30 Oktober 2005

700. Pertanyaan Tentang Angka 19 dan 17

Salahuddin Husein dari milis Lautan-Quran menulis:
Saya punya satu pertanyaan terkait dengan angka 19 ini. Apakah ada cerita ketika Baginda Rasul dan para ulama sahabat generasi salaf dahulu menjumpai orang-orang kafir yang tidak percaya pada kebenaran Quran kemudian bersusah payah menggali makna ayat-ayat tersembunyi (bahasa arabnya apa ya, mutasyabihat?) hanya untuk membuktikannya? Yang saya pahami Baginda Rasul mensyiarkan Quran adalah dengan meleburkannya ke dalam kepribadian beliau, bukan dengan mengutak-atik misteri ayat-ayatnya.

Tentu saja RasuluLlah SAW faham betul tentang makna angka 19 ini. Namun pada zaman Rasul SAW dan para sahabat, tabi'in (generasi sesudah sahabat) tab'ittabi'in (generasi sesudah tabi'in) dan generasi selanjutnya, tidak ada orang kafir yang mengganggu, mengusik keotentikan Al-Quran. Tetapi setelah itu, dalam perjalanan waktu, dengan hermeneutika, berbilang orang kafir dan pseudo-Muslim telah dengan sengit menyerang keotentikan Al Quran. Pseudo-Muslim dipelopori oleh Nasr Hamid Abu Zayd dari Mesir, yang mengakui pengalamannya belajar di Amerika sungguh-sungguh membawa hasil. Ia berucap: "Hermeneutics, the science of interpreting texts, opened up a brand-new world for me. I owe much of my understanding of hermeneutics to opportunities offered me during my brief sojourn in the United States".

Seperti anak kecil yang baru dapat pistol mainan, ia segera mencari sasaran tembak di sekitarnya. Kalau pisau hermeneutika bisa dipakai untuk membedah Bibel, maka tentu itu dapat pula digunakan untuk mengkritisi Al Quran. Bukankah keduanya itu sama, sama-sama kitab suci. Demikian logika Abu Zayd yang memakai asas paralelisme. Dengan pengungkapan mathematical interlock system kelipatan 19, maka itu merupakan senjata yang sangat ampuh untuk melumpuhkan dan menyungkurkan serangan peluru hermeneutikan itu. Sedikit ilustrasi di bawah:

Arthur Jeffery, orientalis campuran Australia-Amerika menulis:
Sura I of the Koran bears on its face evidence that it was not originally part of the text..... [The Muslim World, Volume 29 (1939), pp. 158-162. The Text of the Qur'an Answering Islam Home Page]

Luthfi Asysyaukani, dosen di Universitas Paramadina, Jakarta, dan editor jaringan yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal menulis:
Al-Quran mengalami berbagai proses "copy-editing" oleh para sahabat, tabi'in, ahli bacaan, qurra, otografi, mesin cetak, dan kekuasaan. Kaum Muslim meyakini bahwa Al-Quran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam.

Taufik Adnan Amal, dosen di IAIN (sekarang menjadi UIN) Alauddin Makassar, aktivis jaringan yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal, menulis:
Bagi rata-rata sarjana Muslim, "keistimewaan" rasm utsmani merupakan misteri ilahi dan karakter kemukjizatan al-Quran. Tetapi, pandangan ini lebih merupakan mitos.

Asumsi spekulasi intelektual dari mendiang Fazlur Rahman, gurunya mendiang Nurcholis Madjid, yaitu bahwa Al Quran adalah "both the Word of God and the word of Muhammad". Asumsi ini bernuansa hermeneutika filosofis. Asumsi ini berpijak pada paradigma (kerangka dasar) bahwa Al Quran bukanlah teks yang turun dalam bentuk kata-kata aktual secara verbal, melainkan merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Nabi Muhammad SAW dan sekaligus diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistiknya. Nabi Muhammad SAW diposisikan sebagai "pengarang" teks Al Quran.

Kalau S. Al Fatihah bukan bagian dari Al Quran, maka jumlah Surah, demikian pula jumlah Basmalah, bukan lagi 114 = 6 x 19, melainkan cuma 113. Alat kontrol sistem 19 dengan mudah melumpuhkan Arthur Jeffery.

Satu kata saja yang diubah hurufnya, seperti kata shalat menurut Rasm 'Utsmaniy: Shad, Lam, Waw, Ta, yang sangat rawan untuk diubah menjadi Shad, Lam, Alif, Ta, seperti dalam teks adzan di layar kaca (siaran TV), maka sistem 19 akan mengontrol. Jumlah huruf Alif + Lam + Mim dalam Surah 2, 3, 7, 13, 29, 30, 31, 32, yaitu 12312 + 8493 + 5871 = 26676 = 1404 x 19. (Ini telah disajikan dalam bentuk tabulasi dalam Seri 699 ybl. Ada salah salin dalam tabulasi tsb, mestinya di Surah 2, jumlah Mim 2195, bukan 2175). Kalau Waw diganti dengan Alif dalam kata shalat, maka akan rusaklah sistem 19 dalam jumlah huruf Alif + Lam + Mim dalam ke-8 Surah yang di atas itu. Sampai sekarang angka 26676 = 1404 x 19, masih tetap bertahan. Itu artinya tidak pernah terjadi copy editing. Angka-angka itu hasil observasi huruf-huruf, jadi bukan mitos dan tidak dijangkau oleh hermeneutika yang hanya membedah kata-kata. Alhasil kegenitan Luthfi Asysyaukani, Taufik Adnan Amal dan Fazlur Rahman secara telak disungkurkan oleh mathematical interlock system kelipatan 19.

Melalui Japri Hamba Allah menulis:
Menurut Ustad dalam Seri 699, saya salin: "Pada umumnya ditafsirkan, bahwa Al-Quran diturunkan pada Hari Al-Furqan, hari bertemunya dua pasukan, yaitu pada Perang Badar. Dan menurut catatan sejarah, Perang Badar terjadi pada 17 Ramadhan, sehingga Nuzul Al-lQur^an adalah pada 17 Ramadhan." Ustad, ini mana ayatnya yang ditafsirkan itu. Dan dimana pula letak kesalahan angka 17 itu menurut Ustad.

Bukan Ustad (dal), tetapi Ustadz (dzal, dal pakai titik). Ini ayatnya:
-- WMA ANZLNA 'ALY 'ABDNA YWM ALFRQN YWM ALTQAY ALJM'AN (S. ALAMFAL, 8:41), dibaca: wa ma- anzalna- 'ala- 'abdina- yawmal furqa-na yawmal taqal jam'a-n, artinya: dan (beriman kepada) apa yang kuturunkan kepada hambaku (Muhammad) pada Hari Al Furqaan, hari bertemunya dua pasukan.

Letak salahnya, yang di Indonesia ini secara resmi "ngotot" dianut angka 17 itu, ialah pada orang yang mencatat kejadian Perang Badar, entah siapa orangnya pencatat itu. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 30 Oktober 2005