20 Juli 2003

584. Alat Ukur Ketaqwaan

Adapun Seri 584 ini adalah berupa rekaman dari Kultum [Kuliah Tujuh Menit] seusai shalat Zhuhur di masjid Kompleks Bangunan Pasca Sarjana Universitas Muslim Indonesia Makassar pada 10 Juli 2003. "Itu terlalu singkat," saya mendengar bisik-bisik yang agak keras (rupanya disengaja agar saya dapat mendengarnya), dari beberapa mahasiswa Pasca Sarjana. "Tentu saja singkat, karena itu adalah Kultum," kata saya. Menurut hemat saya, rekaman Kultum tersebut elok kiranya jika dipateri dalam kolom ini, dengan sedikit "dimekarkan" substansinya, namun "dipadatkan" secara redaksional.

Dalam 24 jam, sekurang-kurangnya 17 kali ummat Islam bermohon kepada Allah:
-- AHDNA ALSHRATH ALMSTQYM (S. ALFTht, 1:5), dibaca: ihdinash shira-thal mustaqi-m (s. alfa-tihah), artinya: Tunjukilah kami kepada Jalan yang Lurus. Dikatakan sekurang-kurangnya 17 kali, sebab di samping shalat wajib, ummat Islam yang shalat mengerjakan pula shalat sunnat. Allah SWT menjawab permohonan hambaNya itu dengan: DZLK ALKTB LA RYB FYH HDY LLMTQYN (S. ALBQRt 2:2), dibaca: dza-likal kita-bu la- rayba fi-hi hudal lilmuttaqiyn (s. albaqarah), artinya: Itulah Al Kitab tiada keraguan di dalamnya petunjuk bagi para muttaqin.

Dalam ayat (2:2) ada tanda tiga titik (spt titik pada huruf 'tsa' dan 'syin') terletak diatas kata "RYB" dan "FYH". Tanda tiga titik diatas dua kata tsb dalam ayat (2:2) menunjukkan mu'jizat lughawiyah, yaitu ayat (2:2) dapat bermakna dua yg keduanya mempunyai keutamaan masing-masing. Ada dua cara dalam membaca ayat (2:2) tersebut, yaitu dapat berhenti pada kata RYB, dan dapat pula berhenti pada kata FYH. Kedua cara bacaan tersebut menghasilkan penekanan dalam bobot yang berbeda, namun yang satu dengan yang lain saling bersinergi, saling mengisi.

Mari kita baca ayat (2:2):

Cara yang pertama, berhenti pada kata RYB: Dza-likal kita-bu la- rayba, berhenti sebentar kemudian dilanjutkan dengan fi-hi hudal lil muttaqi-n. Kalau kita membaca serupa ini maka maknanya ialah: Itulah Al Kitab tiada keraguan, pernyataan tegas dari Allah bahwa Al Quran tiada keraguan sumbernya dari Allah SWT, kemudian dilanjutkan dengan: di dalamnya mengandung petunjuk bagi para muttaqin. Jadi cara membaca yang pertama ini bobotnya pada penegasan dari Allah SWT bahwa tiada keraguan bahwa Al Quran bersumber dari Allah SWT.

Cara yang kedua, berhenti pada kata FYH: Dza-likal kita-bu la- rayba fi-hi, berhenti sebentar kemudian dilanjutkan dengan hudal lil muttaqi-n. Cara membaca yang kedua ini bermakna: Itulah Al Kitab tiada keraguan di dalamnya, menunjukkan bahwa tiada keraguan merupakan alat ukur bagi orang-orang taqwa dalam potongan ayat yang selanjutnya: petunjuk bagi para muttaqin. Jadi bobot cara pembacaan kedua ini ialah "tiada keraguan" adalah "alat ukur" mengenai ketaqwaan kita. Kita dapat mengukur ketaqwaan diri kita sendiri secara gradual haqqa tuqaatih (sebenar-benarnya taqwa) seberapa jauh qalbu kita istiqamah (konsisten, taat asas) kita setiap menghadapi pengambilan keputusan.

Cara pembacaan pertama yang bobotnya pada tiada keraguan bahwa Al Quran itu bersumber dari Allah SWT, pada umumnya tidak ada masalah dalam kalangan ummat Islam. Saya pernah membaca novel, sudah lupa judul buku dan pengarangnya, seorang yang bergelimang dosa tidak ingin menyentuh mushhaf Al Quran, bahkan ia berteriak tatkala seorang mencoba memberikan kepadanya mushhaf Al Quran untuk dipegangnya. Alasannya? Al Quran terlalu suci untuk disentuhnya, berhubung ia penuh bergelimang dosa. Nantilah dia berani menyentuhnya apabila ia telah berhasil bertawbat. Ini contoh yang ekstrem, tetapi penulis novel itu menggambarkan bahwa seorang Muslim bagaimanapun bergelimang dengan dosa karena perbuatannya, ia masih tetap berkeyakinan tidak meragukan Al Quran itu bersumber dari Allah SWT.

Namun pada cara pembacaan yang kedua yang bobotnya tidak meragukan isi Al Quran, masih bermasalah. Dalam hidup ini kita tidaklah sunyi dari berhadapan dengan masalah di mana kita harus mengambil keputusan, baik dalam ruang lingkup sekadar sebagai individu, maupun dalam ruang lingkup organisasi rumah tangga, kemasyarakatan dan negara. Yaitu sebagai Muslim dan Muslimah dalam hal yang berikut: sebagai kepala rumah tangga (suami), mahkota rumah tangga (isteri), sebagai pemompin organisasi sosial politik, sebagai birokrat, menteri ataupun presiden. Apakah kita senantiasa istiqamah memposisikan Al Quran itu di depan kita, yaitu dalam pengambilan keputusan senantiasa kita bertanya dahulu sebelumnya kepada Al Quran baru mengambil keputusan. Apakah akal kita ini secara istiqamah senantiasa kita tempatkan di bawah bimbingan wahyu. Apakah kita ini selalu istiqamah menjaga konfigurasi: Wahyu mengendalikan akal dan iman mengendalikam ilmu.

Alhasil, apakah kita ini sudah bertaqwa, alat ukurnya jelas: tidak meragukan kebenaran Al Quran. Jadi kita dapat mengukur diri kita sendiri apakah qalbu kita ini berbolak balik samada taqwa atau tidak secara gradual. Dapatkah qalbu kita ini tidak bolak-balik, melainkan senantiasa istiqamah dalam sepanjang hidup kita, menempatkan Al Quran di depan kita, sebelum mengambil keputusan kita tanya dahulu Al Quran, sesudah itu barulah kita mengambil keputusan. Tidak seperti apa yang telah dilakukan oleh Menteri Sosial, tanda tangani dahulu itu Kuis berbau judi, tanpa bertanya kepada Al Quran. Kuis berbau judi itu baru ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan oleh Menteri Sosial, setelah khalayak heboh dan Menteri Sosial mendapat surat dari Menko Kesra H.M.Yusuf Kalla. Jadi bahkan Muslim sekualitas Menteri Sosial, cara pembacaan yang kedua tersebut masih bermasalah baginya. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 20 Juli 2003