26 Januari 2003

559. Data, Terminologi, Tekstual, Kontekstual dan Takwil tentang Ibadah Qurban

Hari Ahad, 2 Februari 2003, malam Senin:
Makkah: matahari terbenam jam 18:10:57 waktu setempat, tinggi hilal 11°49'49", dapat diru'yah, lamanya hilal di atas ufuk 1 jam 10' 9"
Makassar: matahari terbenam jam 18:27:01 waktu setempat, tinggi hilal 11°3'35", dapat diru'yah, lamanya hilal di atas ufuk 51' 29"
Maka: "1 Dzulhijjah 1423 H = 3 Desember 2003 M, berarti 10 Dzulhijjah 1423 H = 12 Februari 2003. Sehingga Shalat 'Iyd alQurban pada hari Rabu, 12 Februari 2003 M, insya Allah."

Ibadah Qurban dimulai sesudah Shalat 'Iyd alQurban = 'Iyd alAdhha = 'Iyd alNahar. Disebut 'Iyd alQurban, karena pada hari itu orang mulai berqurban, baik yang sedang berhaji di Mina, maupun ummat Islam di seluruh dunia. Disebut 'Iyd alAdhha, hari raya sepenggal matahari naik, karena pada posisi matahari di bola langit seperti itu orang bershalat 'Iyd. Disebut 'Iyd alNahr, hari raya menyembelih, karena pada hari itu orang mulai menyembelih binatang ternak empat kaki.

Kata Qurban adalah bahasa Al Quran yang dibentuk oleh akar kata yang terdiri dari huruf-huruf: Qaf, Ra, Ba, artinya dekat. Qurban ini telah diserap ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk kurban atau korban. Kurban dan korban dalam rasa bahasa Indonesia sudah menyimpang dari Qurban menurut rasa bahasa Al Quran. Kurban dan korban dalam rasa bahasa Indonesia tidak lagi diapresiasikan maknanya yang asli yaitu dekat. Namun apabila Qaf, Ra, Ba dalam bentuk qarib dan dalam bentuk ism tafdhil (superlatif) aqrab, yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk karib dan akrab, masih terasa maknanya yang asli: sahabat karib dan pergaulan yang akrab. Kata kurban atau korban dalam rasa bahasa Indonesia dipengaruhi oleh rasa bahasa barat: offering, sacrifice (Inggris), slachtoffer (Belanda). Kurban atau korban dirasakan sebagai sesuatu yang dipersembahkan. Karena sudah terbiasa dan mendarah daging turun-temurun kata kurban dan korban itu dirasakan sebagai suatu persembahan, sesajen, maka sangat sukar sekali kata kurban dan korban dirasakan sebagai mendekatkan batin kita kepada Allah SWT. Dalam Al Quran dekat dan Qurban dirangkaikan: QRBA QRBANA (S. ALMA^DT, 27), dibaca: qarraba- qurba-nan, artinya: keduanya mendekatkan (diri kepada Allah) dengan Qurban (5:27).

Melaksanakan syari'ah tanpa landasan 'aqidah yang bersih dari tahyul serta khurafat (paganism), tidak akan mendapatkan nilai ukhrawi. Berqurban haruslah berlandaskan atas aqidah yang bersih dari paganism, bersih dari rasa bahasa korban sebagai suatu persembahan (offering) yang sakral (sacrifice) sifatnya.

Karena 'Ibadah Qurban seperti dijelaskan dalam Seri 558 masuk dalam kategori Syari'at yang 'ubudiyyah, maka harus dimaknai secara tekstual. Firman Allah SWT:
-- FADZA WJBT JNWBHA FKLWA MNHA WATH'AMWA ALQAN'A WALM'ATR . LN YNAL ALLH LHWMHA WLA DMA^WHA WLKN YNALH ALTQWY MNKM (S. ALHJ, 36-37), dibaca: Faidza- wajabat junu-buha- fakulu- minha- wath'imul qa-ni'a wal mu'tar. Lay yana-lalla-ha luhu-muha- wala- dima-uha- wala-kiy yanuhut taqwa- minkum (s. alhaj), artinya: apabila telah rebah badannya (hewan sembelihan), maka makanlah sebagian darinya dan beri makanlah orang yang tidak meminta dan orang yang meminta . Tidak akan sampai kepada Allah daging-dagingnya dan tidak darah-darahnya, melainkan yang sampai kepadaNya ialah ketaqwaan kamu (22:36-37).
-- FSHL LRBK WANHR (S. ALKWTSR, 2), dibaca: fashalli lirabbika wan har (s. alkawtsar), artinya: maka shalatlah bagi Maha Pemeliharamu dan sembelihlah (108:2). Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Bara': qa-lan nabiyyu saw inna awwala ma- nabda-u fi- yawmina- ha-dza- nushalli- tsumma narji'u fananhar, aw qama- qa-la, artinya: Bersabna Nabi SAW pertama-tama yang kita lakukan pada hari ini shalat, kemudian kita kembali, lalu menyembelih (hewan Qurban). Demikianlah, 'Ibadah Qurban tidak boleh tidak harus dimaknai secara tekstual, tidak boleh bertentangan dengan Nash: ayat (22:36-37), (108:2) dan Shahih Bukhari, yaitu menyembelih binatang Qurban, supaya dapat dimakan dagingnya.

Karena darah dan daging hewan itu tidak akan sampai kepada Allah, maka orang dapat mengangkatnya ke tataran nilai berbuat baik kepada orang miskin, buat apa diberikan secara konsumtif. Dalam konteks visi produktif, lebih baik hewan Qurban itu diberikan kepada mereka itu untuk diternakkan supaya terbuka lapangan kerja. Tidak ada ketentuan bahwa hewan Qurban itu mesti jantan. Itu hanya karena pemahaman tekstual harus dipotong, sayang-sayang kalau binatang Qurban itu dipilih yang betina, berhubung dapat beranak.

Namun pendekatan kontekstual ini bertabrakan dengan yang tekstual. Dalam hal ini akal mesti bekerja. Apabila itu dilihat dari segi pasar, maka itu sangat mempunyai nilai ekonomis. Produksi saja tanpa pasar tidak ada gunanya. Bahkan tidak kurang dalam kegiatan ekonomi harus memperluas bahkan kalau perlu menciptakan pasar. Allah SWT telah menciptakan pasar bagi peternak kelas bawah dalam bulan Dzulhijjah setiap tahun. Melalui kredit usaha tani (KUT), para peternak dapatlah berternak sapi, kambing dan biri-biri khusus "diproduksi" untuk dipasarkan sekali setahun.

Maka menyembelih hewan Qurban setiap tahun sebagai pasar bagi para peternak kecil-kecilan, 'Ibadah Qurban itu sekali-gus mempunyai nilai ekonomis, nilai sosiologis dan tidak bertabrakan dengan pendekatan tekstual. Bahkan dengan memotong hewan korban yang dagingnya diberikan kepada orang miskin sekali gus terbinalah komunikasi dalam konteks psikologis, yaitu ikatan batin antara yang memberi dengan yang menerima daging yang secara langsung dapat bermakna pula sebagai nilai kesehatan, peningkatan gizi, mengkonsumsi protein.

Yang terakhir penggantian Isma'il dengan binatang sembelihan dapat ditakwilkan dalam dua hal: pertama, menyembelih naluri kebinatangan dalam diri kita, kedua, kita berkewajiban untuk mencegah agar supaya nilai kemanusiaan tidak diinjak-injak, dan inilah kewajiban asasi manusia (KAM). Alhasil, "berdamailah" yang Tekstual, Kontekstual dan Takwil. WaLlahu a'lamu bishShawab.

*** Makassar, 26 Januari 2003