2 November 2003

599. Demokrasi, HAM dan Kumpul Kebo

Demokrasi berlandaskan atas paradigma filsafat humanisme agnostik (tidak mau tahu, indifference, acuh tak acuh tentang Tuhan), yang menjunjung tinggi "privacy" (kebebasan individu, individual freedom). Yaitu "everybody should be granted unrestricted freedom to believe whatever he likes and to do whatever he pleases so long he does not injure his neighbour", setiap orang harus diberikan secara tak terbatas kemerdekaan untuk mempercayai apa saja yang ia inginkan dan berbuat apa saja yang ia sukai sepanjang ia tidak mencederai orang-orang sekitarnya. Kalau orang bicara tentang hak asasi (bukan azasi) manusia, maka pemahaman tentang kemanusiaan juga bertumpu pada filsafat humanisme agnostik ini. Itulah sebabnya demokarasi tidak dapat dipisahkan dari HAM menurut kacamata agnostic humanism ini.

Berdasarkan atas filsafat humanisme agnostik ini, maka kekuasaan peradilan tidaklah menjangkau meliwati pintu kamar tidur. Privacy ini dianut pula di Indonesia oleh sementara orang yang tidak mau tahu tentang Syari'at Islam dan nilai-nilai agama wahyu sejak Indonesia diperintah oleh Belanda sampai sekarang ini, yaitu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 284, bahwa zina itu hanyalah sekadar delik aduan belaka. Polisi hanya dapat menangkap orang yang berzina jika suami perempuan berzina itu atau isteri laki-laki yang berzina itu berkeberatan dan melapor ke polisi. Polisi tak dapat berbuat apa-apa walaupun menyarakat sekelilingnya melapor ke polisi tentang perzinaan itu. Maka gadis yang hamil karena berzina dengan seorang jejaka, tidaklah dapat ia mengadukan musibah kehamilannya itu ke polisi, berhubung gadis itu tidak punya suami ataupun jejaka itu tidak punya isteri yang akan berkeberatan. Dengan demikian jejaka yang menghamilkan itu tidak dapat diseret oleh polisi untuk disodorkan ke jaksa, untuk selanjutnya didudukkan di kursi terdakwa dalam ruang pengadilan. Nilai budaya siriq yang sudah longgar di kota, namun masih terpelihara di dusun-dusun membuahkan perbuatan menjadi hakim sendiri dan mengeksekusi secara beramai-ramai, oleh tumasiriq atas tumanyala, oleh karena hakim peradilan tidak dapat menyentuh laki-laki penghamil yang "dilindungi" oleh pasal 284 KUHP tersebut, sedangkan gadis yang dihamili tidak dapat menempuh upaya hukum. KUHP tidak melindungi perempuan!

Syari'at Islam memberikan tuntunan berbudaya, tidak terkecuali budaya berdemokrasi dan HAM. Demokrasi dan HAM adalah produk akal budi manusia tentulah tidak mutlak benar, karena akal budi manusia itu relatif sifatnya. Demokrasi dan HAM yang bertumpu di atas paradigma humanisme agnostik yang menjunjung tinggi privacy harus ditolak oleh hamba-hamba Allah yang menerima secara mutlak nilai-nilai transendental agama wahyu, yaitu Al Furqan. SYHR RMDHAN ALDZY ANZL FYH ALQURAN HDY LLNAS WBYNT MN ALHDY WALFRQAN (S ALBQRt, 2:185), dibaca: Syahru ramadha-nal ladzi- unzila fiyhil Qur-anu hudal linna-si wabayyina-tim minal huda- walfurqa-n (s. albaqarah), artinya: Bulan Ramadhan yaitu di dalamnya (mulai) diturunkan Al Qura^n, petunjuk bagi manusia, dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan Al Furqan.


***

Nursyahbani Katjasungkana (NK), aktivis Solidaritas Perempuan dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik, dalam penuturannya kepada Nong Darol Mahmada dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) pada hari Kamis, 9 Oktober 2003, antara lain menyatakan bahwa revisi KUHP bukan semakin menghormati hak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan individu. Sebetulnya KUHP tidak bisa digunakan atau difungsikan sebagai penjaga moral, misalnya dalam hal kumpul kebo. Sebab, demikian menurut NM, ketentuan mengenai pasal kumpul kebo bisa terjadi perbedaan mencolok. Di Bali, Mentawai dan Irian, hal itu dianggap sesuatu yang biasa. Di beberapa komunitas tertentu, hidup bersama di luar perkawinan adalah hal biasa. Tapi masalahnya, apa yang dimaksud dengan di luar perkawinan itu? Kalau kita mengacu pada UU Perkawinan, perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut agama dan kepercayaan yang sama. Ayat kedua menyatakan, setiap perkawinan harus dicatatkan.

Kita tahu, demikian NK selanjutnya, banyak perkawinan yang tidak dicatatkan. Nah, apakah itu termasuk dalam kategori delik aduan, atau semata-mata hidup bersama saja. Bagaimana kalau hidup bersama disahkan oleh agama atau adatnya; apakah itu masuk ketegori kumpul kebo? Nah, dengan demikian, perkawinan-perkawinan yang selama ini ditolak pencatatannya, seperti perkawinan agama Konghucu, kawin beda agama, perkawinan orang Kaharingan, mau masuk kategori yang mana?

***

Ada dua hal yang menarik dari pemahaman NK yang perlu disungkurkan. Kita mulai dahulu dengan yang pertama, yaitu: "KUHP tidak bisa digunakan atau difungsikan sebagai penjaga moral." Visi ini bertentangan dengan salah satu Kewajiban Asasi Manusia (KAM), yaitu YNHWN 'AN ALMNKR (dibaca: yanhawna 'anil mungkar), artinya mencegah kemungkaran. Apabila KAM ini tidak dilaksanakan oleh Pranata Hukum, maka akibatnya masyarakat yang sadar akan KAM akan menjadi hakim sendiri secara beramai-ramai. KAM tidak mengenal privacy dalam konteks free sex, yang salah satunya adalah kumpul kebo.

Yang kedua yang perlu disungkurkan ialah alasan "teknis" NK yang naif yang dipaksakan dan dicari-cari, yaitu: "Di Bali, Mentawai dan Irian, hal itu dianggap sesuatu yang biasa. Bagaimana kalau hidup bersama disahkan oleh agama atau adatnya." Kelihatan betul di sini bahwa NK tidak berpikir secara nizam (sistem), artinya ia hanya berpikir secara parsial. Bukankah dalam revisi KUHP itu termaktub diktum: "Penuntutannya hanya bisa dilakukan kalau ada pengaduan dari keluarga, kepala adat atau lurah/kepala desa." Jelas, bukan?

Alhasil kumpul kebo itu tidak bisa berlindung di bawah payung HAM. Namanya saja kumpul kebo, artinya berkumpul seperti kerbau, berbebas seks seperti binatang, berdegradasi dari manusia menjadi binatang. Melepaskan dirinya dari ciri khas manusia yang dimuliakan Allah: WLQD KRMNA BNY ADM (S. BNY ASRA^YL, 17:70), dibaca: walaqad karramna- bani- a-dama (s. bani- isra-i-l), artinya: sesungguhnya telah Kami muliakan bani Adam. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 2 November 2003