17 September 2000

441. "Perkembangan" Demokrasi Kita dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Menurut Syari'at Islam

Kelihatannya sekarang demokrasi sudah "berkembang" terlalu jauh. Dimulai dari kejangkitan virus euphoria, lalu seterusnya "berkembang" bukan lagi sebagai alat, melainkan menjadi tujuan, demokrasi untuk demokrasi, demokrasi untuk sekadar mengeluarkan pendapat. Contohnya: buat apa Bulog-gate diperbincangkan lagi dalam hak angket DPR, bukankah output perbincangan itu paling-paling berwujud rekomendasi untuk lembaga peradilan, sedangkan Bulog-gate itu sementara diporoses oleh lembaga peradilan? Bukankah itu demokrasi hanya sekadar untuk mengeluarkan pendapat, demokrasi untuk demokrasi?

Kalau direnungkan dengan hati yang jernih, sesungguhnya demokrasi itu tidaklah universal sifatnya. Demokrasi yang kita coba adopsi di negeri kita ini, adalah demokrasi yang bertumpu di atas pradigma kebudayaan barat modern, yang acuh tak acuh tentang adanya "ruh" manusia. Kebudayaan barat modern meninggalkan segala pemikiran dan pertimbangan-timbangan keruhanian. Kebudayaan barat modern tidak mengakui perlunya penyerahan manusia kepada apapun juga, kecuali tuntutan-tuntutan ekonomis, sosial dan kebangsaan. Dewanya yang sebenarnya adalah asyik-maksyuk (kesenangan, comfort), falsafah politiknya adalah kemauan untuk berkuasa demi untuk kekuasaan itu sendiri. Kedua hal itu berakar dari kebudayaan Romawi kuno, yang secara genetik melahirkan materialisme barat modern. Orang-orang Romawi kuno tidak pernah mengenal agama. Dewa-dewa meraka yang tradisional diadopsi dari mitologi Yunani. Bapak dewa-dewa Yunani, Zeus Pater (Tuhan Bapak) misalnya, diadopsi menjadi Jupiter. Dewa-dewa yang diadopsi dari mitologi Yunani itu diterima hanya untuk kepentingan konvensi sosial. Dewa-dewa itu sama sekali tidak diperkenankan campur tangan dalam kehidupan nyata. Apabila ditanyai, dewa-dewa itu akan memberikan orakel melalui perantaraan pendeta-pendeta, tetapi dewa-dewa mereka tidaklah memberikan atau menentukan hukum-hukum moral pada manusia, dan tidak juga mengarahkan tindakan-tindakan manusia. Dari sinilah sekularisme barat modern berakar, kehidupan duniawi yang materialistik terpisah sama sekali dari alam dewa-dewa yang tidak diperkenankan campur tangan dalam kehidupan nyata. Demikianlah demokrasi barat yang kita coba adopsi di negeri kita ini, sesungguhnya bertumpu di atas paradigma sekularisme yang materialistik kapitalistik yang acuh tak acuh pada agama.

Menurut Syari'at Islam unsur dinamik dari perbaikan ruhaniyah terbatas pada nafs (perorangan), dan setiap batas waktu yang mungkin untuk perkembangan ruhaniyah ialah antara kelahiran dan kematian seseorang. Setiap nafs harus berjuang menuju tujuan ruhaiyah itu sebagai individu perorangan, dan setiap nafs harus memulai dan mengakhiri dengan dirinya sendiri.
-- LA YKLF ALLH NFSA ALA WS'AHA LHA MA KSBT W'ALYHA MA AKTSBT (S. ALBQRT, 286), dibaca: la- yukallifuLla-hu nafsan illa- wus'aha- laha- ma- kasabat wa'alayha- maktasabat (s. al baqarah), artinya: Allah tidak membebani nafs, baginya (pahala) yang diterimanya dan atasnya (kejahatan) yang dilakukannya (2:286). Pandangan yang individualistis yang tegas tentang tujuan ruhaniyah manusia diimbangi dengan dan dikuatkan secara langsung dengan konsepsi sosial menurut Syari'at Islam tentang kerjasama kemasyarakatan. Kewajiban masyarakat ialah mengatur kehidupan praktis dalam cara sedemikian rupa sehingga nafs, individu orang seorang seminimal mungkin mendapat rintangan dan semaximal mungkin mendapat dorongan semangat dalam perjuangan ruhaniyahnya. Itulah sebabnya maka Syari'at Islam dalam aspek hukumnya berhubungan dengan kehidupan manusia dalam segi kehidupan ruhaniyah secara individu, maupun segi kehidupan praktisnya secara kemasyarakatan. Demikianlah Syari'at Islam menuntun manusia dalam aktivitas berbudaya, baik dari sebagai makhluk individu, maupun sebagai makhluk sosial. Inilah seharusnya yang menjadi paradigma demokrasi, jika kehidupan berdemokrasi itu dikehendaki menjadi sehat jalannya. Secara individu setiap nafs berjuang meningkatkan kehidupan ruhaniyahnya, membentuk dirinya berakhlaq mulia dan dengan demikian dapat secara ikhlas berjuang dengan sepenuh hati secara istiqamah (konsisten) mengikuti petunjuk yang digariskan oleh Syari'at Islam untuk menata kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

***

Yang berikut ini diberikan contoh sederhana bagaimana konsep Syari'at Islam dalam hal pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan umum. Pada pokoknya sumberdaya alam itu menurut Syari'at Islam ada yang tidak boleh dimiliki oleh perorangan, yang diklasifikasikan sebagai hak-milik umum, yang harus dikelola ataupun ditangani oleh UWLW ALAMR MNKM (ulul amri minkum), pemerintahan yang dibentuk di antara kamu (4:59). Menurut Syari'at Islam sumberdaya alam yang tidak boleh dimilki secara perorangan dapat kita lihat pada nash (Hadits) yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abi Dawud, dari Abi Khirasy:
-- ALNAS SYRKA^ FYTSLATS ALMA^ WALNAR WALKLA^, dibaca: anna-su syuraka-u fi- tsala-tsin al ma-i wan na-ri wal kala-i, artinya manusia secara bersama-sama mempunyai hak atas tiga macam sumberdaya alam, yaitu: air, api dan padang rumput.

Menjadi kewajiban bagi para fuqaha (ahli-ahli fiqh) untuk menjabarkan ketiga jenis sumberdaya alam itu ke dalam fiqh kotemporer. Misalnya apakah api itu dapat ditafsirkan sebagai bahan bakar fosil dan bahan bakar inkonvensional (bahan bakar nuklir). Misalnya bagaimana ulul amri minkum mengelola ketiga jenis sumberdaya alam itu di berbagai tempat di Indonesia. Pengelolaan air tanah di Jakarta tentu berbeda dengan di Makassar misalnya. Air tanah di Jakarta demikian terkurasnya, sehingga air laut sudah jauh merasuk ke darat. Apabila ulul amri di Jakarta kurang-kurang sigap meminta masukan ahli fiqh dalam menjabarkan Syari'at Islam tentang pengelolaan sumberdaya alam mengenai air itu, maka tidak berbilang tahun bangunan-bangunan yang berdiri di atas tiang pancang yang tidak kedap air laut, insya Allah akan rubuh. Sekali lagi diminta para fuqaha kita memikirkan penjabaran Syari'at tentang air, api dan padang rumput ke dalam fiqh kontemporer. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 17 September 2000