26 Februari 2006

716. Perlu Transparansi Penanganan Pranata Hukum

-- The distasteful cartoons of the Prophet Muhammad, first published in Denmark in September 2005 and subsequently reproduced in other media, continue to spark a chain of reactions ranging from peaceful protest to violence in many Muslim communities. ... Another vital step would be to discontinue their reproduction, which only prolongs the outrage. ... To non-Muslims, the image of the Prophet Muhammad may only be of casual interest. But to Muslim communities worldwide, it is of enormous spiritual importance. Demikian secuil (a little bit) kutipan dari tulisan Presiden SBY yang dimuat di bagian Opinion, International Herald Tribune. Alihbahasanya kira-kira demikian:
-- Kartun berselera rendah tentang Nabi Muhammad (SAW) yang pertama kali diterbitkan di Denmark bulan September 2005 dan kemudian diterbitkan ulang di media lain, terus memicu reaksi berantai protes bergeser meningkat dari damai hingga yang keras di banyak negeri Muslim. ... Langkah penting lainnya adalah berhenti melakukan reproduksi yang hanya akan memperpanjang ketegangan. ... Bagi non-Muslim, gambaran Nabi Muhammad mungkin tidak terlalu penting. Namun, bagi komunitas Muslim di antero dunia, hal tersebut teramatlah penting secara spiritual.

Ditegaskan pula oleh Presiden SBY sikap beliau mengenai kartun penghinaan Nabi Muhammad SAW yang pada pokoknya seperti kutipan tulisan yang di atas itu di depan majelis yang menghadiri upacara pembukaan Kongres HMI ke-25 di Balai Prajurit Jenderal M.Yusuf di Makassar tgl.20 Februari 2006 yang lalu. Dan juga sehubungan dengan dijeratnya beberapa koruptor yang kabur keluar negeri bahwa kepada mereka dilakukan proses hukum yang benar dan dijelaskan kepada rakyat sejelas-jelasnya dan transparan. Selanjutnya pada hari itu juga menurut Presiden SBY akan menjadi wacana besar dalam masyarakat, sehubungan dengan ketokan palu hakim yang membebaskan mantan Dirut Bank Mandiri ECW Neloe beserta dua direkturnya. Itu diucapkan Presiden SBY saat silaturrahim dengan tokoh pers dan pimpinan media di Hotel Imperial Aryaduta.

***

Benar apa yang ditulis Presiden SBY bahwa Langkah penting adalah berhenti melakukan reproduksi yang hanya akan memperpanjang ketegangan. Namun langkah menghentikan reproduksi kartun berselera rendah bahkan biadab itu belumlah cukup di Indonesia ini. Juga penolakan secara spiritual belumlah cukup, melainkan haruslah pula diselesaikan secara nyata di bidang hukum, tidak perduli walaupun tabloid Peta telah ditarik dari peredaran dan penanggung jawabnya telah minta maaf. Ummat Islam sama sekali tidak berhak untuk memaafkan, karena hak itu hanya dimiliki oleh Allah dan Rasulnya. Al-Quran hanya menyebutkan sanksi hukumnya dan Sunnah Rasul sebagai juklat dari apa yang disebutkan oleh ayat. Untuk menyegarkan ingatan pembaca eloklah jika dikemukakan sekali lagi apa yang telah dikemukakan dalam Seri 714 tentang perkara sanksi hukum ini.

-- WALDzYN YWaDzWN RSWL ALLH LHM 'ADzAB ALYM (S. ALTWBt, 9:61), dibaca: walladzi-na yu'dzu-na rasu-laLla-hi lahum 'adza-bun ali-m, artinya:
-- Mereka yang menyakiti RasuluLlah, bagi mereka azab yang pedih.

(Abdullah bin Abbas berkata) bahwa ada seorang lelaki buta yang istrinya selalu mencela dan menjelek-jelekkan Nabi saw. Lelaki itu berusaha memperingatkan dan melarang istrinya agar tidak melakukan hal itu. Namun, ia tetap melakukannya. Pada suatu malam, istrinya mulai mencela dan menjelek-jelekkan lagi Nabi saw. (Karena tidak tahan) lelaki itu mengambil kapak dan dihunjamkan ke perut istrinya hingga mati. (Mendengar itu) Rasulullah SAW bersabda:
-- Saksikanlah bahwa darah (perempuan itu) halal. (HR Abu Dawud dan an-Nasa'i).

Nash tersebut menegaskan sanksi azab atas pelaku Syatama al-Rasul, dan darah pelaku Syatama al-Rasul adalah halal. Demikianlah, azab itu di dunia ini berupa hukuman mati (halal darahnya) ditegaskan sendiri oleh Rasulullah SAW secara langsung, bukan pendapat (ijtihad) para fuqaha maupun ulama. Dengan kata lain, sanksi itu bukan hasil tafsiran atau ijtihad, melainkan pasti (qath'i). Sanksi hukuman mati itu tidak bisa dilaksanakan di Indonesia ini, oleh karena Al-Quran dan Hadits tidaklah dijadikan sumber hukum positif di negara ini. Maka dalam hal ini boleh dipakai pendekatan kontekstual. Yang salah ialah apabila mempunyai otoritas untuk melaksanakan sanksi secara tekstual, tetapi diambil yang kontekstual dengan mengabaikan yang tekstual.

Pranata hukum yaitu hakim pernah mengetukkan palu menghukum Arswendo yang menghina Nabi Muhammad SAW walaupun penghinaan Arswendo itu tidak seberat dengan kartun penghinaan yang bikin marah ummat Islam seluruh dunia itu. Seperti diketahui Arswendo Atmowiloto yang memposisikan Rasulullah SAW berada pada urutan di bawahnya dari 100 tokoh yang menurutnya paling berpengaruh, telah pernah mendapat hadiah meringkuk tahunan di balik jeriji besi karena ulahnya tersebut.

Tindakan polisi yang sementara menangani pelaku yang dilaknat Allah menghina Nabi Muhammad SAW, yaitu mereka yang bertanggung-jawab mereprodiksi kartun penghinan itu dalam tabloid Peta haruslah pula berlanjut ke kejaksaan, terus dilimpahkan ke pengadilan secara transparan. Ummat Islam berhak untuk mendapatkan informasi secara transparan proses hukum yang telah ditangani oleh pranata hukum secara menyeluruh terhadap penanggung-jawab tabliod Peta la'natuLlah dan sekali-gus ummat Islam ingin menyaksikan ketukan palu hakim mematikan hak hidup tabloid Peta itu sendiri.

Adapun dalil gelar tidak hormat la'natuLlah (dilaknat Allah) atas pendurhaka/pengolok-olok Allah dan Rasulnya antara lain dalam wujud memproduksi dan mereproduksi kartun penghinaan atas Nabi Muhammad SAW, adalah Firman Allah seperti berikut:
-- AN ALDzYN YWaDzWN ALLH WRSWLH L'ANA ALLH FY ALDUNYA WALAKhRt (S. ALAhZAB, 33:57), dibaca:
-- innal ladzi-na yu'dzu-naLla-ha warasu-lahu- la'na humuLla-hu fid dunya- wal a-khirah, artinya:
-- Sesungguhnya mereka yang durhaka/mengolok-olok Allah dan RasulNya, mereka dila'nat Allah di dunia dan akhirat.

WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 26 Februari 2006