29 Oktober 2000

447. Hukum Rajam dan Potong Tangan Publikasikan Apa Adanya, Tanpa Apologi

Mulai seri 447 setiap bahasan tentang syari'ah dalam rangka sosialisasi Syari'at Islam dibuka dengan apa yang telah ditulis dalam Seri 438, 27 Agustus 2000: "Syari'ah berbeda dengan fiqh. Kedua kata itu adalah bahasa AL Quran. Syari'ah dalam arti luas adalah aqidah, jalannya hukum dan akhlaq, sedangkan fiqh bermakna kecerdasan dalam memikirkan, mempelajari, atau menyadari jalannya hukum. Mengenai pengertian syari'ah, demikianlah Firman Allah SWT, yang artinya: Kemudian Kami jadikan engkau (hai Muhammad) atas syari'ah di antara urusan, maka ikutilah syari'ah itu dan janganlah engkau turut hawa-nafsu orang-orang yang tidak berilmu (45:18). Sedangkan mengenai pengertian fiqh, Allah SWT berfirman, yang artinya: Tidaklah patut orang-orang beriman keluar semuanya (ke medan perang), mengapakah tidak sebagian di antara mereka yang tinggal berfiqh (memahami) addin (syari'ah) dan memberi peringatan kepada kaumnya, supaya mereka itu waspada (9:22)." Kedua ayat itu tidak dituliskan lagi transliterasi dari aslinya, karena telah dituliskan dalam Seri 438.

***

Menurut Masnawi, pemberlakuan Syari'at Islam, jangan dilihat dari sisi negatifnya saja, misalnya berzina dihukum rajam, mencuri dipotong tangan, tetapi harus dilihat dari positifnya juga, misalnya dengan pemberlakuan Syari'at Islam itu orang Islam akan takut melakukan perbuatan yang dilarang agamanya (FAJAR, edisi 24/10-2000, halaman 12). Menilik ucapan H.Masnawi, yang Wakil Gubernur Sulsel itu, maka sosialisai Syari'at Islam itu sungguh-sungguh sangat perlu. Sedangkan seorang Muslim terpelajar seperti Wagub itu mempunyai pandangan bahwa ada sisi negatif dari Syari'at Islam, apatah pula bagi para Muslim awwam, lebih-lebih lagi bagi yang non-Muslim. Itulah sebabnya mengapa mulai Seri 447 ini setiap bahasan tentang syari'ah dalam rangka sosialisasi Syari'at Islam selalu dibuka dengan penjelasan tentang syari'ah dan fiqh seperti apa yang telah ditulis dalam Seri 438.

Tentu saja H.Masnawi tatkala menunaikan ibadah haji, kalau tidak pernah menyaksikan, maka sekurang-kurangnya pernah mendengar, bahwa sehabis shalat Jum'at di Al Masjid Al Haram, dilaksanakan di depan umum sanksi hukuman penggal bagi terpidana pembunuh, ataupun sanksi hukuman potong tangan bagi terpidana pencuri. Itu adalah pelaksanaan syari'ah, dan apakah masuk di akal ada tindakan negatif yang dilaksanakan oleh penanggung-jawab segala urusan di Al Masjid Al Haram?

Sangatlah menyedihkan seorang Muslim terpelajar bersikap memberikan penilaian tentang syari'ah. Kalaulah yang bersikap demikian itu adalah seorang non-Muslim, tentu dapat dipahami. Syari'ah itu dari Allah SWT, itulah keyakinan seorang Muslim. Allah Maha Tahu tentang sanksi potong tangan dan rajam, apalah arti kita manusia ini, walaupun itu seorang Wagub, berani-beraninya menilai Allah SWT. Semua yang dari Allah SWT tidak ada yang negatif, semuanya positif.

Seorang Muslim tidak perlu malu dan rendah diri untuk mempublikasikan apa yang dari Allah SWT. Sehingga untuk membuang rasa malu dan rendah diri itu lalu dikatakanlah hukum rajam dan potong tangan itu negatif. Tidaklah juga rasa malu dan rendah diri itu lalu ditutupi pula dengan sikap apologi, lalu mentafsirkan potong tangan itu secara metaforis: memotong kekuasaan ataupun kewenangan. Sebab Nabi Muhammad SAW sendiri telah menjelaskan makna potong tangan itu secara tegas, dengan bersabda: "Walaupun andaikata Fatimah mencuri akan kupotong tangannya". Sabda itu keluar dari mulut beliau, tatkala beberapa orang bangsawan kepada RasuluLlah SAW memintakan grasi seorang perempuan bangsawan yang mencuri agar tidak dipotong tangannya. Sabda beliau itu menunjukkan bahwa tidaklah boleh ditafsirkan ungkapan memotong tangan itu secara metaforis dengan memotong kekuasaan. Sabda beliau itu menunjukkan bahwa memotong tangan itu betul-betul berarti sungguh-sungguh memotong tangan.(*)

Sanksi potong tangan itu sangat efektif untuk memberantas korupsi kelas kakap yang triliunan rupiah. Tentu saja kriteria korupsi kelas kakap itu perlu dijabarkan ke dalam fiqh konpemporer. Sanksi rajam itu sangat efektif untuk melawan penyebaran HIV/AIDS. Sanksi rajam itu sangat efektif untuk memberantas perselingkuhan yang banyak membuyarkan kehidupan rumah tangga. Kententeraman kehidupan rumah tangga adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. (**)

Syari'ah yang bermuatan: aqidah, jalannya hukum dan akhlaq, seperti dituliskan di atas, meliputi cakrawala yang luas, yaitu petunjuk untuk mengatur baik kehidupan nafsi-nafsi (individu), maupun kehidupan kolektif dengan substansi yang bervariasi seperti keimanan, ibadah ritual, karakter perorangan, akhlaq individu dan kolektif, kebiasaan manusiawi, ibadah non-ritual seperti: hubungan keluarga, kehidupan sosial politik ekonomi, administrasi, teknologi serta pengelolaan lingkungan, hak dan kewajiban warga-negara, dan terakhir yang tak kurang pentingnya yaitu sistem hukum yang terdiri atas komponen-komponen: substansi aturan-aturan perdata-pidana, damai-perang, nasional-internasional, pranata subsistem peradilan dan apresiasi hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang berakhlaq.

Demikianlah syari'ah itu bukan hanya sekadar sanksi rajam dan potongan tangan, itu hanya sebagian kecil, yaitu bagian kecil dari subsistem substansi aturan-aturan pidana dari sistem hukum. Namun walaupun hanya bagian kecil, itu sangat perlu untuk disosialisasikan, diungkap dan dipublikasikan secara apa adanya tanpa apologi dalam rangka sosialisasi Syari'at Islam.

Sekurang-kurangnya kita 17 kali membaca Surah Al Fatihah, berarti pula sekurang-kurangnya 17 kali bermohon kepada Allah SWT: Tunjukilah (hati) kami kepada jalan yang lurus. Maka Allah SWT menjawab (transliterasi huruf demi huruf): ALM DZLK ALKTB LA RYB FYH HDY LLMTQYN (S.ALBQRt, 1-2), dibaca: alif,lam,mim. Dza-likal kita-bu la- rayba fi-hi hudal lil muttaqi-n (s. albaqarah), artinya: alif,lam,mim. Itulah Al Kitab tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi para muttaqin (2:1-2). Janganlah ragu! Semua petunjuk berupa syari'ah semuanya positif, tidak ada yang negatif. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 29 Oktober 2000
-----------------------------
(*)Hukuman potong tangan tidak dapat diterapkan kepada pencuri yang kesulitan mencari makan, juga seseorang mencuri uang yang tergeletak di atas meja, misalnya, tidak disimpan di tempat yang semestinya. Yang pertama karena tertutupnya pintu halal dan yang kedua karena terbukanya pintu haram. Oleh karena itu, Khalifah 'Umar RA tidak memberlakukan hukuman potong tangan ketika Madinah dilanda krisis makanan.

(**)Khalifah Umar RA tidak membolehkan tentaranya pergi berjihad meninggalkan istrinya lebih dari empat bulan, sebab atas petunjuk putrinya Hafsah ra., seorang istri hanya mampu menahan kerinduan kepada suaminya dalam waktu paling lama empat bulan, jadi lebih dari itu akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak baik, yaitu terbukanya pintu gerbang perzinaan. Dalam hal hukuman zina (cambuk bagi pemuda/gadis, dan rajam bagi yang telah menikah) ada ulama fiqh berpendapat bahwa hukum cambuk tidak dapat diterapkan kepada pemuda/gadis yang kesulitan menikah, sementara pintu gerbang perzinaan terbuka lebar di hadapannya.

(*) dan (**)Bagaimanapun mencuri dan zina itu adalah dosa besar. Oleh sebab itu pemerintah dari negara yang meberlakukan Syari'at Islam berkewajiban untuk membuat kebijakan "pengamanan", yaitu menutup pintu gerbang pencurian dan perzinaan. Sebab dengan tidak adanya pengamanan terhadap dosa besar ini tergolong sebagai syubhat (remang-remang), yaitu sesuatu yang membuat unsur-unsur suatu kejahatan kurang begitu jelas, dan dalam hukum Islam telah ditetapkan bahwa hukuman-hukuman hadd tidak dapat diterapkan kalau ada syubhat.