1 Juli 2007

785. Jebakan Kartu Kredit, Uang Beranak Uang, Lebih Besar Pasak dari Tiang

Seri ini masih lanjutan dari Seri 783 yang berjudul: Awas Promosi Agresif Pelayan Toko Berdasi tentang drama kartu kredit (KK). Cerita di bawah saya timba dari http://junarto.wordpress.com.
“Saya mengajukan permintaan KK,” kata seorang yang baru lulus universitas, “tapi ditolak.” Dia mengaku, ketika baru lulus perguruan tinggi dia ingin memperoleh kemudahan, gengsi, dan prestise sebuah KK sebagaimana yang telah dilihatnya sekilas pada orang pengguna KK. Dia yang sempat kecewa ketika permohonannya ditolak sebuah “bank kota” tanpa alasan apapun. Namun, ketika dia berada di sebuah pusat belanja swalayan dan hendak pulang, seorang pramuniaga dari bank yang lain mencegat dan membujuknya: “Mas, ayo dong isi formulir aplikasi KK.” Pramuniaga itu kegirangan ketika mendapat jawaban yang mengiyakan.

Dengan proses yang sederhana, jadilah ia memiliki KK untuk kali pertama. Wah, bangga benar rasanya, dia memuji-muji dirinya dalam hati: "Saya eksekutif muda nih, punya KK." Ada perasaan bangga buatnya, KK menunjukkan simbol pengakuan resmi atas keberadaan dirinya. Gengsi, istilah popularnya. Satu bulan kemudian, tagihan pertama datang. Dia coba tidak membayar penuh. Ternyata, bulan berikutnya tagihan melonjak. Dia baru sadar kalau perhitungan bunga dimulai pada saat melakukan transaksi, bukan pada saat jatuh tempo. Dengan begitu, bulan ketiga, dia harus membayar bunga berbunga untuk dua bulan! Barulah dia maklum, inilah perangkap bunga berbunga. Lantas dia membayar penuh dengan asumsi tunggakan segera lunas. Namun, pada bulan ke-4, masih muncul tagihan yang mengharuskannya membayar Rp30.000 lagi. Sesudah itu beres, pikirnya. Sialnya, pada bulan berikutnya di lembar tagihan tercetak biaya administrasi Rp8000! Ini pemerasan, meskipun kecil jumlahnya. Dia bertanya-tanya, bagaimana dengan orang yang tagihannya jauh lebih besar ketimbang dirinya?

Ada pula seorang lain dikejar-kejar pemungut utang lantaran menunggak pembayaran hingga empat bulan. Dia tak sanggup melunasinya karena tiba-tiba saja bangkrut. Bahkan, dia tidak lagi mencicil meskipun dengan nilai terkecil. Bank menagihnya dengan segala cara, mulai makian sampai ancaman fisik. Tukang pukul datang ke rumahnya, menterornya dan keluarganya. Perlakuan bank kepadanya sungguh agresif, sangat berbeda dengan saat ketika dengan ramah-tamah mereka menawarkan kartu plastik ini kali pertama.

***

Selain godaan pola hidup boros, membawa KK ke mana-mana sangat beresiko. Pagu KK mewakili seberapa besar resiko yang harus kita tanggung. Bohong, jika bank mengatakan KK “tidak seberesiko membawa uang tunai.” Sebab, andai ia hilang, dicuri, atau jatuh, orang yang menemukannya bisa saja memanfaatkannya dengan mudah. Tanda tangan? Gampang dipalsukan. Apalagi, menurut pengamatan, di gerai-gerai penerima KK, kasir tidak terlalu sungguh-sungguh memastikan keaslian tanda tangan pada struk. Itulah sebabnya, ada di surat pembaca koran, kita sering mendengar keluh-kesah nasabah yang merasa melakukan transaksi tertentu, tapi bank tetap membebankan tagihan kepada mereka, padahal tanda tangan pada struk itu jelas berbeda dengan yang tertera di kartu. Sintingnya, jika nasabah menolak, mekanisme bunga-berbunga terus bekerja, sedangkan pemungut utang yang agresif sudah menanti mereka! Bank hanya memikirkan hak-hak mereka. Setiap penyangkalan transaksi membutuhkan prosedur yang panjang, memakan waktu bekerjanya mekanisme bunga-berbunga.

Biasanya bank memberikan pagu lebih besar daripada gaji kita. Nilainya bisa empat kalinya. Mengapa bank memberikan pagu berkali-kali gaji kita, bukan sebaliknya? Di sinilah letak perangkapnya. Dengan umpan pagu yang tinggi, bank ingin kita merasa ‘lebih kaya,’ seolah kita mempunyai ‘lebih banyak uang,’ mampu membeli apa saja tanpa keterbatasan penghasilan. Dengan begitu, kita terbiasa dengan konsumsi tinggi dan ujung-ujungnya terjebak utang, besar pasak dari tiang. Jika sudah terperangkap, harta benda kita yang nilainya lebih besar daripada utang kita, dilahap oleh bank. Tentu saja, bank tidak bodoh, karena ketika mereka menyetujui permohonan kita, mereka sudah berhitung, berapa besar resiko dan keseluruhan harta-benda kita yang bisa menanggungnya. Banyak orang membangga-banggakan pagu kredit yang tinggi. Itu hanyalah kebanggaan semu. Yang bank inginkan, gaji kita berpindah ke brankas mereka melalui cicilan konsumtif kita setiap awal bulan, bahkan sebelum kita sempat menganggarkannya untuk kebutuhan keluarga, kita sudah dikirimi lembar tagihan. “Setiap bulan,” keluh seorang yang lain, “gajiku habis hanya untuk melunasi tagihan.” Itulah yang dapat saya timba dari cyber space.

***

Kalau dipikir-pikir, bukankah kita menerima gaji awal bulan? Terima gaji dahulu baru bekerja, lalu buat apa mengkredit! Oleh sebab itu, terutama bagi ibu rumah-tangga, berbelanjalah dengan berencana sebelum menuju ke tempat berbelanja. Bawalah uang tunai sesuai dengan rencana-belanja waktu meninggalkan rumah, untuk menghindarkan besar pasak dari tiang, karena membeli barang yang tidak dibutuhkan, akibat promosi yang agresif memukau. Itulah cara yang terbaik, yaitu berbelannja dengan uang tunai, karena hal itu menghindarkan dosa terlibat dalam jebakan perangkap bunga-berbunga yang spesifik "uang beranak uang" dengan cara KK. Apa-apa yang dilarang Allah, itu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Firman Allah:

-- AhL ALLH ALBY'A WhRM ALRBBWA (S. ALBQRt, 2:275), dibaca:
-- ahallaLla-hul bay'a wa harramal riba- (tanda - dipanjangkan membacanya), artinya:
-- Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 1 Juli 2007