5 Oktober 2003

595. Anna- Laka Ha-dza-

Apa itu Anna- Laka Ha-dza-? Setiap kali Nabi Zakaria AS, yang mengasuh dan membesarkan Maryam binti 'Imran, masuk ke mihrab senantiasa telah tersedia makanan di hadapan Maryam. Bertanyalah Nabi Zakariya AS: YMRYM ANY LK HDZA QALT HW MN 'IND ALLH (S. AL 'IMRAN, 37), dibaca: ya- maryamu anna- laki ha-dza- qa-lat huwa min 'indiLLa-h (s. Ali 'imran), artinya: hai Maryam, dari manakah engkau mendapatkan ini, Maryam menjawab, itu dari sisi Allah (3:37).

Tatkala 'Umar ibn Khattab RA menjadi khalifah, beliau memperkembang pertanyaan Nabi Zakaria AS menjadi "Anna- laka ha-dza-. Pertanyaan tersebut ditujukan Khalifah 'Umar kepada umara, yaitu aparatur negara. [Laki dalam ayat dikembangkan Khalifah 'Umar menjadi Laka, oleh karena Maryam adalah perempuan, sedangkan aparat adalah laki-laki]. Khalifah 'Umar mengharapkan (dan harapannya itu terkabul) bahwa seluruh aparat memberikan jawaban yang sama dengan jawaban Maryam, bahwa kekayaan para aparat itu adalah rezeki yang halal dari Allah SWT, bukan harta yang haram dari setan.

Tulisan Zainal A.M. Husein (ZAMH), berjudul Pembuktian Terbalik dan 'Perang' Terhadap Korupsi (Catatan Kecil untuk Jalaluddin Rahman) di halaman OPINI, bertanggal, Jum'at 19 September 2003, membuat pernyataan bahwa dia tidak suka yang bearoma presumption of guilty. Ini memancing rentetan pertanyaan: "Bukankah input perkara pidana ke dalam proses persidangan pengadilan adalah berupa sangkaan + dakwaan? Bukankah pada hakekatnya sangkaan + dakwaan itu beraroma presumption of guilty?" Lalu kalau ZAMH tidak suka yang beraroma presumption of guilty, apakah ZAMH mempunyai konsep bagaimana proses peradilan dalam pengadilan bisa berlangsung tanpa sangkaan dan dakwaan?

ZAMH memperkenalkan jati dirinya sebagai peneliti (aktivis juga?) HAM. Adalah umum bahwa peneliti/aktivis HAM tidak setuju dengan pembuktian terbalik. Mengapa para aktivis HAM itu umumnya tidak setuju dengan pembuktian terbalik? Karena "katanya" pembuktian terbalik itu, guilty until proven innocent itu tidak searoma dengan Hak Asasi Manusia.

***

Perselisihan antara Nuku dengan Wieling perihal asas tersangka harus membuktikan dirinya bersih bertentangan dengan asas praduga tak bersalah, betul-betul pernah terjadi dalam sejarah yang merobek gencetan senjata menjadi perang yang tidak dimaklumkan pada tahun 1805. Nuku adalah Sultan Tidore yang membebaskan kerajaannya dari bagian-bagian wilayah tiga gubernuran Kompeni Belanda (de drie Oostersche Provintien van Gouvernementen): Ternate, Ambon dan Banda. Nama lengkapnya Nuku Sulthan Said alJihad Muhammad alMabus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan Gelar Tuan Barakat Sultan Tidore, Papua dan Seram.

Syahdan, 2 orang penghuni istana Tidore, yaitu dayang-dayang puteri Boki Fathimah yang bernama Sulasi dan Barunarasa mencuri emas, intan-berlian puteri itu dan melarikan diri ke Ternate. Nuku bersurat kepada Wieling pada 28 Muharram 1220 (18 April 1885) supaya kedua tersangka itu diextradisikan ke Tidore. Wieling menolak permintaan extradisi itu oleh karena kedua tertuduh itu adalah penduduk Ternate, bukan penduduk Tidore, jadi tidak tergolong di bawah jurisdictie kerajaan Tidore (en dus in geen opsigte tot de Jurisdictie van het Tidorsche Rijk behooren).

Nuku dapat memahami penolakan itu, namun yang Nuku tidak mau mengerti ialah bahwa hasil pengadilan Belanda di Ternate menyatakan kedua tersangka tidak bersalah karena penuntut tidak dapat membuktikan kesalahan mereka. Seseorang tidak dapat dikatakan bersalah apabila tidak dapat dibuktikan kesalahannya, yakni asas praduga tak bersalah. Kejaksaan bukan saja bertugas memberantas kejahatan, tetapi juga melindungi siapa yang tidak bersalah (om zoo wel de ontschuld te beschermen als het quaad te beteugelen). Sedangkan dalam Kerajaan Tidore sejak Kolano Kaicil Cire raja Tidore yang mula-pertama masuk Islam (1450), berlaku hukum acara sesuai yang diletakkan asasnya oleh Khalifah 'Umar ibn Khattab RA: Anna- laka ha-dza-, dari mana milikmu ini, tersangka harus membuktikan kebersihan dirinya." [dikutip dari Seri 120. Nuku vs Wieling, Membuktikan Diri Bersih, vs Praduga Tak Bersalah, bertanggal 20 Maret 1994]

Alhasil dengan pembuktian terbalik ini jaksa tidak perlu khawatir akan dibakar hangusnya dokumen-dokumen barang bukti, sebab jaksa tidak perlu akan barang bukti tersebut, berhubung bukan lagi jaksa yang harus membuktikan tindak pidana korupsi dan kolusi, melaikan pembuktian itu harus dilakukan oleh terdakwa dalam sidang pengadilan. Demikianlah proses itu menjadi efisien dan efektif. Kejaksaan dan pengadilan dapat menangani kasus korupsi dan kolusi dengan cepat, sehingga dapat menyelesaikan lebih banyak kasus korupsi dan kolusi. Dalam hal ini perlu ada sinkronisasi dengan undang-undang tentang keanggotaan lembaga-lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara, supaya tidak ada ketentuan dalam lembaga-lembaga tersebut bahwa para anggotanya tidak boleh dipanggil oleh lembaga kejaksaan tanpa izin. [dikutip dari Seri 332. Mengapa Pembuktian Terbalik?, bertanggal 26 Juli 1998]

***

Di NKRI ini realitas menunjukkan adanya kepincangan. Upaya menghadapi "bom" yang tidak kurang dahsyatnya, yaitu korupsi, tidak seintensif dengan upaya menghadapi terrorisme. Payung hukum untuk menghadapi terrorisme sudah ada, yaitu UU Antiteroris nomor 15 tahun 2003. Payung hukum untuk menghadapi korupsi, utamanya konglomerat hitam, walaupun sudah ada, yaitu UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi, itu masih banci/lemah karena dinyatakan bahwa terdakwa hanya mempunyai hak untuk membuktikan dirinya bersih, yang seharusnya supaya eifsien dan efektif seperti telah dikemukakan di atas, terdakwalah yang wajib membuktikan kebersihan dirinya.

Akhirulkalam, betapa banyaknya konglomerat hitam, koruptor kelas kerapu, berlindung dibalik presumption of innocent ! Maka terkhusus dalam kondisi seperti di NKRI ini di mana KKN amat sangat meraja lela, presumption of innocent hanya melindungi hak tidak asasi bagi konglomerat hitam. Yang cocok diterapkan ialah guilty until proven innocent dengan metode Anna- Laka Ha-dza-. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 5 Oktober 2003