16 Februari 1997

261. Tragedi Situbondo, Tasikmalaya, Tanah Abang dan Rengasdengklok

Masih terekam dengan sadar dalam kulit otak saya, walaupun sudah lama berselang. Yaitu saya membacanya dalam majallah "Pedoman Masyarakat" terbitan Medan, tatkala saya masih (A)nak (B)aru (G)ede, ABG, masih duduk di bangku Jokyu Kogakko (SD zaman pendudukan Jepang). Itu terambil dan sebuah majallah terbitan Medan, yaitu Pedoman Masyarakat, yang sayang sekali koleksi berkas majallah tersebut sudah tercecer sekarang. Seingat saya salah seorang redaksi majallah itu (atau pimpinan redaksi?), yaitu (H)aji (A)bdul (M)alik (K)arim (A)mrullah, disingkat HAMKA. Tersebutlah, seorang tokoh pergerakan nasional (saya sudah lupa namanya) berpidato dalam sebuah rapat umum. Selang berapa waktu di tempat ia berpidato itu timbul ribut-ribut. Polisi Belanda menangkap tokoh itu, karena ia dianggap menghambur (zaaien) kebencian (haat), ia dijaring dengan artikel Haatzaai, yang seperti dituliskan dalam dua tanda kurung, secara harfiah berarti menghambur kebencian, secara bebas dapat diterjemahkan dengan menghasut, memprovokasi (dari to provoke). Dalam pengadilan tokoh tersebut mengemukakan inti pleidooi (pembelaan) yang berbentuk puisi:

Enggang (bukan enggan!) hinggap,
Ranggas (ranting tak berdaun) jatuh,
Anak raja mati terhimpit.

Puisi tersebut telah dijadikan judul untuk Seri 085, bertanggal 27 Juni 1993.
Puisi itu bermuatan filosofis. Apakah memang ranggas itu sudah waktunya untuk patah karena sudah lapuk, lalu patah bersamaan tatkala burung enggang hinggap di atasnya, jadi sama sekali tidak terjadi hubungan kausalitas. Ataukah ranggas yang sudah lapuk itu patahnya dipercepat waktunya oleh burung enggang yang hinggap. Ataukah ranggas itu sebenarnya masih kuat belumlah lapuk, lalu menjadi patah akibat memikul beban berat burung enggang. Kemudian anak raja yang bersantai berteduh mengisap hawa segar hutan di bawah pohon itu memang sudah ditakdirkan oleh Allah SWT sampai ajalnya bersamaan dengan jatuhnya ranggas yang menimpanya, artinya tidak ada hubungan kausalitas antara ranggas yang jatuh dengan kematian anak raja itu. Ataukan anak raja itu mengidap penyakit jantung sehingga jantungnya berhenti berdetak lalu mati secara tiba-tiba karena terkejut ditimpa secara mendadak oleh ranggas yang ringan. Ataukah ranggas itu cukup berat menimpa kepala pada bagian yang vital dan anak rajayang sebenarnya segar-bugar, sehingga inenjadi sebab kematiannya. Memang sudah ditakdirkan oleh Allah SWT bahwa enggang itu hinggap justru pada ranggas yang ada di atas anak raja itu, dan ditakdirkan pula oleh Allah SWT pada waktu yang sama ranggas itu jatuh menimpa kepala anak raja itu, serta ditakdirkan pula oleh Allah SWT bersamaan jatuhnya ranggas itu menimpa kepala anak raja itu, sampailah ajal si anak raja tersebut. Bahwa ada hubungan kausalitas di antara ketiga rentetan perisitwa itu, atau tidak ada sama sekali, itu termasuk penafsiran hasil kajian dan observasi terhadap peristiwa itu.

Sebelum enggang hinggap pohon kayu dengan ranggasnya dan anak raja yang duduk bemaung di bawahnya merupakan suatu sistem dalam keadaan seimbang. Ada berjenis-jenis keseimbangan. Ada keseimbangan yang statis (statische evenwicht), ibarat orang duduk di atas kursi. Kursi cukup kuat menopang berat badan orang ito. Di alam raya ada keseimbangan. WasSama-a Rafa'aha- wa Wadha'a lMiyza-na (Ar Rahman 7) , langit ditinggikanNya dan dijadikanN seimbang (55:7). Keseimbangan di alam raya adalah keseimbangan yang dinamis (dinamische evenwicht), ibarat bulan mengedari bumi, bumi mengedari matahari, matahari mengedari pusat galaxy Milky Way. Bulan, bumi dan matahari merupakan satu sistem yang seimbang, walaupun ketiganya sedang bergerak. Ada pula keseimbangan yang stabil (stabiele evenwicht), ibarat biji kelereng pada dasar mangkuk yang cekung. Dan ada pula keseimbangan yang labil (labiele evenwicht), yang dinyatakan secara tepat dalam peribahasa kita: Seperti telur di ujung tanduk. Di antara jenis-jenis keseimbangan tersebut, maka keseimbangan yang dinamislah yang ideal bagi masyarakat.

***

Tragedi Situbondo, Tasikmalaya, Ta?ah Abang, Rengasdengklok, seyogianya dikaji dengan pendekatan filsafat enggang hinggap, ranggas jatuh, anak raja mati terhimpit ini. Enggang yang hinggap tersebut tidak lain adalah orang yang menghina seorang Kiyai di Situbondo, polisi yang menganiaya guru pesantren di Tasikmalaya, mobil petugas yang menabrak pedagang kaki lima di Tanah Abang dan Giok yang memaki-maki remaja masjid di Rengasdengklok.
Ranggas jatuh yang ditarik oleh gravitasi adalah kemarahan ataupun kebringasan yang merasuk melebar, boleh jadi tanpa reka-yasa, atau boleh jadi akibat dari kemarahan yang meningkat menjadi kebringasan karena sengaja dikipas, dikobarkan, direkayasa oleh pihak ketiga (kambing hitam) untuk merusak sistem. Anak raja yang sakit adalah masyarakat yang sakit memendam rasa. seperti antara lain: Rasa tidak diperlakukan secara adil. Rasa keadilan masyarakat yang tidak sinkron dengan keadilan formal, baik itu dalam wujud pasal perundang-undangan tentang sanksi maximal, ataupun dalam wujud keputusan lembaga peradilan (baca keputusan hakim). Rasa yang dipendam oleh pedagang kaki-lima yang mencari sesuap nasi yang diperlakukan kurang manusiawi oleh petugas ketertiban. Rasa tersisihkan dalam memperoleh sejemput cicipan kue hasil pembangunan.

Nilai-nilai instrumen mengenai keadilan, pemerata pembangunan, sebenamya secara teori sudah ada . Akan tetapi nilai praxis yang menterjemahkan nilai-nilai instrumen itu ke dalam kehidupan nyata dalam masyarakat, masih belum berjalan dengan mulus. Perlu introspeksi utamanya bagi para penanggung jawab yang berkecimpung dalam nilai praxis yang menterjemahkan nilai nilai instrumen menjadi wujud yang nyata dalam kehidupan masyarakat. Masyarak?t boleh disuruh tertib, namun filsafat menunjuk harus dihayati. Satu jari (telunjuk) ditujukan kepacla masyarakat agar tetap menjaga ketertiban, aka? tetapi jangan lupa bahwa tigajari (kelingking, jari manis, jari tengah) menunjuk kepada diri sang penunjuk, para penanggung-jawab yang berkecimpung dalanm nilai praxis. Kabura Maqtan 'Inda Liahi an Taquwlu Ma- La- .Taf'aluwna (S. Ash Shaf, 3). Besar kutuk di sisi Allah karena kamu mengatakan yang tidak kamu kerjakan (61:3). WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 16 Februari 1997