14 September 2008

844. Urip Tri Gunawan Divonis 20 Tahun, Bisakah Sanksi Potong Tangan Jadi Hukum Positif ?

Kita mulai dengan prolog drama penangkapan (masih jaksa?) Urip Tri Gunawan (UTG) yang menuntut hukuman mati bagi Imam Samudra. Rumah yang beralamat di Jalan Terusan Hang Lekir II Kavling WG Nomor 9 RT 06/RW08, Simprug, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan adalah milik Sjamsul Nursalim (SN). Siapapun tak akan menyadari, rumah berlantai dua itu akan menjadi saksi nasib sial yang menimpa UTG. Siang hari, 2 Maret 2008, aktivitas warga di sekitar rumah itu berjalan seperti biasa. Drama itu berawal ketika mobil bernomor polisi DK 1832 CF, kode wilayah Bali, keluar dari rumah SN di mana UTG yang menjadi target petugas KPK, berada dalam mobil itu. Petugas KPK yang sudah menunggu di luar rumah menghentikan mobil, namun UTG menambah laju mobilnya. Setelah berhasil menghentikan laju mobil asal Bali itu, petugas KPK masih harus bergelut melawan UTG yang melawan dengan beringas. UTG dibekuk dan dari dalam mobilnya, KPK menemukan setumpuk uang asal negeri Paman Sam berjumlah 660 ribu dolar, yang dimasukkan dalam kardus. Petugas juga membawa serta Arthalita Suryani (AS) yang berada di dalam rumah SN sebagai pemberi uang sogok yang terkait dengan penghentian penyelidikan kasus legendaris, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sebelumnya, pada Jumat (29/2), Kejaksaan Agung menyatakan tidak menemukan perbuatan melawan hukum yang mengarah pada tindak pidana korupsi dalam dua kasus BLBI, yaitu penyerahan aset obligor atas kucuran BLBI pada 1997 dan 1998. Kucuran BLBI sebesar Rp37 triliun pada 1997 kepada obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), bank milik konglomerat SN.

Kini UTG telah divonis 20 tahun penjara, 5 tahun di atas tuntutan jaksa. Sebelumnya AS telah divonis 5 tahun penjara. Vonis 20 tahun bagi UTG adalah hukuman terberat yang pernah menimpa koruptor. Berat memang, tetapi itu tidak cukup membikin jera pada orang-orang lain, selain UTG yang bersangkutan. Mengapa? Itu tidak mengesankan publik, karena tidak nampak UTG terpendam dalam penjara. Lain halnya dengan sanksi potong tangan, terpidana tidak terpendam dalam penjara. Setelah tangan terpidana sembuh, ia dilepaskan, dan ke manapun ia pergi akan nampak oleh masyarakat, dan dampaknya membikin jera orang untuk melakukan korupsi.

Namun masih ada yang tersisa. Apa itu? Pasangan penyogok (AS) dan yang disogok (UTG) keduanya dihukum karena pasal sogok-disogok. KPK harus melanjutkannya pada penyebab sogok-disogok tsb, yakni kucuran BLBI sebesar Rp37 triliun pada 1997 kepada obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), bank milik konglomerat SN yang telah dihentikan penyelidikannya oleh Kejagung.

***

Bisakah sanksi potong tangan jadi Hukum Positif? Mengapa tidak! Dalam Negara Republik Indonesia sanksi potong tangan dapat saja diupayakan menjadi hukum positif. Ada prosedurnya untuk itu. Menurut UUD-1945, undang-undang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam DPR lebih dari cukup suara untuk menggolkan sanksi potong tangan itu untuk dimasukkan dalam Undang-Undang Anti Korupsi. Bukankah jumlah ummat Islam dan ummat Nasrani (Katholik dan Protestan) dalam dewan itu lebih dari cukup?

Bagi ummat Islam, bukankah semuanya telah menerima Al-Quran itu sebagai petunjuk? Bukankah Al-Quran sebagai petunjuk manusia itu merupakan tema sentral dalam peringatan Nuzulu lQuran yang diselenggarakan setiap bulan Ramadhan di mana-mana? Dan bukankah Allah berfirman dalam Al-Quran?:
-- WALSARQ WALSARQt FAQTh'AWA AYDYHMA JZAa BMA KSBA NKLA MN ALLH WALLH 'AZYZ hKYM (S. ALMaDt, 5:38), dibaca:
-- wassa-riqu wassa-riqatu faqtha'u- aidiyahuma- Jaza-am bima- kasaba- naka-lan minalla-hi walla-hu 'azi-zun haki-m, artinya:
-- Terhadap pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan pekerjaan keduanya, dan sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.

Bukankah dalam Injil juga disebutkan di samping sanksi potong tangan bahkan sanksi potong kaki juga ada?, karena bukankah Yesus bersabda?:
-- [Mat 5:30] Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka.
-- [Mat 18:8] Jika tanganmu atau kakimu menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung atau timpang dari pada dengan utuh kedua tangan dan kedua kakimu dicampakkan ke dalam api kekal.
-- [Mar 9:43] Dan jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung dari pada dengan utuh kedua tanganmu dibuang ke dalam neraka, ke dalam api yang tak terpadamkan;
-- [Mar 9:45] Dan jika kakimu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan timpang, dari pada dengan utuh kedua kakimu dicampakkan ke dalam neraka;

Namun jangan harap sanksi potong tangan itu bisa diwujudkan oleh DPR sekarang ini. Mengapa? Rapat paripurna saja yang mengagendakan pengesahan RUU Peradilan Tipikor hanya dihadiri kurang lebih 100 anggota DPR, di Senayan, Selasa 2 September 2008 yang baru lalu. Ini secara tersirat para anggota DPR yang bolos itu melakukan "perlawanan" terhadap pemberantasan korupsi, betapa pula untuk mengharapkan mereka akan menelurkan sanksi potong tangan bagi koruptor. Maka tunggu saja hasil Pemilu yad, semoga terpilih mereka yang taat kepada agamanya. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 14 September 2008