4 Mei 2008

826. Sambutan Gayung Pernyataan Pers PB Jemaat Ahmadiyah (Qadiyan) Indonesia

  1. Kami menyesalkan rekomendasi Bakor Pakem yang sepihak, tidak adil, dan penuh penyesatan publik, karena setelah rekomendasi itu justru eskalasi penghancuran masjid-masjid yang dikelola Ahmadiyah di seluruh wilayah Indonesia lebih meningkat dari sebelumnya hingga mencapai 4 masjid, dan yang terakhir (kejadian semalam, 27/4) pembakaran masjid besar di ParakansalakSukabumi.
  2. Kami himbau kepada anak bangsa Indonesia yang cinta Islam yang tidak sependapat dengan Ahmadiyah, supaya janganlah merusak citra Islam yang teduh, selamat dan damai dengan membakar masjid-masjid yang dikelola oleh Ahmadiyah.
  3. Kami mohon kepada pemimpin-pemimpin Islam yang berhati mulia untuk menyerukan serentak kedamaian total di Negara kita tercinta ini sehingga citra Islam, citra Al Qur'an kitab suci kita bersama dan citra Nabi Muhammad Rasulullah SAW dapat kita selamatkan dari orang-orang yang tidak menyukai Islam yang justru menginginkan Islam selalu perang dengan sesamanya.
  4. Kami minta kepada pemerintah dan aparat keamanan Negara tetap adil, professional dan konsekwen dalam penegakan hukum untuk terciptanya stabilitas Negara dalam mencapai cita-citanya yang luhur.
dst., dst., hingga 6 butir.
Jakarta, 28 April 2008
PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Shamsir Ali, SH
Jubir

***

Gayung bersambut: Kalau hanya secara individual ataupun kelompok kecil yang tidak melembaga ada yang menyatakan bahwa masih ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW, maka diaplikasikanlah metode yang sesuai dengan Al Quran, yaitu disadarkan dia atau mereka dengan metode:
-- AD'A ALY SBYL RBK BALhKMt WALMW'AZHt ALhSNt WJADLHM BALTY HY AhSN (S. ALNhL, 16:125), dibaca:
-- ud'u ila- sabi-li rabbika bil hikmati wal mau'izhatil hasanati wa ja-diluhum billati- hiya ahsan, artinya:
-- Ajaklah kepada Jalan Maha Pengaturmu dengan kebijaksanaan, informasi yang baik, dan komunkasi dua arah yang terbaik.

Namun kasus Ahmadiyah Qadiyan ini lain, karena aktivitasnya itu sudah berwujud kelembagaan, dan dikampanyekan secara agresif dan demonstratif melalui penyebaran buku-buku dan tulisan-tulisan baik di dunia nyata maupun di dunia maya, sehingga harus dihadapi pula secara kelembagaan. Yaitu sebagaimana Nabi Muhannad SAW sebagai Kepala Pemerintahan Negara, memperlakukan secara kelembagaan Negara terhadap kelompok yang berkelompok dalam lembaga masjid Dhirar, yaitu dengan jalan membakar/merubuhkan bangunan fisik masjid Dhirar di Madinah.

Firman Allah:
-- WALDzYN ATKhDzWA MSJDA DhRARA WKFRA WTFRYQA BYN ALMWaMNYN WARShADA LMN hARB ALLH WRSWLH MN QBL (S. ALTWBt, 9::107), dibaca:
-- walladzi-nat takhadzu- masjidan dhira-ran wakufran watafri-qan bainal mu'mini-na wairsha-dan liman ha-rabaLlahu warasu-lahu- ming qablu, artinya:
-- Dan ada orang-orang yang mendirikan masjid[#] untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu,.
------------------------
[#]
masjid Dhirar (= kemudharatan) tsb didibakar/dirubuhkan atas perintah Rasulullah SAW berkenaan dengan wahyu yang diterima beliau sesudah kembali dari perang Tabuk.

***

Jadi seperti dijelaskan di atas, aktivitas yang berwujud kelembagaan harus dihadapi pula secara kelembagaan, maka lembaga yang paling tepat bertindak secara hukum adalah negara yang menurut alinea keempat Pembukaan UUD-1945, negara mempunyai kewajiban melindungi rakyatnya, yang dalam hal ini dari kekerasan non-fisik berupa virus kesesatan yang ditebarkan melalui pusat-pusat "masjid dhirar" kepada ummat Islam yang dilanggar hak asasinya, yaitu kemurnian aqidah. Namun keterlambatan penandatangan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yaitu Menteri Agama M. Maftuh Basyuni, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto dan Jaksa Agung Hendarman Supandji terkait pembubaran dan pelarangan Ahmadiyah, disebabkan oleh hambatan dari rekomendasi kepada Presiden oleh Adnan Buyung Nasution sebagai penasihat Presiden. Ini menyebabkan mekanisme pranata hukum terlambat bertindak secara hukum, membubarkan lembaga Ahmadiyah Qadiyan. Pembubaran itu sesuai dengan yang diamanahkan oleh alinea ke-4 Pembukaan UUD-1945 seperti dituliskan di atas. Karena keterlambatan mekanisme pranata hukum bertindak, akibat keterlambatan ditanda-tanganinya SKB, menyebabkan ada sebagian masyarakat Islam bertindak menjadi hakim sendiri beramai-ramai. Tindakan tsb dapat difahami akibat kelambatan SKB ditanda-tangani, namun tidak dapat dibenarkan, karena yang berwenang untuk bertindak secara hukum adalah pranata hukum.

Setelah lembaga Ahmadiyah Qadiyan dibubarkan, biarkanlah secara individual bekas anggota lembaga tsb bebas menganut kepercayaannya, apa kembali pada ajaran Islam, atau tetap dalam kepercayaannya dengan nama yang bukan Islam. Kemudian hidup damai dengan ummat Islam dalam Negara Republik Indonesia, seperti halnya di Pakistan. Dalam hal ini para dai bisa berinteraksi dengan mereka yang tetap pada kepercayaannya, sesuai dengan ayat (16:125) yang ditampilkan di atas itu, yakni kebijaksanaan, informasi yang baik, dan komunkasi dua arah yang terbaik. Jadi sama sekali tidak ada hubungannya dengan pelanggaran HAM. WaLlahu a'lamu bisshawab.

***

Makassar, 4 Mei 2008