17 April 2011

970 Musibah Kartu Kredit, Kemelut PSSI dan Nilai Subkultur

Dilarang Sewa Debt Collector
08 April 2011
JAKARTA– Komisi XI DPR akhirnya mengeluarkan rekomendasi yang ditujukan kepada Bank Indonesia (BI) atas berbagai kasus di Citibank. Salah satunya BI harus menghapus sistem outsourcing (subkontrak) yang melibatkan jasa debt collector dalam penagihan utang kartu kredit.
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/391723/
 
Keluarnya rekomendasi tsb dipicu oleh tragedi Irzen Octa yang mati terbunuh oleh preman debt collector tatkala ia datang ke kantor Collector yang disewa Citibank untuk menanyakan jumlah tagihan kartu kredit yang membengkak dari Rp48 juta hingga Rp100 juta. Juga Muji Harjo yang utang Rp 12 juta nyaris buta akibat dianiaya oleh preman debt collector.
 
Rekomendasi menghapus sistem subkontrak yang melibatkan pihak ketiga tsb memang perlu tetapi belum cukup. Pertama, penghapusan sistem subkontrak itu kurang jelas apakah hanya ditujukan kepada Citibank saja, ataukah kepada semua bank? Kedua, memang dari segi tanggung jawab bank tidak bisa lagi melepaskan diri dari tuntutan pidana, jika debt collector karyawan bank melakukan tindak pidana atas nasabah. Namun bagaimanapun juga itu tidak menutup kemungkinan nasabah dianiaya oleh debt collector yang karyawan bank.
 
Menurut hemat saya akar permasalahan adalah pemanis TANPA AGUNGAN yang diumpankan bank yaitu kartu kredit tanpa agunan. Di samping memasarkan sendiri, bank menyewa pula pihak ketiga untuk memasarkan manisan itu. Karena pemanis tanpa agungan itu, maka banyaklah orang yang terjebak tanpa berpikir panjang mengenai kemampuannya membayar utang untuk mencicipi manisan menjadi nasabah, sehingga banyaklah nasabah yang akhirnya tidak sanggup membayar utangnya. Mereka yang terjebak itulah menjadi mangsa dianiaya oleh buruh "perusahaan" debt collector yaitu pihak ketiga yang lagi-lagi disewa oleh bank.
 
Dikatakan banyak, karena sesungguhnya kematian Irzen Octa ataupun Muji Harjo yang cacat karena dianiaya oleh debt collector itu hanyalah puncak gunung es.  Korban-korban nasabah kartu kredit tanpa agunan itu ibarat kata pepatah Melayu lama: Mati semut karena manisan.
 
Kalau kartu kredit itu pakai agunan, maka tidak akan terjadi kekerasan oleh debt collector kepada nasabah. Sebab kalau ternyata hutang nasabah sudah meningkat senilai agunannya, maka disita saja agunannya itu.
 
'Ala kulli hal, bagaimanapun juga, kredit tanpa agunan ataupun pakai agunan itu termasuk riba, sistem bunga-berbunga. Bacalah peringatan Allah dan RasulNya tentang riba:
-- ALDzYN YaKLWN ALRBWA LA YQWMWN ALA KMA YQWM ALDzY YTKhBThH ALSyYThN MN ALMS (S. AL BQRt, 2:275), dibaca: alldziina ya'kuluunar ribaa laa yaquumuuna illaa kamaa yaquumul ladzii yatakhabbathuhusy syaithaanu minal massi, artinya: 
-- Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
 
Abu Hurairah memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda,"Sungguh akan datang suatu zaman atas manusia, dimana tak seorang pun yang hidup saat itu, kecuali makan riba. Barang siapa yang tidak memakannya, akan terkena debunya".(H.R.abu Daud dan ibnu Majah)
 
Pada zaman kita inilah orang yang tidak makan riba, akan terkena debunya.
 
***
 
"Nurdin sudah ngomong sama saya bahwa dia cenderung tak mau maju lagi," ungkap mantan Wapres JK setelah pertemuan dengan sejumlah aktivis Dewan Penyelamat Negara di Rumah Makan Ny Suharti, Jakarta.
 
"Geli saya lihat itu. Sudah hampir setahun kisruh melulu. Orang Bugis-Makassar lagi," kata Syahrul di Hotel Singgasana.
http://www.fajar.co.id/read-20110331012933-jk-nurdin-tak-ingin-maju-lagi
 
Babak baru mulai mengemuka pasca kekisruhan di PSSI. Setelah mengambil alih peran Nurdin Halid dkk, FIFA akhirnya menunjuk Agum Gumelar menjadi ketua Komite Normalisasi PSSI, Selasa 5 April 2011. "Ya, saya menerima tugas demi menyelesaikan karut-marut sepak bola di Indonesia," tegas ketua umum PSSI era 1999-2003 itu.
http://www.fajar.co.id/read-20110406022142-fifa-tunjuk-agum
 
Kalau Nurdin Halid memang bermaksud tak mau maju lagi, mengapa tidak dilakukannya sejak dari dahulu, sehingga tidak sempat terjadi kekisruhan menimpa PSSI? Dan juga tentu tidak jadilah pula Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo menyindir: "Orang Bugis-Makassar lagi."
 
FIFA akhirnya menunjuk Agum Gumelar menjadi ketua Komite Normalisasi PSSI, maka Nurdin Halid sebagai nakoda bahtera PSSI itu "tenggelam"lah sudah.
 
Untuk bisa memahami mengapa Nurdin Halid yang memang bermaksud tak mau maju lagi itu kok ngotot bertahan tidak mau mundur, maka perlu lebih dahulu disimak sesuatu yang luput dari perhatian khalayak ramai termasuk Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo sendiri yang nota bene asli Tu-Mangkasaraq. Apa itu yang luput dari perhatian? Yaitu nilai subkultur etnik Bugis-Makassar.
 
Ejatompiseng Nadoang (EN) dan Toqdoq Puli (TP) adalah ciri khas di antara sekian nilai subkultur etnik Bugis-Makassar. Orang yang berwatak EN, yang bermakna: biarkanlah memerah terpanggang, apabila ditekan terus, walaupun sudah merangkak tidak dapat berdiri lagi, akan mengumpulkan segenap tenaga untuk dapat berdiri. Dan itulah yang terjadi pada Nurdin Halid. Justru karena didemo terus-terusan, maka Nudin Halid yang merasa terpanggang, nilai EN itu memberikan dorongan semangat kepadanya untuk memasang kuda-kuda. EN bergandengan dengan TP, yang bermakna: kemudi perahu terpasang mati. EN dan TP digambarkan oleh Kelong  (pantun Makassar) dan Pappasang (pesan-pesan) di bawah ini:
 
Kelong
 
Takunjungaq bangun turuq
Takuginciriq gulingku
Kualleanna
Tallanga natoaliya
 
Tak kuturut angin buritan
Kemudi takkan aku putar
Kendatipun akan tenggelam
Pantang aku urung berlayar
 
***
 
Pappasang
 
Punna tenamo takammana
Lappassang sai keqnang
Sareangi taua tallasaka
Allei kau matea
 
Kalau sudah mesti demikian
Maka biarlah
Berikanlah hidup kepada orang lain
Engkau ambillah mati
 
WaLlahu a'lamu bishshawab.
 
*** Makassar, 17 April 2011