17 Juli 2011

983 Pendekatan Matematika

Saya layani dahulu pertanyaan ini:
Dari Wikan Danar Sunindyo [9 Juli 2011]:
Pak nur lupa kalau hukum qisas pernah tidak dilaksanakan oleh Khalifah Umar. Lho apa pak nur lebih alim daripada Khalifah Umar?
 
Jawab:
Wikan, ente salah kaprah, jangan ente rancukan antara hukum qisas dengan hudud. 'Umar ibn Khattab RA sangat santer dituduh dan diekspos "pernah tidak melaksanakan hukum hudud" oleh penganut Islam Liberal.
 
'Umar ibn Khattab RA tidak memotong tangan pencuri pada masa terjadinya kelaparan. Padahal ketentuan hukum potong tangan pencuri telah terdapat  dalam Al-Quran (Qs.Al-Maaidah 5:38). Menurut Ma'ruf ad-Duwalibi, peristiwa ini menunjukkan adanya perubahan hukum  pencurian yang telah ditetapkan Al-Quran, disebabkan  oleh perubahan kondisi yang menyebabkan timbulnya pencurian. (Ini yang disebut pendekatan kontekstual)
 
Betulkah 'Umar ibn Khattab RA melakukan pendekatan kontekstual dengan mengubah hukum Islam karena tuntunan keadaan, sebagaimana pernyataan Ma'ruf  ad-Duwalibi?
 
Para ulama telah menjelaskan bahwa tindakan 'Umar ibn Khattab RA itu bukan berarti mengubah hukum hudud Islam karena mengikuti keadaan, melainkan karena ada tuntunan Nash Syari'ah dari Hadis Nabi Saw. Hukum potong tangan tidak dapat diterapkan dalam kondisi ketika terjadi musibah kelaparan, sebagaimana  diriwayatkan dari Makhul RA, bahwa Nabi Saw bersabda:
La qath'a fi maja'ah mudhthar, artinya:
Tidak ada potong tangan pada masa kelaparan yang memaksa.
 
Jadi, 'Umar ibn Khattab RA tidak memotong tangan pencuri pada masa kelaparan karena mengamalkan hadis ini, sebagai pengecualian (takhsis) dari ketentuan umum potong tangan (Qs.Al-Maaidah 5:38).
 
Alhasil, dari uraian di atas, sebenarnya jelas bahwa 'Umar ibn Khattab RA  tidak pernah melakukan pendekatan kontekstual dengan mengubah hukum Islam dalam arti mengubahnya karena faktor waktu, tempat, situasi, kondisi,  kemaslahatan, atau apa pun. Itu hanyalah fantasi yang absurd / menggelikan dari penganut Islam Liberal doang kotek.
 
***
 
Firman Allah:
-- ALhQ MN RBK (S. ALBQrt, 2:147), dibaca: alhaqqu mir rabbika, artinya:
-- Kebenaran itu dari Maha Pengaturmu.
 
Marilah kita bersama-sama memahamkan ma'na ayat (2:147) itu dengan pendekatan matematika.
 
Matematika adalah suatu sistem aksiomatis yang bersifat deduktif dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Ada sejumlah unsur pokok (undefined terms)
2. Ada seperangkat postulat (unproven statements)
3. Semua definisi atau teorema dibuat dengan menggunakan unsur pokok, postulat, definisi atau teorema yang sudah ada sebelumnya.
4. Nilai benar atau salah ditentukan oleh hokum-hukum yang ada
 
Definisi adalah pernyataan yang menjelaskan pengertian suatu nama atau istilah dengan memberikan ciri khusus nama atau istilah tersebut, sedangkan teorema merupakan hukum yang diturunkan dari sistem postulat yang digunakan. Kalau kita perhatikan ciri matematika tersebut, seperangkat postulat merupakan batu bata (building block) daripada matematika. Jadi kuat dan lemahnya bangunan matematika yang digunakan ditentukan oleh kualitas postulat-postulatnya.
 
Seperangkat postulat dapat digunakan untuk sebuah  bangunan matematika harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Sistem postulat itu lengkap. Pernyataan apa saja yang dibuat tentang unsur-unsur pokok atau unsur-unsur lainnya dalam sistem tersebut dapat dibuktikan benar atau salah dengan menggunakan himpunan postulat atau hukum-hukum yang diturunkannya.
2. Sistem postulat itu harus konsisten. Hukum-hukum yang dihasilkan oleh sistem postulat tidak akan membenarkan dua atau lebih pernyataan yang bertentangan. Setiap pernyataan hanya bisa benar atau salah dan tidak bisa benar dan salah serempak/sekaligus.
3. Sistem postulat itu harus ketat. Kalau ada satu postulat yang dapat diturunkan dari postulat-postulat lainnya, maka postulat tersebut harus dikeluarkan dari sistem postulat, dan dapat dijadikan teorema sebagai hukum turunan dari sistem postulat.
 
Dengan sifat ketat sebuah sistem postulat, kita dapat mengganti sebuah postulat dengan postulat lain, atau kontradiksinya, dan sistem itu tetap utuh dan memenuhi sifat-sifat kelengkapan, kekonsistenan dan keketatan. Sistem postulat yang baru akibat pergantian sebuah postulat tadi dapat merupakan duplikat, atau akan sangat berbeda dari system postulat semula.
 
Tiga sifat sistem postulat tersebut membawa konsekwensi yang penting. Jika ada satu sistem postulat P1, kemudian kita membuat sistem postulat P2, dengan mengganti sebuah postulatnya, maka hanya satu di antara dua kemungkinan yang berikut bisa terjadi, yaitu (1) P1 = P2, atau (2) P1 terpisah dengan P2. Kasus pertama terjadi apabila postulat pertama merupakan duplikat dari postulat yang diganti, sedangkan kasus kedua terjadi apabila postulat pengganti merupakan kontradiksi terhadap postulat yang diganti. Sebuah postulat dikatakan duplikat dari postulat lainnya, apabila yang satu merupakan implikasi logis daripada yang lainnya, atau jika yang satu benar, maka yang lainnya juga benar, demikian pula kalau yang satu salah yang lainnya juga salah. Kemudian dua postulat dikatakan kontradiksi apabila keduanya tidak dapat memiliki nilai logika yang sama, artinya satu yang benar dan lainnya pasti salah.
 
Siapa yang menilai sistem postulat tersebut? Sudah jelas matematika tidak dapat menilai dirinya sendiri. Adakah ilmu lain yang dapat menilainya? Jawabnya tidak ada sepanjang ilmu itu sederajat dengan matematika. Untuk menilai suatu sistem postulat diperlukan ilmu yang derajatnya lebih tinggi yang disebut meta-matematika. Siapa pula yang bisa menilai keshahihan penilaian meta-matematika itu? Untuk itu diperlukan pula ilmu yang derajatnya lebih tinggi lagi yaitu meta-meta-matematika. Dan seterusnya, dst, yang ujung-ujungnya adalah:
-- Kebenaran itu dari Maha Pengaturmu.
 
WaLlahu a'lamu bishshawab.
 
*** Makassar, 17 Juli 2011