3 November 1996

248. MIRAS, Metode Pendekatan dan Ketetapan Hukumnya

Dalam hal miras ibarat mata uang, yaitu ada dua sisi yang patut diperhatikan. Sisi yang pertama menyangkut metode pendekatan menurut Al Quran dalam menghentikan peminum miras, dan pada sisi yang lain menyangkut hukum meminum miras.

Pendekatan dalam menghentikan peminum miras menurut Al Quran tidaklah secara drastis, yaitu secara berangsur. Sebermula Al Quran mengemukakan potret miras apa adanya, yaitu ada dosa besar di dalamnya dan ada gunanya, namun dosanya lebih besar ketimbang kegunaannya, seperti firmanNya:
Yasaluwnaka 'ani lKhamri walMaysiri Qul fiyHimaa Itsmun Khabiyrun waManaafi'u linNaasi waItsmuHumaa Akbaru min Naf'ihimaa (S. Al Baqarah, 219). Mereka bertanya kepadamu mengenai miras dan judi, katakan, di dalam keduanya itu dosa besar dan ada beberapa manfaat, namun dosa keduanya lebih besar dari manfaat keduanya (2:219).

Gambaran dosa besar dalam miras telah dijelaskan, namun belum ada perintah yang tegas tentang larangan minum miras. Akan tetapi secara tersirat di balik potret itu terdapat nilai bahwa terpujilah jika meninggalkan kebiasaan minum miras, walaupun dari sisi lain miras itu ada pula manfaatnya. Dari hasil kajian ilmu pengetahuan terungkap bahwa gambaran dosa besar dalam miras itu antara lain pemabuk itu menjadi rusak mentalnya, pikirannya tidak jernih, akalnya buntu, ruhaninya sakit, dan selalu keragihan. Dan yang dianggap manfaat oleh manusia ialah jika orang telah teler karena miras, maka ia terlepaslah sesaat dari keruwetan memikirkan seluk-beluk kehidupan duniawi. Kelihatannya bermanfaat akan tetapi pada hakekatnya merugikan, yaitu menjadi pengecut, karena lari dari kenyataan, tidak berani menantang kenyataan yang harus dihadapinya.

Sesudah tahap menggambarkan potret miras, menyusullah tahapan larangan yang tidak sepenuhnya, sebagai sasaran antara, seperti firmanNya: Ya-ayyuha Lladziyna A-manuw Laa Taqrabu shShala-ta wa Antum Sukaara- (S. AnNisa-u, 43). Hai orang-orang beriman janganlah kamu dekati shalat tatkala kamu mabuk (4:43). Tahapan berupa sasaran antara ini adalah larangan tidak boleh mabuk, artinya boleh minum asal jangan sampai mabuk. Sangatlah riskan kalau mabuk, oleh karena jika tatkala masih mabuk waktu shalat telah tiba, ia akan absen dalam shalat.

Tahapan terakhir adalah larangan tegas, bahwa miras, judi dan lain-lain yang sebangsanya adalah dari perbuatan setan, haruslah dijauhi. Ya-ayyuha Lladziyna Amanuw Innama lKhamru walMaysiru walAnshaabu walAzlaamu Rijsun min 'Amali sySyaythaani faJtanibuwhu La'allahum Tuflihuwna (S. Al Ma-idah, 90). Hai orang-orang beriman, sesungguhnya miras, judi, berhala dan bertenung itu kotor, itu dari pekerjaan setan, jauhkanlah, supaya kamu mendapat kemenangan (5:90).

Sebagai ilustrasi tambahan metode tidak drastis ini ditempuh pula dalam hal menghilangkan perbudakan. Apabila menghilangkan perbudakan itu dilakukan secara drastis, maka akan terjadi khaos dalam masyarakat. Para hamba sahaya yang sudah terbiasa menjadi budak, belum pernah mandiri, lalu tiba-tiba diberi kemerdekaan, mereka akan kebingungan mau berbuat apa. Kalau jumlah mereka banyak akan terjadi kekacauan, mereka akan mencuri bahkan merampok. Sejarah berbicara tentang hal ini. Misalnya para gladiator yang membebaskan dirinya yang dipimpin oleh Spartacus pada zaman Romawi. Para gladiator itu tidak mempunyai keterampilan selain berkelahi. Spartacus memperbesar jumlah pasukannya dengan membebaskan budak-budak yang lain, yang ditempa pula menjadi ahli berkelahi. Mereka menjarah penduduk untuk keperluan logistik.

Demikian pula keadaan budak-budak yang telah dibebaskan setelah Civil War dalam sejarah Amerika Serikat. Para mantan budak itu kebingungan mau berbuat apa. Bahkan mantan budak-budak yang telah diperlakukan dengan kejam melakukan balas dendam atas mantan tuan tanah yang kejam itu. Mereka merampok dan membunuh mantan tuan tanah beserta keluarganya.

Dalam hal ini Al Quran menunjukkan cara persuasif, yaitu himbauan bahwa memerdekaan budak adalah suatu kebajikan (2:177). Seterusnya dalam penyaluran zakat terdapat porsi untuk memerdekakan budak. Ditempuh pula tehnik menikahi budak, seperti firmanNya: Fankihuw Maa Thaaba laKum mina nNisaai Matsna- wa Tsulatsa wa Rubaa'a faIn Khiftum allaa Ta'diluw fa Waahidatan aw Maa Malakat Aymanukum, (S. An Nisa-u, 3) maka nikahilah olehmu perempuan- perempuan yang baik bagimu, berdua, bertiga, berempat, akan tetapi jika engkau khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau (nikahilah) apa yang dimiliki oleh tangan kananmu (4:3).

Yang dimaksud dengan apa yang dimiliki oleh tangan kanan adalah budak-budak perempuan. Budak laki-laki tidak beranak, akan tetapi budak perempuan dapat beranak. Anak hasil perkawinan antara tuan dengan budak perempuannya itu, tidak boleh lagi statusnya sebagai budak. Dengan demikian hikmah yang terkandung dalam ayat (4:3) tersebut, adalah metode pendekatan menikahi budak untuk menghapuskan budak-budak dalam generasi berikutnya. Dilakukan pula dengan tehnik berupa sanksi membebaskan budak atas seseorang yang melanggar syari'at, seperti misalnya melakukan hubungan seksual dengan isterinya pada siang hari dalam bulan Ramadhan. Demikianlah cara menghilangkan perbudakan yang sudah mendarah daging warisan masyarakat jahiliyah. Pada prinsipnya perbudakan itu dilarang, seperti firman Allah: Wa Laqad Karramnaa Baniy Adama (S. Isray, 70). Sesungguhnya telah Kami muliakan Bani Adam (17:70). Allah telah menyatakan bahwa manusia itu dimuliakan Allah, maka tidaklah boleh manusia itu diperbudak.

Kembali pada masalah miras. Sejak ayat (5:90) diturunkan, maka meminum miras dilarang, haram hukumnya. Sama haramnya jika makan babi. Termasuk dalam larangan itu adalah sumber dan jalurnya sampai tiba dimulut. Yaitu pabrik miras, berternak babi dan memperdagangkannya. Bagi peminum berat metode bertahap menurut Al Quran dapat ditempuhnya, namun harus diingat bahwa ia tidak terbebas dari sanksi dosa karena minum miras. Walaupun dalam rentang waktu tahapan itu ia mendapat sanksi dosa, maka itu lebih baik bagi peminum berat itu ketimbang sama sekali tidak berupaya secara bertahap untuk berhenti minum miras. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 3 November 1996