4 September 2011

990 Dua 'Umar, Buyut dan Cicit

-- THh(#) . MA ANZLNA 'ALYK ALQRaAN LTSyQY . ALA TDzKRt  LMN YKhSyY . TNZYLA MMN KhLQ ALARDh WALSMWAT AL'ALY (S. THh, 20:1-4), Dibaca: thaahaa. maa anzalnaa 'alaikal qur-aana litasyqaa. illaa tadzkiratal limay yakhsyaa. tanziilam mimman khalaqal ardha wassamaawaatil 'ulaa, artinya:
-- Thaha(#). Tidaklah Kami turunkan Al-Quran kepadamu agar engkau susah. Melainkan jadi peringatan bagi yang takut. Diturunkan dari Yang menciptakan bumi dan benda-benda langit yang tinggi (20:1-4).
----------
(#)
kode matematis; dalam Surah ini jumlah huruf Tha (26) + jumlah huruf ha (202) = 26 + 202 = 228 = 12 x 19.
----------                       
 
Pada waktu 'Umar ibn Khattab (? - 24 H)/(? - 644 M) belum masuk Islam, beliau termasuk salah seorang yang sangat sengit menentang Islam. Ayat-ayat yang bertuliskan Al-Quran pada lembaran yang beliau rebut dari tangan Fatimah adik beliau, setelah dibacanya, betul-betul mengenai sasaran suasana kebatinan dan pola pikir beliau. Selama ini beliau menganggap bahwa ajaran Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammd SAW menyusahkan (tasyqaa) saja, memecah kesatuan dan persatuan penduduk negara-kota (city state) Makkah. Dalam sekejap itu, setelah beliau membacanya, beliau memutuskan untuk memeluk Islam.
 
Khalifah 'Umar ibn Khaththab RA lebih senang mendapatkan data primer ketimbang data sekunder. Lalu apakah beliau punya cukup waktu, punya cukup kesempatan untuk meliput semua itu secara langsung? Kalau zaman sekarang ada ilmu statistik, tidak perlu populasi itu diliput secara keseluruhan, cukup dengan mengambil sample saja, biasanya dengan acakan, kalau perlu didahului dengan stratifikasi. Di zamannya beliau ilmu itu tentu belum ada. Lalu beliau pakai apa? Beliau tidak pakai ilmu zhahir, melainkan ilmu kejernihan bathin dan intuisi yang tajam. Beliau mendapatkan sample yang tepat-tepat.
 
Suatu malam di daerah pinggiran 'Umar ibn Khattab RA mendapatkan dialog yang menarik. Suatu data primer tentang akhlaq rakyatnya, rakyat kalangan kecil, kalangan daerah pinggiran.
"Yah, ibu mengapa engkau akan mencampur susu dagangan kita ini dengan air," keluh anak gadis sang ibu.
"Supaya jumlahnya banyak, kita akan dapatkan pula hasil dengan harga yang banyak."
"Akan tetapi bukankah hai ibu itu suatu perbuatan yang melanggar hukum," menyanggah sang anak yang gadis itu.
"Ah, mana 'Umar akan tahu pelanggaran ini."
"Ibu, jangan lupa, 'Umar barangkali tidak akan tahu, akan tetapi Pencipta 'Umar niscaya tahu pelanggaran ini."
 
'Umar ibn Khattab RA menyarankan anaknya 'Ashim, supaya mempersunting "gadis pinggiran" itu. Dan 'Ashim menuruti pilihan ayahnya. Bayangkan, seorang anak kepala negara bersedia menikah dengan "gadis pinggiran". Dari perkawinan 'Ashim ini dengan gadis itu menurunkan seorang anak yang terkenal pula dalam sejarah, Khalifah 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz.
                          
***
 
Umar bin Abdul Aziz (61 - 111) H/(681 - 729) M lahir di Hulwan, sebuah desa di Mesir. Ibunya, Ummu 'Ashim adalah putri 'Ashim bin Umar bin Khaththab. Jadi, Umar bin Abdul Aziz adalah cicit Umar bin Khaththab dari garis keturunan (nasab) ibunya. Ayahandanya, Abdul Aziz bin Marwan, pernah menjadi gubernur di daerah itu. Patut diketahui bahwa Abdul Aziz bin Marwan bersaudara dengan Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang mendirikan Qubbat as-Sakhrah (Kubbah Batu, Dome of the Rock) pada tahun 70 H/691 M.
 
Sejak kecil 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz sudah bisa menghafal Al-Quran. Kemudian ayahandanya mengirimnya ke Madinah untuk belajar berbagai ilmu agama. beliau banyak berguru kepada Ubaidillah bin Abdullah. Dengan bekal ilmu itulah beliau semakin bijak menyikapi berbagai persoalan di masyarakat, terutama yang berkenaan dengan prinsip dasar peradaban Islam di masa Rasulullah SAW dan al-Khulafaa ar-Rasyiduwn(*). 
 
Beliaupun memiliki pandangan lain tentang sistem kekhalifahan yang diwariskan secara turun temurun. Hal ini dapat dilihat tatkala beliau diangkat sebagai Khalifah berdasarkan surat wasiat Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan pada tahun 99 H/179 M. Di hadapan rakyatnya setelah baru diangkat menjadi khalifah berdasarkan surat wasiat, beliau menyatakan: "Saudara-saudara sekalian, saat ini saya batalkan jabatan khalifah berdasarkan surat wasiat, dan saudara-saudara pilihlah sendiri Khalifah yang kalian inginkan selain saya." Namun, rakyat tetap menetapkan pilihannya membaiat 'Umar bin 'Abdul 'Aziz. Beliau menjabat Khalifah selama dua tahun lima bulan.
 
Kesalehan 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz sudah dikenal ketika beliau menjadi gubernur Madinah. Kesalehan beliau makin bertambah ketika beliau menjadi Khalifah. Sebuah ilustrasi: Suatu malam isteri beliau masuk kedalam ruangan kerjanya. Bertanyalah beliau kepada isterinya: "Apa yang akan engkau bicarakan urusan khilafah atau urusan keluarga?" Sang isteri menjawab: "Urusan keluarga." Maka dalam sekejap itu langsung beliau memadamkan lampu dan menggantinya dengan lampu yang bahan bakarnya milik pribadi, bukannya yang milik khilafah.
 
Bahkan beliau bukan hanya dikenal sebagai seorang ahli ibadah, tetapi beliau memiliki pemahaman yang mendalam dan rinci (al-fahmu ad-daqiq) dalam masalah-masalah keagamaan. Sehingga beliau dijadikan rujukan dalam berbagai masalah oleh banyak orang. Sampai-sampai Maimun bin Mahran berkata, "Para ulama di hadapan 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz adalah murid-muridnya." WaLlahu a'lamu bishshawab.
 
--------------
(*)
Khulafaa ar-Rasyidiyn, artinya para khalifahnya orang-orang yang benar (righteous). Ini tarkib idhafi mudhaf-wa-mudhaf ilaih.
 
al-Khualafaa ar-Rasyiduwn, artinya para khalifah yang benar. Ini jumlah ismiyyah, yaitu jumlah yang khabarnya isim yaitu ar-rasyiduwn.
 
Jadi Abu Bakar ash-Shidddiq, 'Umar ibn Khattab, 'Utsman bin Affan, 'Ali bin Abi Thalib R.Anhum adalah al-khualafaa ar-rasyiduwn, para khalifah yang benar, bukan khulafaa ar-rasyidiyn, karena di sini kata benar ditujukan kepada orang-orang mu'miniyn, bukan ditujukan pada para khalifah.
 
*** Makassar, 4 September 2011