6 Maret 2011

963 Mizaan, Apa yang Perlu dan Cukup untuk Dipertimbangkan

Ada tiga cuplikan:
Dari "Iblis Nusantara Dajjal Dunia" karya Emha Ainun Nadjib:
"Agama" yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaimana yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco terus menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam.
 
Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa-barat atas kesunyatan Islam. Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Qur'an, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.
 
Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam. Kecurangan atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya.
 
"Al-Islamu mahjubun bil-muslimin". Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri.
 
Dari KH. Ahmad Sadli, Pengurus Besar Mathla'ul Anwar:
Tentang tokoh Ahmadiyah Cikeusik, Suparman (45), asal Kampung Peundeuy, Desa Umbulan adalah pimpinan Ahmadiyah, Cabang Kecamatan Cikeusik. Suparman lulusan SLP Cikeusik dan melanjutkan SLA nya diluar Cikeusik. Selebihnya, Suparman adalah anak Matori, yang berasal dari Indramayu.
 
Menurut KH. Ahmad Sadli, peristiwa di Cikeusik berawal dari keresahan warga dengan kegiatan Ahmadiyah yang melakukan penyebaran dan mengajak warga Umbulan dan Nanggala, sekitar bulan September 2010 yang lalu dengan memfasilitasi dan membawa rombongan pergi ke Bogor. Kemudian memuncak pada bulan Ramadhan 1431 Hijriyah/Nopember 2010, selanjutnya warga masyarakat mendatangi Suparman, yang menjadi pimpinan Ahmadiyah.
 
Kemudian Suparman yang tidak terima atas sikap masyarakat itu, lalu menelpon adiknya Suhirman (Anggota TNI) yang bertuga di Palembang, dan adiknya menelpon ke Polda. Polda pun mengirim anggota Brimob 1 mobil, dan terjadi perjanjian antara kedua belah pihak. Kemudian dibawa ke sidang MUI, tingkat Kecamatan, hari Rabu 16 Desember 2010, dan hasilnya pihak Suparman bersikukuh, tetap menyebarkan Ahmadiyah.
 
Itulah latar belakang terjadinya bentrokan, dan dari kasus itu, opini digiring oleh media, ormas Islam melakukan kekerasan dan harus dibubarkan. Sampai Presiden SBY pun, mengatakan ormas yang melakukan kekerasan harus dibubarkan.
 
Dari Tim Pembela Muslim Pusat, Mahendradatta
Mahendradatta mengungkapkan ada kejadian yang sengaja dihilangkan oleh media yang memicu kemarahan warga Cikeusik sebelum bentrokan terjadi. Kejadian itu yakni penceluritan terhadap salah satu warga Cikeusik, Suparta, oleh kelompok Ahmadiyah dari Jakarta. Pelaku sempat terlihat dalam rekaman Arif, tengah
memegang clurit saat bentrokan terjadi. Menurut polisi, bukti-bukti tersebut telah dikantongi. "Ya, ya, sudah (dikantongi)," kata Kabareskrim Polri, Ito Sumardi, saat ditanya tentang aksi pencluritan yang dilakukan kelompok Ahmadiyah yang memicu bentrokan tersebut.
<
http://republika.co.id/> republika.co.id, 17/2/2011
 
***
 
Kalau terjadi tabrakan antara mobil dengan sepeda, melihat sepeda yang rusak dan pengendaranya luka-luka, maka orang serta merta tanpa berpikir panjang akan menyalahkan mobil dengan pertimbangan kok orang sudah korban disalahkan lagi.
 
Mengapa selama ini terjadi tabrakan? Itulah yang perlu dan cukup untuk dipertimbangkan
 
Karena umat Islam dan qadianisme selama ini berada pada satu rumah besar di mana qadiyanisme telah merusak rumah besar sehingga terjadi bentrokan di dalamnya. Menurut demokrasi siapakah yang salah? Penghuni minoritas yang merusak rumah itu atau penghuni mayoritas yang mempertahankan rumah tersebut agar tidak rusak?
 
Karena qadiyanisme pekerjaannya merusak rumah, sehingga jalan keluarnya adalah pisah rumah. Qadiyanisme perlu mendirikan rumah sendiri. Apakah ini tidak demokratis?
 
Karena Umat Islam di Indonesia adalah agama mayoritas pemeluknya dan telah diakui oleh Negara. Untuk itu umat Islam perlu dilindungi Hak Asasinya oleh negara sesuai dengan alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Itukan demokratis dan konstitusional !?
 
Dalam S. Ar-Rahmaan dikemukakan tentang mizaan, yaitu keseimbangan kejiwaan, keseimbangan perihal kehidupan manusia, keseimbangan dalam penilaian yang disebut keadilan, termasuk di dalamnya membuat keadaan seimbang dalam melakukan pekerjaan menimbang dengan timbangan (neraca).
 
-- ALA TThGhWA FY ALMYZAN . WAQYMWA ALWZN BALQShTh (S. ALRhMN, 55:8,9), dibaca: allaa tathghau fil miizaan . wa aqiimul wazna bilqisthi, artinya:
-- Supaya tidak terjadi ketidak tertiban dalam menimbang. Dan tegakkanlah keseimbangan dengan adil (yang terbit dari nurani kamu) dan janganlah kurangi timbangan (waktu menjual).
 
WaLlahu a'lamu bisshawab
 
*** Makassar, 6 Maret 2011