11 Mei 2008

827. Piagam Jakarta Menjiwai UUD 1945 dan Merupakan Rangkaian Kesatuan

Dekrit 5 Juli 1959
Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut;
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG,
Menetapkan pembubaran Konstituante;
Menetapkan Undangt-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-undang Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 5 Juli 1959.
Atas nama rakyat Indonesia :
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang

Piagam Jakarta alinea keempat:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Piagam Jakarta adalah hasil kompromi tentang dasar negara Indonesia yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 antara pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis). Panitia Sembilan merupakan panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI. Pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preamble). Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD, dan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Perubahan itu dilakukan oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. Naskah Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan ejaan Republik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.
***

Pihak yang kontra terhadap pelarangan Ahmadiyah sebagian besar berpijak pada HAM, terutama kebebasan berkeyakinan dan beragama. Argumentasi itu seakan-akan benar, apabila Bab XA tentang HAK ASASI MANUSIA pasal 28 J tidak diperhatikan, yaitu pada butir 2 tertulis : *Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis."

Artinya, *pelaksanaan HAM bukanlah tanpa batas*. Negara bisa melakukan intervensi atau melarang dengan pertimbangan nilai-nilai agama. Karena masalah Ahmadiyah adalah persoalan Syari'at Islam, maka pertimbangan nilai-nilai Syari'at Islam-lah yang patut diperhatikan dan dijadikan rujukan oleh Negara. Sebab seperti dinyatakan dalam Dekrit 5 Juli tsb di atas, Piagam Jakarta Menjiwai UUD 1945 dan Merupakan Rangkaian Kesatuan. Dengan demikan Negara berkewajiban melindungi warga negaranya menjalankan Syari'at Islam.
Dalam pertimbangan Syari'at Islam, perkara Ahmadiyah ini sudah sangat jelas, menodai Syari'at Islam, yaitu merusak Rukun Islam yang Pertama, pengakuan 2 Kalimah Syahadat. Seperti diketahui, Ahmadiyah menambah 1 pengakuan lagi yaitu bersyahadat kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Inilah penodaan itu 2 dijadikan 3.

Sungguh mengerikan kalau antara kebebasan beragama dan kebebasan menodai agama tidak dibedakan atas nama HAM. Kalau Negara berdasarkan keyakinan sekelompok komunitas tidak bisa melarang, sungguh mengerikan. Kalau logika itu diikuti apa yang dilakukan oleh Wilders, Salman Rushdie, yang menghina Islam tidak bisa dilarang oleh Negara, maka sekali lagi sungguh mengerikan. Sungguh-sungguh ini merupakan tindakan kekerasan non-fisik yng dilakukan oleh kelompok agama Ahmadiyah yang menodai Syari'at Islam, mengacak-acak Rukun Islam yang Pertama, 2 dijadikan 3.

Kepada penanda-tangan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yaitu Menteri Agama M. Maftuh Basyuni, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto dan Jaksa Agung Hendarman Supandji terkait pembubaran dan pelarangan Ahmadiyah, kami titipkan Firman Allah:
-- FADzA FRGhT FANShB (S. ALANSyRAh, 94:7), dibaca:
-- faidza- faraghta fanshab, artinya:
-- Maka apabila kamu telah selesai (mengambil keputusan), maka lanjutkanlah/kerjakanlah dengan bersungguh-sungguh.
WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 11 Mei 2008