24 September 2000

442. Anak Menurut Versi Jubran Khalil Jubran dan Ahmad Marzuki Dg. Marala

Anak-anak kalian itu bukanlah anak-anak kalian. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang merindukan kehidupannya sendiri. Melalui kalian mereka lahir, namun bukan dari kalian, mereka ada pada kalian, tetapi bukan hakmu sekalian. Berikan kasih sayang kalian pada mereka, tetapi jangan pernah memberikan bentuk-bentuk pikiran, sebab mereka memiliki pikiran mereka sendiri. Kalian berhak membuatkan rumah untuk tubuh-tubuh, tetapi bukan untuk jiwa-jiwa mereka. Sebab jiwa-jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan yang tiada dapat kalian kunjungi, meskipun hanya dalam mimpi. Kalian berhak berusaha menjadikan diri seperti mereka, namun jangan pernah menjadikan mereka seperti kalian. Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur dan tidak pula tenggelam di masa lampau. Kalian adalah busur, dan anak-anak itu adalah anak panah yang meluncur.

Itulah renungan Jubran Khalil Jubran dari Lubnan mengenai masa depan anak. Jubran Khalil Jubran sangat merasa takjub akan masa depan. Terkesan sangat pasrah, tidak berdaya sama sekali untuk membentuk jiwa anaknya dalam menghadapi masa depan. Maka celakalah nasib anak itu dilepas untuk bergelut sendiri dengan kemelut post modernisme yang tidak mempunyai ciri khas, ataupun kriteria yang tertentu, anti rasional, tanpa konsep, tanpa bentuk yang pasti, liar, campur-aduk (heterogen). Lihatlah anak muda produk post modernisme dalam wujud kelompok hippies yang hidup sangat urakan itu.
Output jiwa adalah moral, sehingga Jubran Khalil Jubran yang menyerahkan anaknya untuk dibentuk moralnya oleh sistem sosial masa depan, mempunyai visi yang sejalan dengan visi Karl Marx tentang moral. Dalam Seri 419 yang berjudul "Pandangan Marxisme Tentang Moral" telah dijelaskan bahwa menurut Karl Marx manusia tidak mempunyai kebebasan memilih dalam hal moralitas, oleh karena sistem sosial-ekonomi telah menentukan gagasan tentang moral dan ukuran etis sebagai "barang jadi". Bukanlah kesadaran moralitas manusia yang menentukan kondisi sosial-ekonomi, melainkan sistem sosial-ekonomilah yang menentukan kesadaran manusia. Setiap orang harus menyesuaikan diri pada kode moral yang ditentukan sistem sosial-ekonomi.

***

Seorang anak bercerita tentang ayahnya yang berprofesi hakim. Terkadang sang anak mendapatkan ayahnya gundah termenung. Sang anak mencoba mengajuk hati ayahnya untuk dapat mengetahui apa gerangan penyebab kegundahan itu. Maka sang ayah dengan desah suara yang hampir tak terdengar berkata: "Hai anakku, tadi baru saja ayahmu ini memutuskan perkara. Apakah keputusan itu dapat kupertanggung-jawabkan kelak di hadapan Allah SWT di Hari Pengadilan kelak."

Pernah suatu waktu sang anak bercerita pula. Ibunya pulang ke rumah dengan membawa seekor ikan besar. Tidak lama kemudian ayahnya masuk ke rumah langsung ke dapur. "Ibu dimarahi ayah, ikan besar itu diperintahkan ayah untuk segera dikembalikan kepada orang yang memberikan ikan itu kepada ibu." Ayah menjelaskan kemudian bahwa orang yang menghadiahkan ikan besar itu kepada ibu masih sedang dipsoses perkaranya di pengadilan. Sang anak menyambung ceritanya, bahwa menjelang dekat-dekat waktu pensiun, datang seorang membawa kotak berbungkus yang isinya patut diduga berisi uang banyak, lalu menyodorkan bungkusan itu kepada ayahnya sebagai tanda terima kasih, karena perkaranya telah dimenangkan oleh keputusan ayahnya di pengadilan. "Ayah menolak bungkusan itu, sebab katanya, 'engkau menang karena memang sepantasnya engkau menang, tidak perlu berterima kasih', alangkah kecewanya ibu yang mengintip dari balik kain gordijn, karena terus terang kami sangat membutuhkan uang pada waktu itu".

Sang anak minatnya semula ke bidang sastra. Tetapi kemudian secara drastis disuruh ayahnya mengubah haluan ke bidang hukum, profesi kebanggaan keluarga. Sang anak dibentuk oleh ayahnya untuk menempuh hari depan, sebaliknya dari pandangan Jubran Khalil Jubran. Sang anak berhasil menjadi jaksa, pengacara, dosen, dan terakhir menjadi Hakim Agung Republik Indonesia. Sang ayah yang hakim adalah almarhum Ahmad Marzuki Dg. Marala dan sang anak adalah DR H.Laica Marzuki,SH.

Demikianlah penuturan H.Laica Marzuki pada malam ramah-tamah yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Kawasan Timur Indonesia, Front Reformasi Anti Komunis dan Jama'ah Masjid Aqsha. Malam ramah-tamah itu diselenggarakan pada malam Jum'at, 21 September 2000 untuk melepas dan memberikan pesan-pesan kepada kedua orang anggotanya yaitu DR H.Laica Marzuki,SH dan H.A.Syamsu Alam,SH, untuk mengemban tugas yang berat di Jakarta menjadi Hakim Agung Republik Indonesia. Kepada adinda berdua, pengasuh kolom ini mengucapkan selamat bertugas, selamat berupaya mengangkat citra lembaga peradilan, yang kini sedang terpuruk itu.

Almarhum Ahmad Marzuki Dg. Marala yang telah berhasil membentuk anaknya untuk menempuh masa depan, telah mengikuti jejak LukmanulHakim, yang memberikan pesan-pesan kepada anaknya:
-- WADZQAL LQMN LABNH WHW Y'AZHH YBNY LA TSYRK BALLH AN ALSYRK LZHLM 'AZHYM. YBNY AQM ALSHLWT WAMR BALM'ARWF WANH 'AN ALMNKR WASHBR 'ALY MA ASHABK AN DZLK MN 'AZM ALAMWR (S. LQMN, 13,17), dibaca: wa idzqa-la luqma-nu libnihi- wahuwa ya'izhuhu- ya- bunayya la- tusyrik biLla-hi inasy syirka lazhulmun 'azhi-m. ya- bunayya aqimish shala-ta wa'mur bilma'ru-fi wanha 'anil mungkari wasybir 'ala- ma- asha-baka inna dza-lika min 'azmil umu-r (s. luqma-n), artinya: ingatlah, berkata Luqman kepada anaknya, tatkala ia memberikan pendidikan kepadanya: Hai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya musyrik itu adalah aniaya yang besar. Hai anakku, dirikanlah shalat, dan suruhlah orang berbuat kebajikan dan laranglah orang berbuat kejahatan, serta sabarlah atas cobaan yang menimpa engkau, sesungguhnya yang demikian itu adalah perbuatan yang didambakan (31:13,17). WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 24 September 2000