30 Juni 2002

530. Menguliti Strategi Amerika Atas Ummat Islam Sedunia

Sesungguhnya pembahasan ini mempunyai hubungan dengan Seri 037 tanggal 12 Juli 1992 yang berjudul Prasangka. Akan dikutip sedikit dari Seri 037: "Rezim militer Aljazair, ibarat anak pekak yang menggembala kambing itu. Golongan Islam yang membentuk kekuatan politik, yang menempuh cara demokratis, menjadi salah satu kontestan dalam pemilihan umum, dicap fundamentalis. Sebenarnya istilah fundamentalis ini pengertiannya baik-baik saja. Tetapi dalam lapangan politik internasional istilah ini sudah mempunyai konotasi yang khas, suka menempuh cara kekerasan. Pemilu lanjutan dibatalkan rezim militer. Kalau golongan Islam yang dizalimi itu terpaksa terlibat dalam tindak kekerasan dan pertumpahan darah, semutpun kalau diinjak, niscaya menggigit.

Amerika Serikat yang begitu menggemborkan dirinya pahlawan demokrasi, bungkam, bahkan bersikap menyokong rezim militer Aljazair, yang mentorpedo hasil dan proses pemilihan umum itu. Mengapa? Amerika sedang risau, Iran potensial bakal menggantikan kedudukan mantan Uni Sovyet untuk menantang, menjadi rival Amerika. Ambisi Amerika untuk menjadi negara adidaya tunggal, menjadi polisi dunia, bakal mendapat hambatan, gangguan, bahkan ancaman dari Iran. Ini membentuk sikap Amerika berprasangka kepada setiap gerakan Islam, tidak terkecuali di Aljazair."

***
Setelah sekian lama kampanye "crusade" (meminjam istilah Bush) yang dilancarkan Amerika ke atas kekuatan Islam di Afghanistan, ternyata Amerika tidak berhasil mencapai hasil-hasil yang diimpikannya walau yang terkecil sekalipun. Ibarat kata bidal Melayu lama" "Sepandai-pandai membungkus bau yang busuk, akhirnya tercium jua." Media massa dunia yang sudah wataknya tunduk pada kekuasaan zalim ini, berusaha sedemikian rupa untuk menutupi aib Amerika dari mata dunia. Tetapi situs-situs jihad membuka bungkusan busuk itu sehingga baunya tersebar jua.
Telah nyata dan semakin hari semakin kelihatan strategi Amerika ibarat: Ayam putih terbang siang hinggap di kayu ranggas, bahwa Amerika melakukan kampanye "crusade" yang dimulai di bumi Afghanistan untuk mencapai empat target:

  1. Menjamin keberhasilan penguasaan ekonomi di daerah itu, khususnya yang berkenaan dengan simpanan minyak di laut Kaspi dan barang tambang lain di bumi Afghan sendiri, serta mengamankan pipa minyak yang akan mengalirkan minyak dari Asia Tengah ke daerah Teluk Parsi.
  2. Memukul dan menghancurkan kekuatan Islam yang dianggapnya sebagai ancaman bagi masa depannya. Kampanye ini dimulainya dari Negara Islam Afghanistan yang baru bangun oleh Pemerintahan Thaliban yang memberlakukan Syari'at Islam, namun belum pulih dari luka parah akibat invasi Uni Sovyet.
  3. Mengganggu daerah penyanggah untuk menghambat pengaruh Negara Islam Iran terhadap negara-negara bekas negara bahagian Uni Sovyet di Asia Tengah yang bangkit dengan kekauatan Islam.
  4. Mengisi kekosongan pengendalian daerah itu setelah terusirnya Uni ovyet dari bumi Afghan dan buyarnya Uni Soviet.
Bahasan ini difokuskan pada butir kedua. Yang jelas ahli strategi Amerika hingga kini belum mampu membuat strategi baru untuk menghadapi kekuatan Islam yang dianggapnya sebagai ancaman terhadap Amerika yang ingin menjafi polisi dunia itu. Strategi yang digunakan adalah strategi lama George Connan tahun 1947 dan dilakukan oleh Amerika atas Uni Soviet, dalam rangka perang dingin. Tentu hal ini menjadi titik lemah Amerika, karena Amerika ternyata belum mempunyai ahli-ahli strategi yang mampu untuk membuat sesuatu yang baru, dan masih menjalankan strategi lama itu.

Amerika tidak dapat memahami Mujahidin yang tersebar di berbagai pegunungan Afghanistan dan dunia lain tidak semudah itu untuk diawasi dengan satelit dan peralatan intelijen lainnya. Pergerakan armada-armada Amerika di lautan juga menunjukkan sebuah langkah yang sangat tidak bijaksana, karena Mujahidin tidak mempunyai satupun armada laut yang harus dihancurkan atau bahkan jalur perniagaan. Mujahidin bukanlah seperti Uni Sovyet yang ketika itu memang mempunyai berbagai jalur pergerakan di lautan, baik secara ketentaraan atau perniagaan.

Sebuah kesalahan besar yang dilakukan oleh para ahli strategi Amerika ketika memilih tentara darat untuk masuk ke pegunungan di Afghanistan dalam tugasnya menghabisi kekuatan Mujahidin di sana. Itu hanya akan membuat berbagai kesulitan dan permasalahn baru bagi tentara Amerika sendiri.

Bumi Afghan memang sudah terkenal sebagai kuburan segala tentera penjajah, yaitu United Kingdom dan Uni Sovyet, serta sekarang ini Amerika Serikat. Nampaknya Amerika tidak mengambil pelajaran dari sejarah perang ghazivat, jihad fiy sabiliLlah bangsa Chechen melawan invasi Rusia. Bagi orang-orang Chechnya, dengan kesadaran Jihad fiy SabiliLlah, yang telah tumbuh dan mengalir dalam darah pemuda-pemudinya, telah mempecundangi Rusia yang berusaha untuk menghabisi kaum ini dari permukaan buminya. Seharusnya Amerika belajar dari kesia-siaan Rusia memerangi kekuatan Islam di Chechnya itu.

Angka awal jumlah tentara yang di pakai oleh Amerika dalam kampanyenya di Afghanistan adalah 5000 orang anggota tentara darat (dari koalisi berbagai negara seperti Amerika, Inggris, Perancis dan lainnya) dengan didukung 600 buah pesawat tempur dan helikopter (baik pengangkut atau penyerang) bersama 50 buah Armada laut yang tentunya angka-angka ini semakin bertambah dengan kegagalan di pegunungan Tora Bora dan pertempuran kota Gardez. Hal ini membuktikan pernyataan para pengamat yang menganggap Amerika hanyalah sebuah kekuatan tentara udara dan laut dan tidak mempunyai tentara darat yang berpengalaman. Setiap orang yang memperhatikan sejarah kekalahan Amerika di Korea dan Vietnam pasti akan melihat bahwa sebab utama kekalahannya adalah karena musuh-musuh Amerika itu berhasil menghalangnya dari menggunakan unsur-unsur laut dan udara.

Kita tutup bahasan ini dengan Firman Allah:
-- WMKRWA WMKR ALLH W ALLH KHYR ALMAAKRYN (S. AL 'AMRAN, 54), dibaca: wamakaru- wamakara lla-hu wa Lla-hu khayrul ma-kiri-n (s. ali 'imra-n), artinya: mereka merencana, dan Allah berencana, dan Allah sebaik-baik Perencana (3:54). Wallahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 30 Juni 2002