28 Juli 2002

534. TaqdiruLlah yang Ditanam dan yang Tidak Ditanam di Alam Syahadah

Ada sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, artinya: Kemudian (Allah) berfirman kepada Adam: "Pergilah dan memberi salamlah kepada malaikat-malaikat itu dan dengarkanlah mereka memberi hormat kepada engkau. Itulah kehormatan engkau dan keturunan engkau."

Setelah Adam dengan para malaikat saling mengucapkan salam, maka terjadi dialog antara Allah dengan para malaikat:
-- WADZQAL RBK LLMLaKt ANY JA'AL FY ALARDH KHLYFt QALWA ATJ'AL FYHA MN YFSD FYHA WYSFQ ALDMAa WNhN NSBh BhMDK WNQDSLK (S. ALBQRt, 2:30), dibaca: wa izd qa-la rabbuka lilmala-ikati inni- ja-'ilun fil ardhi khalifatan qa-lu- ataj'alu fi-ha- may yufsidu fi-ha- wayasfikud dima-a wanahnu nusabbihu bihamdika wanuqaddisulaka (s. albaqarah), artinya: Tatkala Maha Pengaturmu berkata kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku menjadikan khalifah di bumi, berkatalah (para malaikat): Apakah Engkau menjadikan di atasnya yang merusak dan menumpahkan darah, (padahal) kami (para malaikat) tasbih kepadaMu dan mengquduskanMu (2:30).

Mengapa malaikat bisa tahu bahwa turunan Adam itu kelak sifatnya perusak dan penumpah darah?, padahal malaikat baru saja melihat person dan saling mengucap salam dengan Adam, lagi pula Allah belum menjelaskan kepada para malaikat sifat turunan Adam itu kelak (malaikat secara serta-merta spontan "memprotes" pengangkatan Adam sebagai khalifah itu dengan alasan manusia itu perusak dan penumpah darah). Sedangkan malaikat tidak tahu apa-apa jika Allah tidak memberi tahu kepada mereka:
-- LA 'ALMLNA ALA MA 'ALMTNA (S. ALBQRt, 2:32), dibaca: la- 'ilma lana- illa- ma-a 'allamtana- (s. albaqarah), artinya: tidak ada ilmu pada kami, kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami.

Dari ayat (2:32) itu dapat disimak bahwa para malaikat itu sebelumnya telah menyaksikan sejenis makhluq yang postur tubuhnya sekurang-kurangnya menyerupai postur tubuh manusia seperti Adam, katakanlah itu "manusia" pra-Adam. Bahwa Allah SWT sebagai Maha Pengatur (arRabb), mengatur ciptaanNya dengan TaqdiruLlah (hukum alam menurut istilah sekulernya) yang "ditanam" dan yang "tidak ditanam" di alam syahadah. TaqdiruLlah yang "ditanam" di alam syahadah prosesnya sinambung, sehingga dapat dikaji oleh sains, karena terbuka dapat diobservasi oleh siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Sedangkan yang "tidak ditanam" hanya muncul, sekali jadi dalam beberapa saat seperlunya, sehingga tidak dapat dikaji oleh sains, karena tidak terbuka, tidak dapat diobservasi oleh siapa saja, tidak di mana saja, dan tidak kapan saja.

Bagaimana kita bisa tahu mana yang "ditanam" dan mana yang "tidak ditanam"? Gampang, yang "tidak ditanam" dijelaskan secara spesifik dalam Al Quran, seperti kejadian Adam :
-- ANY KHALQ BSYRA MN SHLSHAL MN HMAa MSNWN. FAaDZA SWYTH W NFKHT FYH MN SHLSHAL MN ALRWHY (S. AL HJR, 28-29), dibaca: inni- kha-liqun basyaram min shalshaalim min hamaim masnu-n. faidza- sawwaytuhu- wanafakhtu fi-hi mir ru-hi- (s. alhijir), artinya: Sesungguhnya Kucipta manusia dari tanah liat kering dari tanah hitam hingga berpostur. Setelah Kusempunakan ia kutiupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku (15:28-29).

Contoh lain beberapa TaqdiruLlah yang "tidak ditanam" ialah lengan Nabi Musa AS menjadi putih, tongkatnya menjadi ular dan membelah Laut Merah, Nabi 'Isa AS membuat burung dari tanah kemudian menjadi hidup setelah ditiup oleh Nabi 'Isa AS, Isra-Mi'raj Nabi Muhammad SAW. TaqdiruLlah yang "tidak ditanam" itu disebut 'ajaib (miracle), dari akar kata 'Ain, Jim, Ba, 'ajaba. Ini tidak boleh dirancukan dengan kata yang akarnya dari 'Ain, Jim, Zai, 'ajaza = melemahkan. Ini diturunkan menjadi mu'jizat, yakni sesuatu yang diberikan oleh Allah kepada para Nabi untuk melemahkan visi penentangnya. Mu'jizat tidak selamanya mesti = ajaib, miracle. Contoh: Lengan Nabi Musa AS menjadi putih dan tongkatnya menjadi ular di Gunung Sinai itu ajaib, sebab belum diaplikasikan untuk melemahkan visi Fir'aun dan kaki-tangannya. Nantilah menjadi mu'jizat setelah "didemontrasikan" dalam majelis Fir'aun.

Karena TaqdiruLlah yang tidak ditanam di alam syahadah itu secara spesifik dijelaskan dalam Al Quran, tidak boleh dikembangkan / generalisasi, misalnya umur Nabi Nuh AS dalam Al Quran disebutkan secara spesifik 950 tahun, lalu dikembangkan bahwa umur orang dapat saja panjang mencapai sekitar mendekati 1000 tahun, maka itu tidak boleh dikembangkan demikian. Tidak ada orang lain yang umurnya mendekati 1000 tahun, hanya Nabi Nuh AS saja. Atau misalnya Sitti Maryam disebutkan dalam Al Quran secara spesifik dapat mengandung tanpa hubungan seks, lalu dikembangkan bahwa dapat saja seorang gadis perawan mengandung tanpa hubungan seks, maka itu tidak boleh dikembangkan demikian. Tidak ada perawan yang mengandung, kecuali satu-satunya Sitti Maryam.

Kembali pada penciptaan Adam yang secara spesifik dijelaskan Al Quran, itu bukanlah proses yang sinambung, melainkan sekali jalan, dan mustahil dapat diobservasi oleh anak-cucunya yang belum lahir. Namun proses terjadinya "manusia" pra-Adam yang diasumsikan oleh para malaikat sifatnya seperti Adam, karena tidak secara spesifik dijelaskan dalam Al Quran, maka itu kejadiannya diatur menurut TaqdiruLlah yang "ditanam" di alam syahadah, sehingga dapat dikaji oleh sains, misalnya mengkaji fosil-fosilnya. Namun hasil interpretasi dari fosil-fosil itu oleh Darwin dengan paradigma filsafat positivisme bahwa itu menurut proses evolusi buta secara kebetulan (blind evolution by chance), itu harus dikoreksi oleh Sains Islami dengan paradigma Tawhid. Itu bukan evolusi buta secara kebetulan, melainkan itu adalah evolusi berencana oleh Maha Pengatur (ArRabb):
-- SBh ASM RBK ALA'ALY . ALDZY KHLQ FSWY (S. AL A'ALY, 87:1-2), dibaca: sabbihisma rabbikal a'la-. Alladzi- khalaqa fasawwa- (s. al a'la-, 1-2), artinya: Sucikanlah atas nama Maha Pengaturmu Yang Maha Tinggi . Yang mencipta kemudian menyempurnakan (87:1-2).

Ayat (87:2) mengandung pengertian bahwa terjadi proses dari mencipta ke menyempurnakan. Proses itu bisa berupa evolusi yang sinambung, bisa pula berupa evolusi dengan loncatan. Ayat (15:29) tidak menyatakan secara spefifik bahwa "manusia" pra-Adam itu ditiupkan ruh, maka "manusia" pra-Adam itu sama dengan ciptaan Allah yang lain tidak mempunyai ruh, jadi hanya sekadar semangat untuk hidup saja. Sedangkan kejadian Adam (dan Hawa) bukan melalui evolusi, karena secara spesifik dijelaskan kejadian penciptaannya dalam Al Quran, yaitu mengikuti TaqdiruLlah yang tidak ditanam di alam syahadah, sehingga itu termasuk kejadian yang ajaib. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 28 Juli 2002