24 November 1996

251. Kejujuran

Besok insya Allah Belo akan memberikan jawaban resmi dan terbuka sesuai dengan janjinya untuk membantah atau membenarkan omongannya di der Spiegel (artinya cermin). Sebelumnya Belo telah membantah melalui Kapolda Dili. Adalah logis bahwa Belo harus membantah, sebab kalau ia membenarkan (andaikata itu memang benar) maka tentu berat baginya, berat dugaan saya ia tidak akan berani membenarkan der Spiegel (andaikata itu memang benar). Bantahan Belo meragukan sebahagian orang, oleh karena kalau ia memang benar tidak berkata demikian, mengapa tidak serta merta mengirim surat pernyataan bantahan untuk dimuat dalam der Spiegel sendiri. Mengapa ia begitu terlambat membantah (andaikata ia ingin membantah)? Mengapa baru membantah setelah ia didesak untuk menjawab? Mengapa ia tidak menjawab dalam der Spiegel sendiri? Maka terpulang kepada diri kita masing-masing siapa yang bohong, siapa yang jujur. Belokah atau der Spiegelkah?

***

Berbicara soal kejujuran lebih baik kita tinggalkan dahulu Timor Timur untuk sejenak menoleh ke arah perkebunan kelapa di pulau Selayar dalam kalangan petani kelapa baik sebagai pemlik tanah, maupun sebagai penggarap, dan di situ kita akan berjumpa dengan kejujuran. Pada umumnya pemilik tanah di pulau itu tidak mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk mengerjakan tanahnya, namun tetap ingin menikamti hasilnya. Maka pemilik tanah menyuruh orang lain yaitu penggarap untuk menegrjakan tanahnya, dan kemudian penggarap menyerahkan sebahagian hasilnya kepada pemilik tanah, berdasar atas perjanjian bagi hasil yang telah disepakati sebelumnya. Sedangkan dalam proses timbulnya perjanjian bagi hasil itu pada dasarnya tanpa ada paksaan dari salah satu pihak.

Perjanjian bagi hasil itu di samping dilatar-belakangi oleh keadaan saling membutuhkan atas dasar suka rela, bukan paksaan, maka dapat pula didorong oleh rasa kekeluargaan dan saling tolong-menolong di antara pemilik tanah dengan penggarap secar turun-temurun. Bentuk perjanjian bagi hasil dalam masyarakat dilakukan dalam bentuk tidak tertulis serta tidak melibatkan secara langsung saksi-saksi dari kedua belah pihak. Nanti setelah penggarap melaksanakan pengolahan tanah, barulah pemilik dan penggarap memberitahukan kepada orang lain bahwa mereka mengadakan perjanjian bagi hasil dan bahkan biasanya mereka secara aktif memberi-tahukan kepada orang lain, melainkan banyak-banyak orang lain tahu akan adanya perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dengan penggarap, setelah orang lain bertnya karena yang dilihatnya yang menggarap bukanlah pemilik tanah dari tanah yang digarap itu. Pemberi-tahuan ini bukanlah suatu keharusan.

Hal ini disebabkan karena masyarakat masih dipengaruhi oleh adat kebiasaan, sehingga perjanjian bagi hasil tidak dilakukan secara tertulis, hanya dalam bentuk lisan, bentuk kesepakatan yang dirumuskan dengan saling pengertian belaka. Hal ini semata-mata bersandarkan pada adat kebiasaan yang turun-temurun yang dilakukan dengan berpatokan pada pola yang diberlakukan sebagai kesepakatan bersama oleh warga masyarakat.

Dituangkannya perjanjian bagi hasil secara tidak tertulis oleh karena masih kuatnya penghormatan masyarakat setempat terhadap integritas sesama, para warga masyarakat masih senantiasa saling menghormati dan memberikan kepercayaan satu dengan yang lain. Pemilik tanah dan penggarap tidak akan mengingkari apa yang mereka telah sepakati bersama dan masing-masing pihak akan melaksanakan apa yang mereka telah perjanjikan. Kepastian hukum untuk tidak mengingkari perjanjian itu berdasar atas nilai sub-kultur di Sulawesi Selatan, yaitu harga-diri (siri') dan solidaritas sosial (passe, pesse, pacce). Oleh karena pemilik tanah di Kabupaten Selayar mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi dari penggarap, maka pemilik tanah tidak akan mengingkari apa yang telah mereka sepakati, karena apabila ia tidak melaksanakan sesuai dengan kesepakatan, maka tentu harga dirinya (baca: siri') akan terusik, nama baiknya akan tercemar di mata masyarakat. Demikian pula halnya dengan penggarap, ia akan melaksanakan apa yang telah dijanjikannya sesuai dengan kesepakatan, karena ada rasa segan dan hormat kepada pemilik tanah.

Adanya pengaruh rasa solidaritas sosial yang tinggi (passe) untuk hidup berdampingan secara damai dan tenteram, saling menghargai dan saling menghormati, sehingga meskipun perjanjian bagi hasil itu dilakukan secara lisan tanpa saksi-saksi, kenyataannya sampai sekarang hampir tidak pernah terjadi sengketa antara pemilik tanah dengan penggarap dalam hal melaksanakan perjanjian bagi hasil perkebunan kelapa. Nilai siri' dari pihak pemilik tanah, nilai passe dari kedua belah pihak, nilai segan dan hormat dari pihak penggarap membuahkan nilai kejujuran. Nilai kejujuran ini sama nilainya dengan kepastian hukum.

Namun perlu ditekankan bahwa persengkataan yang sering terjadi adalah di antara anak cucu yang orang tua ataupun nenek moyangnya membuat perjanjian secara lisan dahulu, tetapi ini bukan perjanjian bagi hasil melainkan transaksi hak kepemilikan tanah. Itu adalah cerita hingga dewasa ini, namun untuk masa yang akan datang adanya angin puting beliuang dari globalisasi, nilai siri' dari pemilik tanah, nilai passe dari kedua belah pihak, nilai segan dan hormat dari pihak penggarap tidak akan mampu bertahan. Lemahnya pertahanan itu oleh karena sekarang ini tidak ada lagi lembaga adat di Kabupaten Selayar yang bertanggung jawab atas nilai-nilai itu. Siri' dan passe hanya dipertahankan secara individual, sehingga tidak akan mampu bertahan. Dalam keadaan yang demikian itu perjanjian secara lisan tanpa saksi yang tidak lagi diikat oleh nilai-nilai itu di masa-masa yang akan datang, akan menjadikan perjanjian itu tidak lagi menjamin kepastian hukum tentang kedudukan kedua belah pihak.

Demikianlah nilai kejujuran itu akan kian memudar, karena sudah tidak ada lagi lembaga adat yang memeliharanya. Maka benteng pertahanan yang paling ampuh adalah nilai-nilai agama, asal saja lembaga-lembaga keagamaan dapat bekerja dengan kinerja yang tinggi dalam arti metode da'wah harus membuahkan efisiensi dan efektivitas yang tinggi, dan aktivitas yang agresif untuk dapat memberikan serangan balik atas angin puting-beliung globalisasi. Dan di samping meningkatkan kinerja lembaga-lembaga keagamaan, maka masyarakat di pedesaan jangan lupa mengaplikasikan teknik administrasi menurut qaidah agama dalam melakukan perikatan perjanjian, seperti telah lazim dipakai di kota-kota biasa maupun metropolitan. Ya-ayyuha lladziyna a-manuw idza- tada-yantum bidaynin ila- ajalin musamman faktubuwhu walyaktub baynakum ka-tibun bil'adl (S. Al Baqarah, 252), artinya: Hai orang-orang beriman, apabila mengadakan perjanjian perikatan utang-piutang untuk waktu yang ditetapkan, maka tuliskanlah, dan haruslah dituliskan oleh seorang notaris dengan adil (2:252). WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 24 November 1996