18 Desember 2005

707. Melayari Laut dalam Konteks Nilai Sub-Kultur Bugis Makassar

Kita buka perbincangan ini dengan kelong (syair Makassar) yang menggambarkan nilai semangat istiqamah (konsisten), baik dalam hal prinsip maupun dalam hal operasional:

Takunjungaq bangun turuq
Takuginciriq gulingku
Kualleanna
Tallanga natoaliya

Tak kumau angin buritan
Kemudi takkan kuputar
Kendatipun akan tenggelam
Pantang aku urung berlayar

Yang berikut adalah nilai keberanian yang bersinergi kecakapan berlayar.

Saya masih ingat waktu kecil ketika bermain-main sampan layar, saya yang sedang memegang kemudi di bagian belakang sampan berteriak jagako kepada teman yang bertugas mengimbangi kemiringan sampan, yang berdiri dipinggir sampan pada sisi yang berlawanan dengan layar. Biasanya sampan mempunyai cadik/kengkeng, semacam tangkai yang menganjur keluar kiri kanan sampan untuk keseimbangan sampan. Tetapi waktu saya masih anak-anak dalam soal sampan layar mempunyai nilai tersendiri: Anak-anak/remaja yang melayarkan sampan layar yang memakai cadik dicap penakut. Teriakan jagako itu saya ucapkan untuk memperingatkan teman tadi agar siap siaga akan datangnya angin, karena melihat kerutan kecil air laut yang melaju ke arah sampan layar kami itu. [Cuplikan dari Seri 029, bertanggal 17 Mei 1992]

Yang berikut adalah nilai "pandangan berisi" dan kecekatan berlayar menggergaji menghadapi angin sakal, yaitu dengan mengoperasionalkan tujuan taktis yang kelihatannya menyimpang dari tujuan strategis.

Pada zaman Jepang seorang heitai (serdadu Jepang) membentak nakhoda perahu sambil meludahi kedua telapak tangannya: "Bagero, kunapa purahu kusituka?". Tentera Jepang kalau membentak dengan bagero disertai dengan meludahi telapak tangan itu berarti siap-siap untuk menempeleng. Ia marah besar kepada nakhoda perahu, oleh karena tujuan perahu menyimpang sekitar 45 derajat ke kiri dari arah pulau yang akan dituju, p.Jampea. Melihat gelagat tentera Jepang yang menyandang samurai itu, nakhoda perahu dengan tenang menatap mata heitai Jepang itu dengan sinar mata yang tajam dengan "pandangan berisi", yang mengandung pengaruh sirap. Hasilnya, Jepang itu tertunduk, sikapnya melemah, butir-butir keringat menyembul di keningnya. Dahulu para nakhoda perahu bukan hanya terampil melayarkan bahtera saja, melainkan harus pula menguasai ilmu "pandangan berisi" sebagai salah satu persyaratan untuk menjadi nakhoda. "Tuan, kita menggergaji, kita mendapat angin sakal, bukan angin buritan", nakhoda itu menjelaskan. Sungguhpun serdadu Jepang itu kurang begitu mengerti penjelasan sang nakhoda, ia mangguk-mangguk saja, maklumlah hatinya sudah kecut oleh sinar mata sang nakhoda. Apa sesungguhnya yang terjadi ialah perahu itu harus menempuh lintasan seperti mata gergaji, zig zag, oleh karena angin tidak bertiup dari belakang perahu. Itu biasa dalam dunia pelayaran, yang belum difahami oleh serdadu Jepang itu. [Cuplikan dari Seri 096, bertanggal 26 September 1993]

Yang berikut adalah nilai musyawarah dan kebersamaan dalam membina negeri:

Malam Jumat, 4 Agustus 1994, di lantai 3 Gedung Harian Fajar itu tatkala mendengarkan alunan suara budayawan Mappaseleng Dg Maqgauq, menyanyikan "Minasa ri Boritta", saya bernostalgia, ingat tempo doeloe, ketika saya masih kecil di kampung halaman, sewaktu lagu-lagu daerah masih sangat dominan, oleh karena belum terjadi akulturasi budaya kita dengan budaya luar. Waktu itu setiap ada "paqgaukang", pesta kenduri, tidak pernah ketinggalan acara kesenian Rambang-Rambang, yaitu nyanyian solo diiringi oleh empat atau lima biola dan rabbana (rebana). Sebelum Perang Dunia kedua kalau ada Pasar Malam di Makassar, Parambang-Rambang Silayaraq (Selayar) tidak pernah absen. Mengapa nyanyian solo yang diiingi dengan perangkat bunyi-bunyian biola dan rebana itu dinamakan apparambang-rambang, menggelar rambang-rambang, oleh karena senantiasa lagu pertama yang dinyanyikan ialah lagu/kelong Rambang-Rambang. [Cuplikan dari Seri 139, bertanggal 7 Agustus 1994).

Kata dasar rambang menjadi kata kerja aqrambangang, itu terkhusus istilah yang digunakan dalam kalangan pelaut, artinya berbanjar mengembang layar. Dalam bahasa Makassar kata kerja ditasrifkan. Untuk orang pertama tunggal aqrambangang. Orang pertama jamak kiqrambangang. Orang pertama jamak waktu yang akan datang (future tense) nakiqrambangang. Tasrif (konyugasi) terakhir ini dapat dilihat dalam kelong Rambang-Rambang di bawah.

Pakabajiki boritta
Kimassing massamaturuq
Nakiqrambangang
Ansombali mateqneya

Benahilah negeri kita
Masing-masing bersepakat
Berbanjar mengembang layar
Berlayar mencapai sejahtera

Karena nakiqrambangang dalam bentuk future tense, maka berbanjar mengembang layar baru dikerjakan setelah terjadi kesepakatan. Jadi nilai filosofis kelong Rambang-Rambang, yaitu pekerjaan membenahi negeri barulah dilakukan setelah terjadi kesepakatan, bukanlah tiba masa tiba akal.

***

Hasil istinbath (penggalian) nilai Sub-Kultur di atas itu utamanya nilai musyawarah/kesepakatan dan kebersamaan serta istiqamah dalam membenahi negeri mestilah berutumpu pada paradiqma Nilai Al-Furqan dari Syari'at Islam. yaitu bertawakkal kepada Allah, seperti FirmanNya:
-- WSyAWRHM FY ALAMR FADzA 'AZMT FTWKL 'ALY ALLH AN ALLH YhB ALMTWKLYN (S. AL'AMRAN, 3:159), dibaca: wasya-wirhum fil amri faidza- 'azamta fatawakkal 'alaLla-hi inaaLla-ha yuhibuul mutawakkli-na, artinya: Dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan (negara dan kemasyarakatan), maka apabila engkau telah menetapkan cita-cita, bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang tawakkal. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 18 Desember 2005