6 Juli 2008

835. Bukan Karena Kelerengnya Tetapi Permainannya

Jubir Komite Bangkit Indonesia (maaf, lupa namanya yang baru sekali itu muncul, dan saya malas mencatatnya waktu itu) dalam talk show di media elektronika pada malam Kamis ybl (2/7-'08), menuduh Pemerintah cq polisi bertindak represif karena adanya perbedaan pendapat antara Pemerontah SBY-JK vs pendapat Komite Bangkit Indonesia (KBI). Namun sebaliknya Jubir Pemrintah, Andi Alfian Mallarangang (AAM), menepis pendapat Jubir KBI tsb, bahwa itu bukan karena perbedaan pendapat, melainkan dalam hal penghasutan, pembakaran, dan perusakan dalam hubungannya dengan unjuk rasa yang anarkis di depan Gedung DPR dan Kampus Universitas Atmajaya, Selasa yang silam, yang merugikan banyak pihak. Bayangkan, selain jatuh korban luka, mobil dibakar, menimbulkan kemacetan, pagar megah Gedung Wakil Rakyat pun jebol. Pagar setinggi empat meter dan panjang 523 meter itu dibangun pada tahun 2006 dengan biaya sekitar Rp 4 miliar. Singkatnya apa yang dipaparkan oleh AAM bukan perbedaan pendapat (baca: kelereng), melainkan cara unjuk rasanya (baca: permainannya). Judul "Bukan Karena Kelerengnya Tetapi Permainannya" itu ditimba dari pepatah Belanda: "Het gaat niet om de knikker maar om het spel."

***

Untuk dapat menilai apakah itu kelereng atau permanan, elok kiranya dikemukakan dahulu siapa itu Sekjen KBI yang juga Ketua Umum Dewan Tani Indonesia, Ferry Sonneville, eh salah, itukan nama salah seorang di antara para pahlawan Tim Bulu Tangkis Indonesia yang mula pertama memboyong Thomas Cup ke Indonsia, mestinya Ferry Juliantono yang dahulu adalah juga aktivis Forum Kota (Forkot). Asal tahu saja itu Forkot adalah ahli dalam membentrokkan mahasiswa yang berdemo melawan polisi, yaitu memprovokasi Polisi sehingga naik pitam (maklum polisi itu mansusia juga, bukan malaikat, mana tahan dimaki-maki, ya seperti AKKBB yang memaki-maki FPI, yang juga bukan malaikat).

Sekadar refreshing, menjelang sidang Istimewa (SI) MPR 1998, mahasiswa yang menyuarakan aspirasi murni secara damai itu dibawa larut dalam bentrokan dengan polisi, oleh mahasiswa radikal yang berupaya menggagalkan SI MPR. Mengapa? Gerakan murni mahasisiwa disusupi oleh mahasiswa radikal berintikan Forkot, yang ingin memebentuk Komite Rakyat. Tehnik (bukan teknik) mahasiswa radikal ini membentrokkan pengunjuk rasa dengan polisi, yaitu dengan cara menyusup ke dalam para mahasiswa pengunjuk rasa yang masih murni menyampaikan aspirasi secara damai kepada SI MPR. Mereka mengambil posisi proaktif pada bagian depan, menyaingi teriakan korlap. Setelah berdekatan dengan petugas keamanan, mereka memprovokasi mengejek, memaki-maki petugas keamanan. Setelah polisi naik pitam, mereka membuka jalan, sehingga mahasiswa yang murni hendak menyampaikan aspirasi secara damai pada lapisan di belakangnya yang menjadi korban emosi petugas keamanan.


***

Kalaulah memang masalah perbedaan pendapat pengunjuk rasa dengan Pemerintah yang menyebabkan polisi bertindak represif menurut Jubir KBI dalam talk show itu, mengapa hanya Ferry Juliantono yang dahulu aktivis Forkot yang ditahan? Dan masih dalam pencarian sejumlah oknum lain yang diduga terlibat dalam penghasutan, pembakaran, dan perusakan dalam hubungannya dengan unjuk rasa yang anarkis di depan Gedung DPR dan Kampus Universitas Atmajaya itu! Sekali lagi kalaulah memang masalah perbedaan pendapat pengunjuk rasa dengan Pemerintah dalam hal kenaikan BBM, mengapa pengunjuk rasa dari HTI, MMI tidak ditangkapi juga? Terkhusus FPI yang juga berseberangan pendapat dengan Pemerintah dalam hal BBM, ada beberapa anggotanya serta Ketua FPI dan Kepala Laskar Islam yang ditahan, bukan karena perbedaan pendapatnya dengan Pemerintah, bukan pula karena cara unjuk rasanya, melainkan karena kekerasan fisik vs kekerasan non-fisik.

Polisi sudah hampir adil dalam menindak pelanggar hukum dalam hubungannya tindak kekerasan. Dikatakan hampir adil, mengapa? Para pentolan yang di belakang layar, semacam "Ferry Juliantono"-nya AKKBB yang sengaja mengambil posisi di Monas pada 1 Juni lalu itu untuk apa? Padahal ditunjukkan oleh polisi supaya bertempat di Bundaran HI? Untuk apa, untuk apa dan untuk apa? Ibarat ayam putih terbang siang hinggap di kayu ranggas, sangat jelas untuk apa? Untuk dapat memprovokasi FPI. Terhadap FPI ini bukan karena kelerengnya, bukan juga pada permainannya, melainkan dalam rangka skenario untuk character assassination (pembunuhan karakter) atas FPI. Tindak kekerasan fisik dari FPI adalah akibat/reaksi, sedangkan penyebabnya/aksi adalah kekerasan non-fisik dari pihak AKKBB yang sengaja mengambil posisi di Monas dalam 1 Juni 2008 yang lalu.

Dihimbau supaya polisi tidak "melupakan" para pelaku intelektual kekerasan non-fisik dari AKKBB yang sengaja melanggar ketentuan polisi supaya tidak mengambil posisi di Monas. Manusia bukan malaikat, betapapu sabarnya manusia itu tidak akan tahan terhadap kekerasan non-fisik dimaki-maki, ya, seperti pada petugas keamanan menghadapi ulah Forkot dalam tahun 1998 yang lalu itu. Sekali lagi dihimbau supaya polisi betul-betul adil dalam hal menindak para pelanggar norma hukum. Firman Allah:
-- AN ALLH YaMR BAL'ADL WALAhSN (S. ALNhL, 16:90), dibaca:
-- innaLla-ha ya'muru bil'adli walihsa-n (tanda – dipanjangkan membacanya), artinya:
-- Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat ihsan

Yang dimaksud berbuat ihsan, Yaitu mereka yang dengan ikhlas memberikan kepada orang lain hak yang berlebihan atau memilih kewajibannya lebih besar dari haknya. Contohnya, bapak-bapak dengan ikhlas memberikan hak kepada ibu-ibu adanya Hari Ibu dengan tidak menuntut adanya Hari Bapak. Seorang suami yang dengan ikhlas mengganti popok bayinya. Bukankah mengganti popok itu kewajiban sang isteri? Sang suami menambah kewajibannya mengganti popok, karena bayinya menangis-nangis, pada hal sang isteri sedang berkadahajat di WC. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 6 Juli 2008