29 Maret 2009

867. Ekonomi Kerakyatan Apa Kriterianya?

Dalam debat antar Caleg beberapa hari yang lalu di TV-One, Sitanggang dari Partai Persatuan Pembangunan, yang mengemukakan visi dan missi al akan memperjuangkan agar dimasukkan kedalam UU Agraria ketentuan Syari'ah dari Hadits RasuluLlah SAW jika ada pemilik lahan yang membiarkan lahannya itu menjadi lahan tidur selama dua tahun akan diambil oleh negara. Ini segera ditimpali oleh dua Caleg dari Partai Hanura dan Partai Damai Sejahtera dalam nuansa yang sama: Kalau semua diukur dengan standar syariah, kalau syariah direntang ke mana-mana, kita akan hidup dalam negara teokrasi.

Sayang sekali Sitanggang tidak sempat menjawab dengan tuntas karena jatah waktu untuknya telah habis. Untuk itu sesuai Bidal Melayu Lama: Gayung bersambut, kata berjawab, saya menyambut gayung kedua Caleg itu (yang kelihatannya sangat alergi dengan kata Syari'ah). Tidak ada kriteria (=standar, ukuran, patokan dan norma) yang terbaik dan tersehat bagi akal-sehat untuk menentukan benar-tidaknya suatu substansi selain kriteria yang ditetapkan oleh Allah. Itulah keyakinan ummat Islam bahwa Al-Quran dan Al-Hadits bukan hanya sekadar sebagai objek bahan diskusi dan perdebatan, melainkan sebagai sumber pengetahuan dan petunjuk. Rupanya kedua Caleg tsb tidak menghayati ujar-ujar Bhinneka Tunggal Ika. Kemukakanlah dari sumber agama Kristiani bagi PDS ataupun dari ideologi yang dianut P-Hanura masing-masing untuk diperjuangkan menjadi UU demi kesejahteraan rakyat.

Sekarang ini sedang sengit-sengitnya kampanye menjual konsep Ekonomi Kerakyatan. Ini memang wajar dan masuk akal melihat kegagalan ekonomi kapitalistik. Ekonomi berurusan dengan kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang terbatas, karena terbatasnya sumber daya alam. Namun keinginan manusia tidak terbatas dan inilah menjadi penyebab timbulnya problema ekonomi. Ekonomi liberal berorientasi pada pemenuhan keinginan manusia yang tidak terbatas itu. Roda ekonomi liberal berputar dengan keinginan hawa nafsu manusia sebagai motor penggeraknya. Konsekwensinya, karena keinginan manusia tak kenal batas, roda ekonomi harus terus berputar kencang dan semakin kencang mengejar angka pertumbuhan. Produksi dan konsumsi terus dipacu melahirkan konsumerisme, budaya belanja di luar kebutuhan, yang terus dipupuk oleh para produsen untuk mencari keuntungan hingga ke tingkat hedonisme. Sebagian besar peredaran uang di dunia ini berada dalam bisnis entertainment (hiburan) bahkan bursa seks dan bandar narkoba. Sangat kontras dengan masih besarnya populasi manusia yang hidup jauh di bawah garis kemiskinan dan kemelaratan. Industrialisasi mengganas menjadi industrialisme yang mengeksploitasi sumber daya alam secara rakus, yang menuntut modal yang sangat besar sehingga melahirkan kapitalisme. Berhubung industrialisme dan kapitalisme tidak juga cukup untuk terus menambah kencang laju pertumbuhan ekonomi, maka mereka pun menempuh jalur primitif imperialisme. Itulah makna "war for oil" yang secara implisit digelar oleh Amerika, yang menjadi kuda tunggang Yahudi, sang sutradara ekonomi kapitalistik liberal, yang sekarang ini mengalami nasib bermuram durja. Keinginan manusia itu dalam kegiatan produksi itu harus dibatasi oleh Syari'ah seperti halal dan haram, qana'ah (pola hidup sederhana), dan shadaqah (memberi barang dan jasa). Sehingga dalam kehidupan yang dikehendaki Syari'ah , roda ekonomi dalam kegiatan produksi berputar dengan stabil dan harmonis. Bila lambat tidak sampai mogok, bila cepat tidak ngebut. Yang lebih penting lagi tidak merusak tatanan alam dan kemanusiaan. Ekonomi Syari'ah berdampak positif untuk menahan lajunya industri yang berbau maksiyat, karena pengusaha yang bergiat dalam bisnis berbau maksiyat itu, tidak akan diterima menjadi nasabah dari bank Syari'ah

Distribusi (penyaluran barang dan jasa) menurut Syari'ah terdiri dari tiga mekanisme yakni pemberian, pertukaran dan peminjaman. Mekanisme "pemberian" harus berlangsung satu arah (dari si pemberi kepada yang diberi) tanpa si pemberi mengharap sesuatu dari yang diberi (hanya mengharap pahala dari Allah). Demikian pula halnya mekanisme "peminjaman", bedanya di sini tidak terjadi perubahan status kepemilikan. Pemberi pinjaman tidak boleh mengambil dan mengharap imbalan barang/jasa sekecil apapun dari orang yang diberi pinjaman, karena itulah yang dinamakan riba. Kedua mekanisme distribusi tersebut (pemberian dan peminjaman) sangat digalakkan oleh Syari'ah. Demikin pula Syari'ah sangat menggalakkan jual-beli dan perdagangan (mekanisme "pertukaran"). Bagaimana mungkin seseorang bisa memberi dan meminjamkan kalau dia tidak memiliki kelebihan harta yang didapat lewat bekerja dan berniaga? Jadi antara pertukaran, pemberian dan peminjaman berjalan secara seimbang dan harmonis. Sedang distribusi dalam ekonomi liberal lebih berorientasi pada bisnis perdagangan. Sampai-sampai lahan mekanisme pemberian dan peminjaman pun dicaplok dan dimasukkannya ke dalam mesin perdagangan untuk menghasilkan uang. Itulah sistim riba!
-- ALDzYN YAaKLWN ALRBWA LA YQWMWN ALA KMA YQWM ALDzY YTKhBThH ALSyYTHN MN ALMS DzLK BANHM QALWA ANMA ALBY'A MTsL ALRBWA WAhL ALLH ALBY'A WhRM ALRBWA (S. ALBQRt, 2:275), dibaca:
-- alladzi-na ya'kulu-nar riba- la- yaqu-mu-na illa- kama- yqu-mul ladzi- yatakhabbathuhusy syaitha-nu minal massi dza-lika biannahum qa-lu- innamal bai'u mitslur riba- wa ahalla Lla-hul bai'a wa harramar riba-, artinya:
-- yaitu orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila, keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata : sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Kita belum tahu itu Ekonomi Kerakyatan yang santer dijual sekarang, maka kita bertanya: "Ekonomi Kerakyatan Apa Kriterianya?"
WaLlahu a'lamu bishshawab.

***

Makassar, 29 Maret 2009