13 Mei 2001

474. Syari'at Islam di Aceh, PDIP Tidak Mendukung Apa Mendukung?

PDIP menolak pemberlakuan Syari'at Islam dalam RUU Nanggroe Aceh Darusslam yang kini sedang dibahas dalam Pansus DPR. Demikian ditegaskan Sutjipto, Sekjen yang juga ketua fraksi PDIP di MPR, setelah menghadiri rapat tertutup PDIP yang dipimpin Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. RUU Nanggroe Aceh merupakan salah satu fokus utama pembahasan dalam rapat tertutup itu. Syari'at Islam di bumi Serambi Mekah itu tidak sesuai dengan Pancasila dasar negara dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalau ada permasalahan fundamental, seperti Syari'at Islam maupun referendum, harus menyertakan seluruh rakyat Indonesia. Ini kemudian dibantah oleh Ketua DPP PDIP Roy BB Janis, bahwa PDIP mendukung pelaksanaan Syari'at Islam di Aceh. Namun jangan sampai pelaksanaan Syari'at Islam itu kontra-produktif dengan NKRI.
Logika apa yang dipakai PDIP (versi Sutjipto) sehingga masih menuntut lagi, bahwa permasalahan Syari'at Islam di Aceh harus menyertakan seluruh rakyat Indonesia? Apakah PDIP (versi Sutjipto) menyangka bahwa para anggota DPR (termasuk anggota DPR dari PDIP sendiri) itu bukan wakil rakyat Indonesia? Bukankah pemberlakuan Syari'at Islam dalam RUU Nanggroe Aceh Darusslam yang sedang dibahas oleh Pansus itu, kemudian akan dikemukakan dalam Sidang Paripurna? Apakah proses itu tidak menyertakan seluruh rakyat Indonesia? Dan bukankah pula keputusan pemberlakuan Syari'at Islam di Aceh itu sudah disahkan dalam UU No.24 tahun 2000? Dan itu berarti telah menyertakan seluruh rakyat Indonesia, hai Sutjipto. Terlepas dari PDIP tidak mendukung (versi Sucipto) atau mendukung (versi Roy), saya terpanggil untuk menyambut rasa ketidak ikhlasan PDIP, karena curiga bahwa Syari'at Islam akan kontra-produktif dengan dasar negara dan NKRI.

***
Pancasila dasar negara? Itu baru wacana bahasan akademis, bagi yang tidak mensakralkan Pancasila. Mengapa? Memang dalam alinea ke-4 UUD 1945 dikatakan: "yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, dst. hingga: serta dengan mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Alinea ke-4 ini tidak bicara tentang Pancasila, sebab "serta dengan mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", adalah tujuan yang hendak dicapai oleh ke-4 sila sebelumnya. Jadi menurut alinea ke-4 ini hanyalah Empat Sila, bukan Lima Sila. Lagi pula dalam Bab XI, psl 29 ayat (1) dikatakan: Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adalah hak semua agama di Indonesia untuk memahamkan Tuhan Yang Maha Esa menurut theologinya masing-masing. Allah SWT berfirman (demi keotentikan, transliterasi huruf demi huruf):
-- FAMNWAaMNWA BALLH WRSLH WLA TQWLWA TSLATS (S. ALNSA^, 171), dibaca: Fa.a-minu- billa-hi warusulihi- wala- taqu-lu- tsa-litsun (s. annisa-u), artinya: Maka berimanlah kamu sekalian kepada Allah dan Rasul-RasullNya, dan janganlah berkata: tsa-lits (4:171). Yang dimaksud dengan tsalits adalah trinitas (Bapak-Anak-Ruh suci), ataupun trimurti (Brahma-Wisynu-Syiwa). Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara, itu sangat sesuai dengan Syari'at Islam, karena ungkapan Maha Esa bukanlah sepertiga + sepertiga + sepertiga. Alhasil, pemberlakuan Syari'at Islam di Aceh tidaklah melanggar konstitusi, sehingga PDIP tidak perlu curiga bahwa Syari'at Islam akan kontra-produktif dengan dasar negara dan NKRI.

***
Andi Alfian Mallarangeng, pakar muda kita, yang diorbitkan kepopulerannya melampaui pakar-pakar lain oleh publikasi media bertayang, tiga kali saya mendengar melalui tayangan layar kaca Alfian juga menolak pemberlakuan Syari'at Islam di Aceh dengan alasan keseragaman. Itukan cara berpikir Orde Baru yang berparadigma "keseragaman", yang lebih menekankan tunggal ikanya, ketimbang bhinnekanya. Terlepas dari sikap kontra versus pro kepada Gus Dur sebagai Presiden, saya setuju dengan apa yang dikemukakan oleh Gus Dur di depan ummat Buddha yang merayakan Waisak ke-2545 di Hall Badminton Gelora Bung Karno malam Selasa ybl. Gus Dur sempat mengemukakan tentang negara Cina, satu negara, dua sistem: Cina daratan sistem komunis, Hongkong sistem liberal. Contoh yang dikemukakan Gus Dur itu tepat sekali. Sedangkan negara Cina yang komunis otoriter masih toleran kepada sistem liberal-kapitalis di Hongkong, yang nota bene kedua sistem itu sangat bertentangan, maka betapa pula di Republik Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ini, PDIP (versi Sutjipto) menolak pemberlakuan Syari'at Islam di Aceh, padahal Ketuhanan Yang Maha Esa itu sangat sesuai dengan Syari'at Islam. Selanjutnya Gus Dur berkata pula: "Indonesia yang sangat luas dari Sabang sampai Merauke, dengan berbagai bahasa dan adat-istiadat, tentu saja sangat wajar, kalau hukum yang digunakan berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain." Apa yang dikatakan Gus Dur itu benar sekali, karena dalam pandangan masyarakat Aceh, pelaksanaan Syari'at Islam itu akan mengembalikan adat istiadat dan jati diri masyarakat Aceh, seperti halnya dengan masyarakat Bugis-Makassar. WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.

*** Makassar, 13 Mei 2001