20 Oktober 2008

847. Wahai Prof, Salah Tembak!

Di kalangan akademisi Muslim Indonesia, nama Prof. Dr. M. Amin Abdullah tidak asing lagi. Selain menjabat sebagai rektor Universitas Islam Negeri Yogyakarta (dulunya IAIN Yogya), dia juga pernah menjabat posisi penting di PP Muhammadiyah, sebagai Ketua Majlis Tarjih dan Pemikiran Islam. Tetapi, dalam Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, tahun 2005, namanya terpental dari jajaran pimpinan pusat Muhammadiyah. Dia berlatarbelakang pendidikan bidang filsafat Islam. Lulus PhD dari Department of Philosophy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki, tahun 1990.

Dari sebuah kampus berlabel Islam, seperti UIN Yogya, muncul tesis master yang justru menghujat Al-Qur'an, dan menyatakan, bahwa "Mushhaf itu tidak sakral dan tidak absolut, melainkan profan dan fleksibel. Penanaman keragu-raguan terhadap Islam bagi mahasiswa Muslim tampaknya kini banyak dilakukan oleh para dosen-dosennya sendiri.

Bidang yang sering ditulis Amin Abdullah terutama masalah filsafat dan epistemologi Islam. Tapi, karena sangat gencar mempromosikan penggunaan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur'an, dia kadang kala juga dijuluki "Bapak Hermeneutika Indonesia". Sekian cuplikan dari www.hidayatullah.com.

***

Terkait dengan yang sering ditulis Amin Abdullah perkara epistemologi, elok dikemukakan bahwa hermeneutika epistemologis memperanakkan paradigma: sekularisme, liberalisme, kapitalisme, pluralisme, dan genderisme, yang di atas paradigma ini, komunitas yang menamakan diri Islam Liberal mengadakan pendekatan kontekstual (Sudah dibahas dalam Seri 729). Ayat-ayat yang tidak cocok secara kontekstual dengan paradigma pancatas itu seperti misalnya ayat (24:31) di bawah hanya bersifat lokal dan temporer saja.
-- WLYDHRBN BKHMRHN 'ALY JYWBHN (S. ALNWR, 24:31), dibaca:
-- walyadhribna bikhumurihinna 'ala- juyu-bihinna.
WLYDHRBN - walyadhribna dalam ayat (24:31) terdapat Lam Al Amr (Lam yang menyatakan perintah), maka kata tersebut berarti: Diperintahkan kepada mereka menutupkan, sehingga ayat (24:31) terjemahannya adalah:
-- Diperintahkan kepada mereka menutupkan khumur mereka ke atas dada mereka. (Khumur adalah bentuk jama' = plural dari khimar, artinya tutup kepala, yang di Indonesia ini tutup kepala yang dipanjangkan menutup dada itu disebut "jilbab", padahal dalam bahasa Al-Qur'an: jalabib, bentuk jama' dari jilbab adalah baju longgar yang panjang sampai mata-kaki yang menutupi lekuk-lekuk tubuh).

Dengan demikian pistol mainan anak-anak hermeneutika epistemologis menjadikan semua ayat Al-Quran tidak ada lagi yang qath'i, semua relatif tergantung pada paradigma pancatas cocok atau tidak. Paradigma pancatas mengungguli wahyu.

***

Ada asumsi spekulasi intelektual dari Fazlur Rahman, gurunya Nurcholis Madjid, yaitu bahwa Al-Quran adalah "both the Word of God and the word of Muhammad". Asumsi ini bernuansa hermeneutika filosofis. Asumsi ini berpijak pada paradigma bahwa Al Quran tidaklah diturunkan secara verbal, melainkan merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Nabi Muhammad SAW dan sekaligus diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistiknya. Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu diposisikan oleh Fazlur Rahman sebagai "pengarang" Al Quran. Fazlur Rahman tidak memahami perbedaan antara Al-Quran dengan Hadits Qudsyi. The Word of God adalah Al-Quran dan both the Word of God and the word of Muhammad adalah Hadits Qudsyi. Inilah latar belakang mengapa yang keranjingan hermeneutika untuk mengkaji Al Quran, bertitik tolak dari sikap "meragukan" Mushhaf (teks) Al Quran Rasm (ejaan) 'Utsmaniy.

Amin Abdullah analog dengan Abu Zayd. Pertama, sama-sama dari perguruan tinggi yang berlabel Kawasan Tengah, kedua sama-sama keranjingan hermeneutika dan ketiga sama-sama meragukan Mushhaf Utsmaniy. Nasr Hamid Abu Zayd pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), yang menimba ilmu di di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania, sangat terpesona dan terbelalak matanya menatap hermeneutika yang baru dikenalnya, ibarat seekor rusa masuk kampung. Ia menulis: "My academic experience in the United States turned out to be quite fruitful. I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science of interpreting texts, opened up a brand-new world for me. I owe much of my understanding of hermeneutics to opportunities offered me during my brief sojourn in the United States" (Middle East dan Middle Eastern saya terjemahkan Kawasan Tengah, karena bukankah Middle East dan Middle Eastern itu bagi kita di Indonesia, keduanya terletak di barat?).

Allah memberikan kemampuan bagi sejumlah ummat Islam yang dapat menghafal Al-Quran. Mushhaf Utsmaniy itu berdasarkan "hafalan" para sahabat terhadap Al-Quran (=Bacaan). Hafalan itu diteruskan secara sinambung dengan mengalirnya waktu. Yaitu setiap bulan Ramadhan di Masjid Al-Haram di Makkah dalam shalat Tarwih ditammatkan Al- Quran. Adalah fakta, bahwa belum pernah terjadi perubahan/kesalahan bacaan Imam Masjid Al-Haram. Dan andaikata terjadi kesalahan bacaan Imam, akan langsung dibetulkan oleh makmum yang berasal dari seluruh dunia. Maka terpelihara Bacaan (=Al-Quran) itu sampai kiamat.

Bagi yang keranjingan dengan hermeneutika, yang ibarat rusa masuk kampung itu, mereka "menembak" dengan hermeneutika itu ibarat pistol mainan anak-anak yang dipakai untuk menembak Mushhaf Utsmaniy. Dan itu salah tembak. Mengapa? Karena Mushhaf Utsmaniy itu, seperti disebutkan di atas, berdasarkan "hafalan" para sahabat terhadap Al-Quran (=Bacaan). Jadi teks (Rasm Utsmaniy) itu bersumberkan "Bunyi". Padahal hermeneutika mengkritik teks, bukan mengkaji "bunyi". Lagi pula hermeneutika sama sekali asing dengan "asbabunnuzul" (latar belakang turunnya ayat). Alhasil, hermeneutika hanya cocok (compatible) untuk dipakai menembak Kitab Suci dan substansi apapun juga yang bersumberkan tulisan/teks. Jadi salah tembak dong. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 20 Oktober 2008