18 Agustus 1996

237. Pengendalian Diri

Dalam Harian Fajar, edisi Rabu, 14 Agustus 1996, pada halaman 1, dapat kita baca pemberitaan yang seimbang, bukan hanya sekadar covering both sides, melainkan three sides, yaitu masing-masing dari sisi Ketua DPRD Ujung Pandang, dari sisi LBH Ujung Pandang yang terdiri atas dua orang, seorang dari anggota LBH kuasa hukum warga Tamamaung serta dari Direktur LBH Ujung Pandang, dan dari sisi warga Tamamaung Ujung Pandang.

Kita mulai kutip berita dari sisi Ketua Dewan. Ketika saya kejar keluar, sebenarnya saya mau tanya, maksud dia apa dengan memperkeruh suasana. Tapi tiba di luar, dia justru lari terbirit-birit sampai naik pete-pete. Di mana tanggung jawabnya. Tidak dipersilakan bicara, kok bicara terus. Saya gebrak meja. Dia malah peringati saya untuk tidak berbuat begitu. Saya gebrak meja lagi, lalu saya suruh keluar. Kalau mau bicara harus seizin pimpinan pertemuan. Jangan menjadikan DPRD sebagai ajang mimbar
bebas. Ada yang ingin menjadi pahlawan dalam masalah ini, dan orang itu layak disebut pahlawan kesiangan. Tidak semua pernyataan yang disampaikan warga Tamamaung bisa langsung diterima. Semua harus dicek dulu. Sebab belum tentu pernyataan-pernyataan itu murni dari warga. Mungkin saja sudah direkayasa dan warga itu sudah ditunggangi.

Itulah pemberitaan dari sisi Ketua Dewan. Selanjutnya kita ikuti pemberitaan dari sisi anggota LBH Ujung Pandang, kuasa hukum warga Tamamaung. Pak ketua dewan tak hanya mengusir. Ketika saya keluar, dia malah memburu saya dan berteriak-teriak. Dia benar-benar lepas kontrol, sampai-sampai kancing bajunya bagian atas terlepas. Saat itu ketua Dewan menanyakan siapa lagi yang akan dipanggil polisi, lantas ada warga yang menyebut nama seseorang. Itu sebabnya saya kemudian ikut berbicara, memberi penjelasan bahwa warga hanya menjawab pertanyaan ketua Dewan. Anggota LBH itu tak menyangka kalau reaksi ketua Dewan justru teramat keras. Menurut anggota LBH itu, sembari menggebrak meja ketua Dewan membentak. Diam. Saya tak butuh LBH. Tanpa LBH saya bisa diterima rakyat. Bentakan ini dijawab: Saya ke sini untuk mendampingi mereka, Pak. Mereka kan rakyat Bapak juga. Dan tidak perlu memukul meja. Ketua Dewan kembali menggebrak meja. Saya yang berhak di sini. Keluar kau.

Selanjutnya mari kita ikuti pemberitaan dari sisi warga Tamamaung. Warga Tamamaung yang menyaksikan kejadian itu menyatakan kekecewaannya. Menurut salah seorang warga Tamamaung, kedatangan ke DPRD dibarengi harapan agar rencana penggusuran tanah yang mereka tempati bisa teratasi. Dengan sikap ketua Dewan yang seperti itu, kami seperti tak punya harapan lagi. Kemana lagi kami harus menyalurkan aspirasi?

Terakhir kita kutip pemberitaan dari sisi Direktur LBH Ujung Pandang. Bagi LBH Ujung Pandang perlakuan ketua Dewan dinilai sudah keterlaluan. Tapi kami tidak akan melayangkan protes keras. Sebagai rakyat, kami hanya akan memberi nasihat kepada wakil kami yang duduk di DPRD itu. Soalnya, mereka bisa duduk di dewan karena pilihan rakyat juga. Apa bukan begitu.

Ada dua hal yang menarik dari sikap arogan ketua Dewan. Yang pertama sikap arogan yang diakibatkan oleh kepribadian kurangnya pengendalian diri. Yang kedua sikap arogan yang ditimbulkan oleh semacam penyakit yang umum yaitu penyakit ego sektoral. (Saya tak butuh LBH. Tanpa LBH saya bisa diterima rakyat). Sikap ego sektoral ini menyebabkan orang mengira hanya lembaganya saja yang penting, lembaga yang lain tidak penting, tidak berpikir secara pendekatan sistem, tidak menghayati yang disebut sinergi.

Setiap tahun satu bulan penuh ummat Islam berlatih untuk mengendalikan dirinya. Orang yang beriman yang telah mampu
mengendalikan dirinya akan meningkat ke derajat ruhaniyah yang tertinggi yaitu taqwa.

Ya-ayyuha- Lladziyna Amanuw Kutiba 'Alaykumu shShiya-mu Kama- Kutiba 'alay Lladziyna min Qablikum La'allakum Tattaquwna (S. Al Baqarah, 183). Hai orang-orang beriman diwajibkan atasmu berpuasa seperti telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertaqwa (2:183). WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 18 Agustus 1996