3 September 2006

743. Pernikahan Kilat Model Puncak

Marilah sejenak kita cuplik dari Laporan Khusus, Gatra Nomor 39, 10 Agustus 2006.

"Saya nikahkan Saudari Lilis binti Mulyana dengan maskawin 2 juta rupiah dibayar kontan," Jamal, 24 tahun, bukan nama sebenarnya, mengucapkan lafaz ijab kabul kepada Ibrahim, 55 tahun, sembari menjabat erat tangannya. "Saya terima nikahnya Lilis binti Mulyana dengan maskawin 2 juta rupiah dibayar kontan," Ibrahim pun langsung menimpali dengan lancar. Ini bukan prosesi pernikahan biasa. Ibrahim, lelaki asal Arab Saudi itu, sedang melangsungkan pernikahan kontrak dengan Lilis, 23 tahun, bukan nama sebenarnya, asal Sukabumi, Jawa Barat. Bertempat di sebuah vila di kawasan Puncak, Bogor, pernikahan yang terjadi setahun lalu itu hanya berlangsung tak lebih dari 15 menit.

Kalau kita lihat ijab kabulnya, maka itu bukanlah pernikahan kontrak, sebab tidak ada disebutkan batas waktunya. Lagi pula orang Arab Saudi hampir semuanya tidak bermadzhab Syi'ah yang membolehkan nikah mut'ah (kontrak). Jadi itu termasuk pernikahan biasa saja. Akan tetapi kalau ditelusuri apa yang terjadi sebelumnya dan sesudahnya atas sepak terjang Lilis seperti yang dituturkan dalam Gatra, maka itu adalah "pelacuran berselubung" . Mengapa? Ikutilah apa yang dituturkan "Gatra" yang berikut ini:
"Pada 2003, setelah berpisah dari suami pertamanya asal Sukabumi, Lilis memutuskan menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Riyadh, Arab Saudi. Di sana ia menikah dengan orang Arab Saudi bernama Faris Ma'tuk Al-Maseri, 40 tahun. Merasa kurang cocok dengan Faris, Lilis akhirnya pulang ke Indonesia pada 2004. Setelah itu, ia berkali-kali menikah kontrak dengan orang Arab di Indonesia. Dari Umar, 38 tahun, Abdul Aziz, 35 tahun, Hasan, 40 tahun, hingga Ibrahim, 55 tahun." Itu apa yang terjadi sebelumnya. Dan apa yang terjadi sesudahnya dituturkan sebagai berikut: "Lilis hanya menjadi "istri" Ibrahim selama dua hari. Setelah itu, status Lilis "bebas" lagi. Ia bisa kembali mencari "suami" baru, yakni orang-orang Arab yang ingin menikahinya dalam waktu dan maskawin tertentu."

Apa yang diperbuat Lilis bersama dengan "perusahaan" yang berkecimpung dalam bisnis seks ini sudah melanggar Syari'at:
-- WALMTHLQ YTRBSHN BANFSHN TSLTSt QRWa (S. ALBQRt, 2:228), dibaca:
-- walmuthallaqa- tu yatarabbashna bianfusihinna tsala-tsata quru-in, artinya:
-- Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Tiga kali quru' maksudnya tiga kali haid atau tiga kali bersih dari haid. Lilis bersama dengan "perusahaan" yang berkecimpung dalam bisnis seks itu tidak mempedulikan ketentuan syari'at itu.

Sekarang kita lihat dari pihak orang Arabnya. Kalau orang Arab itu nikah di Puncak, kemudian pulang kembali ke negrinya, lalu datang lagi, ia tidak cari perempuan lain kecuali mendatangi barang seminggu isteri yang telah dinikahinya, maka itu disebut "zawaj al-misyar". Maka tentu saja itu tidak melanggar Syari'ah, asal saja ia tidak menyia-nyiakan anak isterinya, dan sebaliknya sang isteri tetap menjaga diri setia menunggu kedatangan suaminya.

Sebenarnya pernikahan kilat model Puncak itu pernah dikemukakan yang sejenis dengan itu lebih 10 tahun yang lalu dalam Seri 223 bertanggal 14 April 1996. Berikut cuplikannya: "Dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi karangan Bung Karno ada pula cerita yang menarik. Walaupun buku itu sudah tidak ada pada saya (dipinjam teman dan tidak dikembalikan) , namun masih mengendap dalam ingatan saya. Di suatu tempat di Jawa Barat terdapat sebuah rumah "penghulu". Orang yang menginginkan "isteri" dapat datang ke rumah itu yang menyediakan "calon-calon" isteri. Apabila terjalin kesepakatan antara yang bersangkutan dengan "penghulu" dan "calon isteri", maka "yang mencari isteri" dinikahkanlah dengan "calon isteri" oleh "penghulu", di hadapan para "saksi".

Bukankah sesungguhnya ini adalah "bisnis pelacuran berselubung" ? Bukankah pada hakikatnya "yang mencari isteri" itu adalah pelanggan yang hidung belang, "penghulu" pada hakikatnya adalah germo, "calon isteri" itu pada hakikatnya adalah pelacur, dan para "saksi" adalah karyawan rumah bordel itu? Dan tentu saja "penghulu" itu tidak memperhatikan ayat (2:228) seperti yang dikutip di atas itu.

Satu generasi sebelum generasi saya (saya lahir 26 Rabiul Akhir 1350 / 9 September 1931), itulah generasi terakhir maraknya pelayaran inter insuler dengan perahu pinisi Bugis/Makassar, yang diproduksi oleh Parinta Lopi Orang Ara. Dahulu Panrita Lopi itu merupakan pabrik perahu yang mobil. Pada waktu itu kayu-kayuan masih rimbun di mana-mana, tidak seperti sekarang yang sudah rusak lingkungannya. Misalnya di pulau Selayar kalau ada yang memesan perahu pinisi, maka seluruh keluarga Panrita Lopi datang di Selayar membuat perahu. Bahannya diambil dari pepohonan setempat.

Para pelaut Bugis/Makassar sebelum generasi saya itu, yakni tatkala masih maraknya pelayaran inter insuler dengan perahu pinisi, sesungguhnya mereka telah melakukan semacam "zawaj al-misyar". Mereka mempunyai beberapa isteri di rantau pada beberapa pelabuhan. Di antara isteri-isteri mereka itu hanya satu yang diam bersama serumah yaitu yang di kampung mereka masing-masing. Dan isteri-isteri yang di pelabuhan-pelabuhan lain itu tidak serumah. Para pelaut/pedagang itu punya route Sumenep, Gersik, Bawean, Betawi (Jkt), Tungkal (Sumatera), Batam, Tanjung Pinang, Singapura. Jadi tidak hanya sekali mondok di isteri-isterinya di rantau itu. Setiap liwat dari musim ke musim singgahlah di isteri-isterinya itu, misalnya di Sumenep, Bawean, Tanjung Pinang. Jadi mereka itu isteri dan anak-anaknya di rantau itu tidak disia-siakan, sebab setiap musim mereka singgah 2 atau 3 hari pada isteri-isteri dan anak-anaknya itu, bukan hit and run. Bahkan isteri-isterinya itu diberi modal, ibarat diberi kail, bukan ikan. Tentu saja nikah misyar semacam itu tidaklah melanggar Syari'ah.

Kesimpulannya, apakah lokasi di Puncak itulah yang dimaksud oleh Bung Karno dengan di suatu tempat di Jawa Barat? Kalau ya, maka praktek nikah kilat itu sudah berlangsung sejak dahulu (riolo marilona, baheula, saisuak). Kalau demikian itu sangat susah dihentikan. Itulah perlunya menegakkan Syari'at Islam, supaya bisnis yang melanggar Syari'ah itu dapat ditindak tegas secara "law enforcement" . Tentu saja tidak pukul rata, harus dipilah-pilah, yang nikah misyar tentu dibiarkan, karena tidak melanggar Syari'ah. WaLlah a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 3 September 2006