Ketiga, kalaulah jannah itu surga di akhirat, mengapa dalam ayat (2:35) masih ada larangan bagi Adam dan Hawa untuk mendekati pohon itu.
-- Keempat, Adam dibuat dari tanah, jadi dibuat di bumi ini. Tidak ada keterangan dalam Al Quran dan Hadits bahwa Adam dan Hawa di"mi'raj"kan ke surga.
Walhasil jannah yang dimaksud tempat Adam dan Hawa bersenang-senang kemudian keduanya ditipu setan bukanlah dalam taman Firdaus, melainkan taman di tempat yang ketinggian di muka bumi ini. Ini dikuatkan oleh Nash, seperti termaktub dalam ayat (2:36), fi'il amr "ihbithuw" yang ditasrifkan (konyugasi, jangan dirancukan dengan ditafsirkan) dari akar kata [Ha-Ba-Tha] "habatha". Dalam Al Quran "habatha" dipakai untuk pengertian air yang meluncur turun (S. Al-Baqarah 74), Nabi Nuh AS turun dari kapalnya (S. Huwd 48) dan Baniy Israil disuruh turun ke kota, go down town (S. Al-Baqarah 61). Perintah Allah "Ihbithuw", kepada Adam, Hawa dan Iblis turun dalam pengertian topografis, dari dataran tinggi ke dataran rendah.
***
Pendekatan S. Madjidi yang rasional dengan manthiq yang tinggi tetap menempatkan akal beliau di bawahnya wahyu verbal (Al-Quran) dan wahyu non-verbal (Al-Hadits). Asbab al-wurud yang disangka wahyu non-verbal diperhadapkan kepada wahyu verbal. Bahkan beliau menjelaskan arti kata bukan dari kamus bikinan manusia, melainkan beliau menjadikan Al-Quran sebagai kamus, yaitu prinsip ayat menjelaskan ayat.
Sedangkan penganut yang menamakan diri "Islam Liberal" memakai pendekatan kontekstual dengan menempatkan posisi wahyu di bawahnya bikinan akal manusia yang pancatas, yaitu paradigma (kerangka berpikir): sekularisme, kapitalisme, liberalisme, pluralisme, dan genderisme. Ditaruh di antara dua tanda kutip, karena Islam itu kontroversial dengan liberal.
WaLlahu a'lamu bisshawab.
***
Makassar, 25 November 2007