13 Maret 2011

965 Kerja Sama Antar Agama Suku dan Bangsa

JAKARTA(voa-islam.com)
Kepolisian Daerah (Polda) Banten telah menetapkan Ketua Keamanan Ahmadiyah Deden Sujana, dari Bekasi yang datang di Cikeusik, sebagai tersangka provokator kerusuhan Cikeusik pada Minggu 6 Februari 2011 lalu.
 
***
 
Pertanyaan dan Pernyataan:
1. Departemen agama menterjemahkan S. Al-Muddatstsir ayat 30: Dan di atasnya ada sembilan belas (Malaikat penjaga). Sedangkan terjemahan Ustadz dalam Seri 960 tidak ada itu Malaikat penjaga.
2. Setelah saya baca Seri 963 saya punya pendapat. Saya bukan Ahmadiyah dan bukan pula "Islam" Liberal, tetapi saya sepakat jalan pikiran Prof Qasim Mathar, lihat persamaannya supaya terjalin kerja sama antar agama.
3. Saya tunggu-tunggu ustadz menulis Valentine, tetapi itu tidak ada. Sayang sekali.
 
Salamakki
Bulaenna Parangia
 
***
 
Saya jawab dahulu nomor 2, insya Allah jawaban nomor 1 dan 3 tunggu Seri 966 dan Seri 967. Rupanya BP belum faham itu "syarat perlu dan cukup". Melihat persamaan itu perlu tetapi belum cukup. Baru cukup jika dilihat pula perbedaannya. Aspek persamaan mana yang perlu dilihat yaitu aspek operasional agar bisa terjalin kerja sama antar agama dan suku bahkan antar bangsa. Tidak ada agama, sub-kultur, ataupun peradaban yang berbudaya yang mengajarkan bahwa kejahatan itu baik. Semua sepakat kejahatan seperti korupsi, menipu, mencuri, merampok, berbuat zalim, berzina, ber-narkoba dll wajib diberantas. 
-- WT'AAWNWA 'ALY ALBR WALTQWY WLA T'AAWNWA 'ALY ALATsM WAL'ADWAN  (S. ALMAaDt, 5:2), dibaca: wata'aawanuu 'alal birri wattaqwaa walaa ta'aanawuu 'alal itsmi wal'udwaani, artinya:
-- dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dalam aspek yang operasional inilah yang perlu diadakan dialog agar bisa terjalin kerja sama yang efektif.
 
Dalam hal aqidah atau pokok kepercayaan ada kesamaan kalau dilihat secara dangkal, namun kalau disimak secara mendalam ada perbedaan. Contohnya sudah saya bahas dalam Seri 963 tentang apa yang dikemukakan oleh benggolan "Islam" Liberal Moh Guntur Ramli ttg Rukun Iman dan Rukun Islam yang keceknyo sama antara Ahmadiyah dan Islam.
 
Dalam Seri 963 telah saya bahas bahwa setelah ditilik secara lebih dalam ternyata ada perbedaannya. Memang kalau hanya melihat secara sepintas lalu sebegaimana secara dangkal seperti juga yang dikemukakan dalam tulisan M. Qasim Mathar dalam Rubrik Opini Harian Fajar edisi 4 Maret 2011, antara Islam dengan Qadiyanisme hanya perbedaan penafsiran saja. Tetapi kalau ditilik secara lebih dalam, silakan disimak:
 
Akhirat dalam ayat (2:4) menurut Islam adalah hari kemudian, sedangkan menurut faham Qadiyanisme akhirat itu adalah wahyu yang akan datang ["Tafsir" Al-Quran karya proklamator Qadiyanisme, The Holy Quran, with English Translation and Commentary, under the auspices of Bashir al-Din Mahmud Ahmad, Oriental and Religious Publishing Corporation Ltd, Rabwah, West Pakistan, second edition, 1964, pg. 34,35]. Artinya Qadiyanisme mengingkari Rukun Iman yang kelima. Rasul yang bernama Ahmad dalam (ayat 61:6) menurut Islam adalah Nabi Muhammad SAW. Dari Jubair bin Mut'im RA, Nabi SAW bersabda: "Sesungguhnya saya mempunyai nama-nama, saya Muhammad, saya Ahmad, saya Al-Mahi, yang mana Allah menghapuskan kekafiran karena saya, saya Al-Hasyir, saya Al-Aqib yang tidak ada Nabi setelahnya" (HR Muslim). Sedangkan menurut Qadiyanisme, Rasul yang bernama Ahmad dalam (ayat 61:6) adalah Ghulam Ahmad the second coming of the Promised Messiah -- kedatangan kedua atau jelmaan /  reinkarnasi dari Isa Al-Masih -- [ibid pg. 2622].
 
Jadi bukan perbedaan penafsiran, sebagai selalu ditekankan oleh M. Qasim Mathar dalam setiap tulisannya dalam konteks membela Ahmadiyah Qadiyan, melainkan pada hakekatnya Qadiyanisme memperalat Al-Quran sebagai pembenaran kenabian dan kerasulan Ghulam Ahmad. Dan itu adalah "kekerasan non-fisik" yang selama ini dilancarkan oleh Qadiyanisme.
 
Dengan menyimak adanya perbedaan dalam pokok kepercayaan, akan menimbulkan pemahaman bahwa keberagaman (keadaan pluralitas, bukan ideologi pluralisme) sebagai suatu kenyataan yang harus disikapi dengan kesadaran dan kesepakatan dalam hal adanya perbedaan, bukan integrasi. Dan karena memang Islam itu berbeda dengan Qadiyanisme, maka perbedaan itu direalisasikan dengan Qadiyanisme tidak pakai nama Islam, karena punya nabi dan rasul tersendiri. Konsekwensinya organisasi Qadiyanisme yang pakai bendera Islam wajar dibubarkan oleh yang berwajib. Membubarkan organisasi Qadiyanisme yang pakai bendera Islam, itu tidak identik dengan memaksa penganut Qadiyanisme meninggalkan kepercayaannya. Alhasil itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan pelanggaran HAM dalam konteks kebebasan beragama.
 
Maka dalam bingkai kesadaran perbedaan yang tidak mungkin berintegrasi itu, mari kita hidup rukun dan damai terhadap pemeluk agama dan kepercayaan mana pun. Kebersamaan dalam aspek yang operasional dalam satu bangsa Bhinneka Tunggal Ika, aqbulo sibatang (membuluh sebatang), yang terdiri dari ruas-ruas yang berbeda yang bersatu dalam satu batang, aqlemo sibatu (melimau sebuah), yang terdiri dari keping-keping limau berbeda yang dibungkus kulit limau). Kebersamaan dan kesatuan dalam membangun negeri ini dalam aspek yang oprasional, memberantas korupsi, memberantas narkoba, memberantas pelacuran yang nyata dan tersembunyi dan menanggulangi HIV/Aids tanpa kondom.
 
WaLlah a'lami bi al-shawaab
 
*** Makassar, 13 Maret 2011