20 April 2008

824. Gerakan Potong Tangan Koruptor

Uqubat (sanksi) dalam Syari'ah fungsinya untuk mencegah manusia dari jarimah (kriminal). Sanksi itu terutama sekali untuk menimbulkan rasa jera dalam masyarakat. Koruptor yang ditangkap dan ditahan KPK belum tentu kapok. Meski sudah beberapa kali koruptor diringkus, masyarakat tak juga jera. Oleh karena itu, beberapa elemen gerakan merumuskan gerakan potong tangan bagi koruptor di Indonesia. "Kami sudah berkirim surat kepada SBY, tapi belum ditanggapi. Jadi, akan kami kirim lagi besok (15 April -HMNA-)," ujar koordinator gerakan Fauzan Al Anshory, Senin, 14 April. "Hukum potong tangan itu tidak melanggar hak asasi manusia karena sebenarnya kejahatan yang dilakukan para koruptor jauh lebih berat," kata Fauzan. Gerakan ini sudah dibangun Aceh, Sumatera, seluruh pulau Jawa, dan Sulawesi. "Kami keliling terus, hanya tinggal Bali dan Papua yang belum ada (perwakilan)," ujarnya.

Mantan Direktur Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia itu optimistis jika potong tangan dilakukan, korupsi di Indonesia akan hilang dalam waktu singkat. "Negara juga tidak perlu mengeluarkan dana jutaan rupiah untuk memberi makan tahanan korupsi. Lagipula, setelah mereka lepas kemungkinan akan berbuat lagi. Bahkan lebih canggih," katanya. Dalam hitungannya, pemerintah dalam hal ini Depkumham butuh dana Rp8000 per sekali makan bagi tahanan. Jika terpidana korupsi divonis 10 tahun saja maka Depkumham harus mengeluarkan danaRp8.000 x 3 kali makan x 10 tahun x 365 hari. Totalnya, Rp87.600.000. "Itu untuk satu koruptor, kalau semakin banyak negara makin boros padahal uangnya bisa digunakan bagi subsidi rakyat miskin," katanya.

Apa yang dikemukakan oleh Fauzan itu seirama dengan pembahasan dalam Seri 819. Baiklah dikutip untuk menyegarkan ingatan pembaca:
Sistem hukum YANG MEMAYUNGI KPK belumlah cukup. Misalnya, UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang diperbarui dengan UU No 20/2001 walaupun sudah mengancam saksi pidana mati bagi pelaku korupsi, namun ada sanksi yang lebih membuat jera orang yaitu sanksi potong tangan. Pelaksanaan hukuman mati dilakukan secara tertutup, jadi unsur penjera tidak bisa menyaingi dengan sanksi potong tangan, berhubung hasil sanksi hukum potong tangan itu terbuka untuk disaksikan oleh komunitas pergaulan.

Lagi pula sistem jaksa yang harus membuktikan kesalahan terdakwa di pengadilan rawan untuk suap. Berbeda dengan sistem pembuktian terbalik yang pernah dimajukan oleh almarhum Baharuddin Lopa ke DPR pada zamannya Presiden Abdurrahman Wahid. Sayang sistem itu ditolak oleh DPR. Adapun asal-muasal metode pembuktian terbalik ini, yaitu dari Khalifah 'Umar ibn Khattab RA (581-644). Khalifah yang kedua ini (634-644) mendapat inspirasi dari pertanyaan Nabi Zakaria AS kepada Maryam binti 'Imran:
-- YMRYM ANY LK HDzA (S. AL 'AMRAN, 3:37), dibaca:
-- ya- maryamu anna- laki ha-dza-, artinya:
-- Hai Maryam dari mana kamu memperoleh ini?

Ayat (3:37) tersebut diaplikasikan oleh Khalifah 'Umar ibn Khattab RA kepada aparat kekhalifahan, anna laka hadza. Sejak itu anna laka hadza menjadi jurisprudensi dalam Hukum Islam, yaitu terdakwa korupsi harus membuktikan kebersihan dirinya, jadi sebaliknya dengan sistem hukum yang kebanyakan dianut di seluruh dunia, yaitu jaksa yang harus membuktikan kesalahan terdakwa, yang filosofinya katanya berlandaskan pada "praduga tidak bersalah". Padahal korupsi yang sudah parah menirbudaya ini haruslah dipakai sistem terbalik anna laka hadza, praduga bersalah. contohnya jaksa UTG yang gajinya hanya Rp 3,5-juta sebulan dapat memiliki mobil sampai 4 buah.

Hanya saja harus hati-hati dalam hal penterapan sanksi potong tangan itu. Pertama, secara fiqhi, sanksi jenis hadd (sanksi yang telah ditetapkan ukurannya oleh Syari'ah) seperti potong tangan bagi pencuri dan cambuk atau rajam bagi pezina) harus selalu dibarengi dengan adanya pengamanan yang cukup terhadap perbuatan-perbuatan yang akan dikenai sanksi tersebut, dalam arti masyarakat dan negara telah memberikan kepada pelaku perbuatan-perbuatan tersebut kesempatan untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara yang halal serta menutup peluang-peluang terjadinya cara-cara yang tidak halal itu. Kedua terdapat grey area (daerah batas abu-abu) antara perbuatan korupsi dengan kesalahan administratif. Dalam hal ini disitulah letak pentingnya anna laka hadza, apakah kesalahan admintratif itu memperkaya diri si pelaku atau tidak.
Ala kulli hal, besar kemungkinan ada yang bertanya dari pihak yang berpikiran sekuler, buat apa agama dibawa-bawa dalam urusan kenegaraan. Untuk itu perlu dijelaskan bahwa Syari'at Islam yang bermuatan: aqidah, jalannya hukum dan akhlaq, meliputi cakrawala yang luas, yaitu petunjuk untuk mengatur baik kehidupan nafsi-nafsi (individu), maupun kehidupan kolektif dengan substansi yang bervariasi seperti keimanan, ibadah ritual, tasauf (spiritualisme), karakter perorangan, akhlaq individu dan kolektif, kebiasaan manusiawi, ibadah non-ritual seperti: hubungan keluarga, kehidupan sosial politik ekonomi, administrasi, teknologi serta pengelolaan lingkungan, hak dan kewajiban warga-negara, dan terakhir yang tak kurang pentingnya yaitu sistem hukum yang teridiri atas komponen-komponen: substansi aturan-aturan perdata-pidana, damai-perang, nasional-internasional, pranata subsistem peradilan dan apresiasi hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang berakhlaq. Jadi Syari'ah itu jauh lebih luas dari sekadar pengertian religie, religion, godsdienst dalam bahasa-bahasa barat. WaLlahu a'lamu bisshawab

*** Makassar, 20 April 2008