30 Juli 1995

187. Menggulung Sorban

Saya masih ingat pada waktu masih di Jogyu Kogakko (SD zaman pendudukan Jepang) kepada saya disodorkan sebuah teka-teki: mana yang lebih berguna matahari ketimbang bulan. Tentulah secara polos saya jawab: matahari yang lebih berguna. Maka yang menyodorkan teka-teki itu menepis jawaban saya dengan mengatakan bahwa bulan lebih penting karena pada waktu malam yang gelap bulan menyinari bumi, sedangkan pada waktu siang memang keadaan sudah terang, ..... jadi matahari tidak perlu lagi. Teka-teki ini memisahkan antara keadaan siang dengan adanya matahari.

Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Musa AS memberikan informasi bahwa alam semesta ini diciptakan Allah SWT dalam enam masa (periode). Kemudian cerita Israiliyat memberikan ilustrasi berupa perincian apa-apa yang diciptakan Tuhan dalam setiap masa itu. Dalam ilustrasi Irailiyat itu dikatakan bahwa pada hari yang pertama Tuhan menjadikan siang dan malam. Setelah itu pada hari yang keempat barulah Tuhan mengadakan matahari sebagai penguasa siang dan bulan sebagai penguasa malam. Informasi itu akan komunikatif bagi orang-orang Bani Israil zaman dahulu. Akan tetapi tidak lagi komunikatif bagi kita sekarang ini. Terjadinya siang dan malam disebabkan oleh perpusingan bumi pada sumbunya. Bahagian yang kena sinar matahari menjadi siang dan yang tidak kena matahari menjadi malam. Artinya terjadinya siang dan malam tidak dapat dipisahkan dari terjadinya matahari. Maka Tuhan mestilah menciptakan siang dan malam dan matahari pada hari yang pertama, bukan menciptakan matahari pada hari yang keempat.

Pemisahan antara siang dengan matahari itu dalam teka-teki itu sama betul dengan pola pemikiran ilustrasi Israiliyat itu bahwa Tuhan menciptakan siang pada hari yang pertama dan matahari pada hari yang keempat.

Apabila Al Quran jelas-jelas mengatakan bahwa bumi ini berpusing yang menyebabkan terjadinya siang dan malam, maka ini akan membingungkan bahkan menghebohkan masyarakat pada zaman Kitab Suci itu mulai dikomunikasikan. Itu sangat bertentangan dengan kenyataan. Ambillah pakaian basah, lalu putar, Ambillah pakaian basah, lalu putar, seperti Daud memutar pelontar batu. Tatkala batu itu dilepas oleh Daud meluncurlah batu itu dan mengena tepat di antara kedua mata Jalut sehingga ia tewas. Seperti dengan batu itu, maka air dari pakaian basah itu akan memercik, akan terlempar. Kalau bumi berputar, niscaya akan habislah terlempar air laut meninggalkan bumi dan semua benda-benda yang tidak terpaku pada bumi, termasuk manusia. Mereka itu niscaya akan menolak kebenaran informasi itu, sebab berdasarkan pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman mereka sehari-hari bumi yang bergerak itu sangat bertentangan dengan kenyataan.

Sebaliknya apabila Al Quran jelas-jelas mengatakan secara konkrit bahwa bumi itu diam, agar komunikatif pada masyarakat waktu permulaan Kitab Suci itu diturunkan, tentu akan ditolak oleh masyarakat seperti yang keadaannya sekarang ini yang umumnya sudah mempunyai latar belakang pengetahuan yang telah maju. Masyarakat sekarang yang telah maju itu bukan hanya sekadar menolak informasi tentang bumi yang diam itu, bahkan mereka itu akan menolak keseluruhan Kitab Suci itu, karena kebenaran yang dikandungnya hanya temporer, yaitu hanya berlaku pada waktu Kitab Suci itu mulai dimasyarakatkan.

Dalam hal bumi berpusing Al Quran memakai gaya bahasa yang tidak membingungkan dan tidak menghebohkan masyarakat Arab di zaman RasuluLlah SAW dan masyarakat lain di luar tanah Arab yang sezaman, ataupun yang latar budaya dan pengetahuannya seperti masyarakat Arab itu, serta diterima pula oleh masyarakat yang latar belakang pengetahuannya seperti dewasa ini. Allah SWT menempatkan kata-kata khusus dalam kalimat ayat-ayat Qawliyah sehingga akan komunikatif bagi ummat manusia yang hidup terdahulu, sekarang dan yang akan datang, komunikatif bagi orang-orang yang taraf pemilikan ilmu pengetahuannya berbeda-beda. Al Quran menjadi komunikatif bagi seluruh ummat manusia di seluruh pelosok bumi ini, di sembarang waktu, dan terhadap mereka yang tingkat pengetahuannya berbeda-beda.

Marilah kita ikuti ayat Qawliyah di bawah ini mengenai perihal siang dan malam.

Yukawwiru lLayla 'alay nNaha-ri, wa Yukawwiru nNaha-ra 'alay lLayli (S.AzZumar,5). Terjemahan Al Quran dengan Hak Cipta dari Departemen Agama Republik Indonesia bunyinya demikian: Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam.

Pemakaian kata Yukawwiru menjadikan ayat di atas itu komunikatif baik untuk orang-orang terdahulu pada waktu Al Quran mulai dikomunikasikan, maupun untuk orang-orang sekarang ini dan insya Allah untuk orang-orang yang akan datang. Yukawwiru berasal dari akar kata yang dibentuk oleh tiga huruf: Kef, Waw, Ra, Kawwara, artinya memutar sorban di kepala. Apabila kepala dililit sorban, maka kepala akan ditutup oleh sorban. Maka ditafsirkanlah ayat di atas itu seperti penafsiran Departemen Agama: menutupkan malam atas siang. Kawwara di sini dilihat dari segi output, hasil akhir sorban menutup kepala.

Akan lebih komunikatif lagi bagi kita sekarang ini jika dalam ungkapan memutar sorban itu dilihat dari segi proses, yaitu memutar sorban, sehingga ayat itu bermakna: (Allah) memutar malam atas siang dan memutar siang atas malam. Dengan orientasi proses ini, maka rerjadinya siang dan malam adalah karena proses berputar. Kita manusia yang ada di permukaan bumi bergerak mengikuti gerak berputar bumi pada sumbunya. Pada waktu kita berada pada permukaan bumi yang separuh kena cahaya matahari, maka itulah siang. Dan sebaliknya pada waktu kita berada pada separuh permukaan bumi yang gelap karena tidak kena cahaya matahari, itulah malam. Wa Llahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 30 Juli 1995