7 Mei 2006

726. Hidangan di atas Meja

Hari Pendidikan Nasional diisi oleh IMMIM dengan demontrasi di dalam ruang yang dibatasi dinding, yaitu kegiatan mujadalah (diskusi). Pada hari Selasa, 2 Mei 2006 yang lalu itu, di Aula Mini IMMIM Jalan Jenderal Sudirman oleh DPP IMMIM diselenggarakan diskusi bertemakan motto IMMIM: "Bersatu dalam 'Aqidah, Toleransi dalam Khilafiyah-Furu'iyah." Penceramah adalah Prof HM Quraisy Syihab, salah seorang di antara para pendiri Pesantren IMMIM Tamalanrea. Pak Quraisy kemukakan bagaimana cara memanej perbedaan pendapat dalam bingkai Khilafiyah-Furu'iyah, yang diibaratkan oleh Pak Quraisy sebagai Hidangan di Atas Meja.

Terakhir saya bertemu dengan Pak Quraisy 18 tahun yang lalu, yaitu pada tahun 1988 di lapangan terbang Cengkareng Sukarno Hatta yang waktu itu bersama-sama dengan Allahu Yarham H.Ismail Hasan Metareum dan Dr 'Imaduddin Abd Rahim. Ada cirikhas Pak Quraisy dalam berceramah, maupun menulis buku, yaitu Pak Qurisy pada umumnya mengemukakan beberapa pendapat beserta dengan alasannya masing-masing, jadi terserah kepada kita untuk memilih pendapat itu. Jadi betul-betul Pak Quraisy ibarat menyuguhkan hidangan di atas meja. Itulah tehnik (bukan teknik) memanej perbedaan pendapat. Selama hidangan itu ada di atas meja maka kita bebas (bukan liberal) memilih keinginan kita, dan tidak boleh kita paksakan kepada orang lain untuk memilih seperti yang kita pilih. Pokoknya kalau hidangan itu ada di atas meja maka itu semuanya benar.

Antara lain Pak Quraisy mengemukakan dua contoh:

Pertama, ayat:
-- WALMTHLQ YTRBSHN BANFSHN TSLTSt QRWa (S. ALBQRt, 2:228), dibaca:
-- walmuthallaqa-tu yatarabbashna bianfusihinna tsala-tsata quru-in (s. albaqarah), artinya: Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Dalam hal ini ada dua pendapat, tiga kali haid atau tiga kali bersih dari haid.

Kedua, instruksi RasuluLlah SAW:
-- "Jangan shalat 'Ashar sebelum tiba di pemukiam Banu Quraizhah." Ada sekelompok sahabat yang shalat Ashar sebelum tiba karena memperhitungkan kalau akan shalat Ashar di tempat Banu Quraizhah, maka waktu shalat akan terliwat, sedangkan ada sekelompok yang betul-betul baru shalat waktu tiba di tempat yang dituju walaupun waktu Ashar sudah liwat. Dan itu kedua-duanya dibenarkan oleh RasuluLlah SAW.

Elok kiranya saya kemukakan asbabul wurud instruksi tsb, yakni seperti berikut: Pernah Madinah dikepung pasukan konfederasi Quraisy, Ghatafan dan Yahudi Banu Nadhir dari lembah Khaibar dengan kekuatan di antara 18.000 hingga 20.000 orang. Ada bagian Kota Madinah yang terlindung oleh benteng-benteng Yahudi Banu Quraizhah dan pepohonan kurma. Akan tetapi ada pula bagian yang terbuka sama sekali. Atas saran Salman Al Farisi pada bagian terbuka itu dibuat lini pertahanan dengan menggali parit (khandaq). Itulah sebabnya perang melawan konfederasi Quraisy, Ghatafan dan Yahudi Banu Nadhir yang datang menyerbu Madinah itu disebut dalam sejarah dengan "Perang Khandaq". Ada pakta antara Kaum Muslimin dengan banu Quraizhah yang antara lain berbunyi: Jika ada musuh menyerang Madinah banu Quraizhah bersama-sama kaum Muslimin mempertahankan Madinah dan masing-masing mengeluarkan biaya untuk peperangan mempertahankan kota. Banu quraizhah membelot, bergabung dengan pasukan konfederasi, akan menyerang Madinah dari belakang lini. Pengepungan itu digagalkan Allah SWT pada malam sebelum hari H, yaitu:
-- FARSLNA 'ALYHM RYhA WJNWDA LM TRWHA (S. ALAhZAB, 33:9), dibaca:
fa arsalna- 'alayhim ri-haw wajunu-dal lam tarawha-, artinya: maka Kami kirim kepada mereka angin badai dan pasukan yang kamu tidak melihatnya.

Angin yang sangat dingin bertiup dengan sengitnya, yang menyebabkan pasukan konfederasi malam itu juga semuanya mundur. Pasukan konfederasi bubar, Perang Khandaq berakhir. Namun bagi Banu Quraizhah belumlah selesai. Baru saja Rasululah akan menaruh senjata beliau di rumah, Jibril datang dan menunjuk ke arah Banu Quraizhah. [H.R. Bukhariy].

Contoh shalat Ashar di atas itu, ialah tatkala RasuluLlah masih hidup, jadi mudah untuk merujuk kepada beliau. Karena sekarang ini kita sudah jauh dari zaman RasuluLlah SAW, lagi pula banyaknya isme-isme yang mempengaruhi ummat Islam, maka kita harus jeli melihat hidangan-hidangan yang seba-neka itu, mana yang ada terhidang berbingkai meja yang dimaksud Pak Quraisy.

Dalam diskusi itu sebenarnya saya tidak bermaksud ikut bicara. Namun tatkala Pak Quraisy selesai menjawab tanggapan pada pukul 12.00, dan disambut oleh moderator Prof. H Ahmad Sewang memberikan kata akhir menutup acara diskusi, saya maju ke depan berbisik kepada keduanya Pak Quraisy dan Pak Ahmad untuk memberi saya 5 menit, berhubung tadi disepakati diskusi berakhir pukul 12.15. Pasalnya, ada pembicara mengemukakan Jaringan Ulil Absar yang dijawab Pak Quraisy hanya secara umum saja, tambahan pula mungkin banyak peserta diskusi yang belum pernah dengar nama jaringan yang seperti itu.

Maka saya kemukakan bahwa yang dimaksud oleh pembicara tadi Jariangan Ulil Absar adalah yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal (JIL). Saya tegaskan dalam pembicaraan saya itu, bahwa JIL itu hidangannya tidak ada dalam bingkai meja yang dimaksud Pak Quraisy. Adapun alasannya ialah JIL menganggap sekularisme, liberalisme dan pluralisme adalah kebenaran mutlak dan dijadikan paradigma untuk mengkritisi Al-Quran. Apa yang saya kemukakan itu dibenarkan oleh Pak Quraisy dengan menambahkan bahwa Ulil menganggap Al-Quran itu biasa-biasa saja, ya seperti buku sastra biasa saja. Itukan tidak benar, demikian Pak Quraisy, yang maksudnya terletak di luar bingkai meja tempat hidangan disajikan.

Alhasil bebas memilih bukan secara liberal, melainkan bebas memilih di antara hidangan yang terhidang di atas meja, di mana hidangan di atasnya, itu semuanya benar: "Bersatu dalam 'Aqidah, Toleransi dalam Khilafiyah-Furu'iyah." WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 7 Mei 2006