22 April 2001

471. Pencoretan Syari’at Islam dalam Piagam Jakarta dan Rumah Politik untuk Menegakkan Syari'at Islam

Syari'at Islam terdiri atas 3 komponen: aqidah, tegaknya hukum dan akhlaq. Piagam Jakarta dibuat untuk dijadikan Muqaddimah UUD, yang juga sekaligus dipersiapkan untuk dibacakan sebagai maklumat (proklamasi) kemerdekaan Indonesia. Disebut Piagam Jakarta, karena piagam itu dibuat di Jakarta pada 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan (orang), yaitu: Ir Soekarno sebagai ketua merangkap anggota, Drs.Moh Hatta, Mr AA Maramis, KH Wahid Hasyim, Abd. Qahar Moedzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, H.Agoes Salim, Mr Ahmad Soebardjo, dan Mr Moh.Yamin. Piagam Jakarta urung dibacakan sebagai maklumat kemerdekaan Indonesia, karena Bung Karno dan Bung Hatta pada 15 Agustus 1945 larut malam diciduk oleh pemuda yang beraliran ideologi marxisme (Murba) ke Rengas Dengklok dan di sana didesak untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kedua pemimpin itu bertahan untuk membacakan proklamasi di Jakarta, sehingga atas jaminan Mr Ahmad Soebardjo keduanya dikembalikan ke Jakarta pada 16 Agustus 1945 malam. Karena naskah Piagam Jakarta tidak ditemukan malam itu, berhubung keberangkatan yang tergesa-gesa, karena diciduk pada larut malam 15 Agustus itu, maka dibuatlah teks proklamasi berdasarkan ingatan bagian akhir dari alinea ketiga, yaitu “rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdeka-annya”. "Rakyat Indonesia" diganti dengan "kami bangsa Indonesia". Inilah yang dijadikan bagian pertama dari teks proklamasi. Bung Hatta kemudian mengusulkan tambahan untuk menegaskan status hukum peralihan kekuasaan dan itulah yang menjadi bagian kedua dari teks proklamasi. Teks inilah yang dibacakan pada pagi-pagi 17 Agustus 1945.

Karena bukan Piagam Jakarta yang dibaca secara keseluruhan pada waktu proklamasi kemerdekaan, maka berakibat dua hal: Pertama, Republik Indonesia diproklamasikan tanpa Muqaddimah Undang-Undang Dasar, sehingga terjadi kevakuman konstitusi selama satu hari, karena UUD baru disahkan pada 18 Agusutus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kedua, terbuka kesempatan untuk mencoret Syari'at Islam, sebab jika Piagam Jakarta yang dibacakan sebagai teks proklamasi, maka itu sudah sah sebagai Muqaddimah UUD, sehingga PPKI tidak behak mencoret sepatah katapun, dan yang dibicarakan dalam sidang PPKI hanyalah fasal-fasalnya saja.

Pencoretan Syari'at Islam dibayar dengan harga mahal. Ummat Islam yang “sadar politik” dengan ideologi Islam yang “beraliran keras” mengadakan perlawanan bersenjata. Itulah latar belakang timbulnya Darul Islam dengan angkatan perangnya, Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Perlawanan DI/TII itu berlangsung bertahun-tahun. Di Aceh dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh yang dilanjutkan oleh Tengku Hasan di Tiro, di Jawa Barat dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar dan di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Abdul Qahhar Mudzakkar. Di Aceh perlawanan itu masih berlanjut terus hingga sekarang ini dengan baju baru yaitu Gerakan Aceh Merdeka, yang masih dipimpin dari Swedia oleh Tengku Hasan di Tiro.

***

AlhamduliLah, Presiden Habibie berhasil membuka katup aspirasi yang selama ini dipasung oleh Orde Lama dan Orde Baru, utamanya aspirasi yang menyangkut penegakan Syari'at Islam. Itulah yang memungkinkan terselenggaranya Kongres Ummat Islam se-Sulawesi Selatan oleh Komite Persiapan Penegakan Syari'at Islam Sulawesi Selatan (KPPSI) pada hari Kamis-Sabtu, 21-23 Rajab 1421 H/19-21 Oktober 2000 M bertempat di Asrama Haji Sudiang Makassar. Salah satu keputusan Kongres ialah bahwa penegakan Syari'at Islam haruslah melalui koridor konstitusi. Dan salah satu amanah kongres tersebut ialah membentuk pengurus KPPSI di setiap Daerah Tingkat II (Kabupatan dan Kota Madya) se-Sulawesi Selatan.

AlhamduliLlah, sekarang telah terbentuk KPPSI di seluruh Daerah Tingkat II provinsi Sulawesi Selatan. Pada hari Ahad, 21 Muharram 1422 H/15 April 2001, bertempat di halaman Masjid Al Markaz Al Islami dilangsungkan Tabligh Akbar yang dihadiri oleh massa KPPSI seluruh Sulawesi Selatan dan simpatisan. Dalam Tabligh Akbar itu dimaklumkanlah "Deklarasi Muharram Al Markaz Al Islami KPPSI Sulawesi Selatan". Keesokan harinya seluruh Pengurus/Aktivis KPPSI se-Sulawesi Selatan mengadakan silaturrahim sekaligus membawa deklarasi itu ke DPRD SulSel supaya diteruskan ke Jakarta. Dan alhamduliLlah, setelah berlangsung dialog yang hangat, bersahabat, yang diakhiri dengan berpelukan, DPRD bersedia meneruskan deklarasi itu kepada para elit politik di Jakarta, tegasnya ke DPR pusat dan Pemerintah pusat.

***

Ada lima butir isi Deklarasi Muharram tersebut. Karena keterbatasan ruangan hanya dua butir yang akan dikemukakan di sini, itupun intisarinya saja. Pertama aspirasi penegakan Syari'at Islam itu melalui perjuangan membentuk “rumah politik”, yaitu otonomi khusus. Kedua, pihak-pihak yang tidak sependapat dengan aspirasi tersebut, supaya mereka menghargainya sesuai tuntutan demokrasi. Butir-butir deklarasi itu bertumpu di atas ikrar di dalam shalat (demi keotentikan, transliterasi huruf demi huruf):
-- AN SHALWTY WNSKY WMHYAY WMMATY LLH RB AL'ALMYN (S. ALAN'AAM, 162), dibaca: inna shalati- wanusuki- wamahya-ya wamama-ti- lila-hi rabbil 'a-lami-n (s. al.an'a-m), artinya: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semuanya bagi Allah, Pengatur, Pemelihara alam semesta (6:162). WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.

*** Makassar, 22 April 2001