3 Juni 2001

477. Tiga Catatan Pinggir Sekitar Sidang Paripurna DPR 30 Mei 2001

Inilah dia ketiga pendapat yang saya timba dari Pendapat Akhir dalam Sidang Paripurna DPR 30 Mei 2001 yang akan saya berikan catatan pinggir:

  1. Dalam Memo I terjadi loncatan. Dari Presiden patut diduga terlibat dalam kasus Bulog-Brunai Gate, lalu meloncat ke vonnis: Presiden sungguh-sungguh melanggar sumpah jabatan. Dengan adanya surat dari Jaksa Agung bahwa Presiden tidak terlibat dalam Bulog-Brunai gate, maka ternyata Memo I bertumpu pada dugaan yang tidak benar, sehingga Memo I batal, demikian pula dengan Memo II.
  2. Surat dari Jaksa Agung itu menyangkut Hukum Pidana sedangkan hukum yang terikut dalam forum politik ini adalah Hukum Tata Negara. Hukum Pidana lain, Hukum Tata Negara lain. Jadi surat dari Jaksa Agung tidak mempunyai arti apa-apa.
  3. Keputusan Jaksa Agung belumlah final. Yang final adalah patokan palu hakim dalam pengadilan, jadi surat Jaksa Agung tidak perlu dihiraukan.
Sebelum saya memberikan catatan pinggir satu demi satu, akan saya pertanyakan dahulu kepada yang mengatakan tidak perlu dihiraukan surat Jaksa Agung (2, 3): Buat apa DPR berkirim surat kepada Jaksa Agung, kalau jawaban surat Jaksa Agung tidak perlu dihiraukan?

Catatan pinggir no.1: Loncatan yang tidak rasional itu disebut dengan logika bengkok (meminjam istilah M.Qasim Mathar), atau politische sprong (loncatan politik). Dalam arena politik seperti dalam sidang DPR logika bengkok itu sah sah saja. Yang penting adalah konstitusional, institusional, demokratis dan sesuai dengan mekanisme. Tidak perlu rasional apa lagi ilmiyah. Dalam Seri 445, 15 Oktober 2000, termaktub bahwa dalam rapat konsultasi pada 11/10-2000, Akbar Tanjung yang Ketua DPR mengingatkan Yusril Ihza Mahendra yang pakar Hukum Tata Negara itu, bahwa dalam rapat konsultasi itu tidak perlu mengemukakan wacana akademis. Saya memberikan komentar dalam Seri 445 tsb., bahwa menyepelekan wacana akademis dalam lembaga tinggi negara itu dalam alam demokrasi yang bertata cara suara terbanyak dalam proses pengambilan keputusan, apabila menyepelekan wacana akademis, akan menghasilkan keputusan politik yang bermutu rendah yang insya-Allah berpotensi konflik. Oleh karena saya tidak setuju dengan logika bengkok, maka catatan pinggir untuk no.2 dan 3, saya akan memakai logika sehat.

Catatan pinggir no.2: Surat dari Jaksa Agung itu menyangkut Hukum Pidana, itu betul. Hukum yang terikut dalam forum politik ini adalah Hukum Tata Negara, itu juga benar. Hukum Pidana lain, Hukum Tata Negara lain, itu betul dan benar sekali. Jadi surat dari Jaksa Agung tidak mempunyai arti apa-apa. Nah, di sini terjadi politische sprong! Inilah penjelasannya. Dalam regeltechniek dikenal input process output. Dalam Hukum Pidana input adalah informasi dari saksi-saksi, proses adalah penyelidikan, Gus Dur tidak terlibat adalah output. Tidak terlibat sebagai output Kejaksaan merupakan input bagi proses (baca: sidang) dalam forum DPR. Karena Gus Dur tidak terlibat BB-gate, maka ia tidak melanggar sumpah jabatan yang termaktub dalam Pasal 9 UUD-1945, dan ini sudah masuk dalam arena Hukum Tata Negara. Dari pendekatan regeltechniek ini saya sudah tunjukkan berpangkal dari Hukum Pidana dan berujung pada Hukum Tata Negara. Surat dari Jaksa Agung tidak mempunyai arti apa-apa, merupakan kesimpulan hasil politische sprong.

Catatan pinggir no.3: Kalau tidak cukup bukti, penyelidikan dihentikan tanpa keluarnya Surat Perintah, sebab tidak ada makhluk yang disebut Surat Perintah Pemberhentian Penyelidikan, yang ada cuma Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3). Kalau penyelidikan dihentikan, maka tidak berlanjut pada penyidikan, artinya tidak sampai ke pengadilan, tidak sampai dijamah oleh hakim, lalu bagaimana ada patokan palu hakim.

***
Dalam Seri 413, tgl 9 Juli 2000 dituliskan: "Alangkah baiknya jika Gus Dur introspeksi diri mengubah gaya kepemimpinan pesantren 'one man show'. Mengubah sikapnya yang dibentuk oleh iklim LSM, bersikap 'lempar ucap ke sana ke mari' yang kontroversial-kotraproduktif." Gaya tersebut tidak pernah diubah oleh Gus Dur, sehingga pada umumnya orang jengkel kepadanya. Dalam menilai Presiden di arena politik, orang tidak lagi melihat pada ma- qa-la (makalah, apa yang dikatakan), melainkan melihat pada man qa-la (menggala, siapa yang berkata), artinya penilaian terhadap Gus Dur atas bias "dislike". Dan itulah yang terjadi dalam kedua Sidang Paripurna DPR yang lalu.

Dengan asumsi Gus Dur tidak mengeluarkan dekrit, supaya anggota MPR dalam SI yang akan datang tidak menilai atas dasar dislike, ada resep dari Firman Allah SWT (demi keotentikan transliterasi huruf demi huruf):
-- WLA YRJMNKM SYNAN QWM 'ALY ALA T'ADLWA (S. ALMA^DT, 8), dibaca: wala- yarjimannakum syanaa-nu qawmin 'ala- alla- ta'dilu- (s. alma-idah), artinya: dan janganlah kamu terdorong oleh rasa jengkelmu kepada suatu kaum, sehingga kamu tidak berlaku adil (5:8). Walla-hu a'lamu bisshawa-b.

*** Makassar, 3 Juni 2001