25 November 2001

501. Mengapa Penentuan Awal Ramadhan Tidak Sama?

Ada beberapa "protes" yang saya sempat pungut dari dunia maya tentang penentuan awal Ramadhan, yang pukul rata maksudnya demikian: Di zaman modern seperti ini, sudah ada komputer dan teropong bintang yang ditunjang oleh satelit segala. Tetapi mengapa dalam menentukan awal Ramadhan mesti berbeda, sehingga orang-orang awwam jadinya serba tidak mengerti.

***
Demi keotentikan, sebagai pertanggung-jawaban kepada Allah SWT, dalam kolom ini setiap ayat Al Quran ditransliterasikan huruf demi huruf. Bila pembaca merasa "terusik" dengan transliterasi ini, tolong dilampaui, langsung ke cara membacanya saja.

'An Abiy Hurayrata yaquwlu qaala nNabiyyu Sh M shuwmuw liru'yatihi wa afthuruw liru'yatihi fain ghubbiya 'alaykum fakmiluw 'iddata sya'baana tsalaatsiyn (RB), artinya: Dari Abu Hurayrah (ia) berkata: Nabi SAW (telah) bersabda puasalah kamu apabila melihatnya (al hilal) dan berbukalah apabila kamu melihatnya dan jika bulan tertutup atasmu maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban tiga puluh (diriwayatkan oleh Bukhari).

Terhadap Hadits tersebut dalam ungkapan kontemporer Ahlu rRu'yah (dari Ra, Alif,Ya, melihat) memakai pendekatan tekstual, artinya Hadits itu dipahamkan sesuai dengan teksnya. Sedangkan Ahlu lHisab (dari ha,Sin,Ba, menghitung) mempergunakan metode kontekstual, yakni Hadits itu harus dipahamkan dalam konteks munculnya al hilal baru. Ahlu rRu'yah memakai prinsip ainulyaqin, atau legitimasi formal, sedangkan Ahlu lHisab memakai prinsip ilmulyaqin, atau legitimasi faktual.

Ahlu rRu'yah memahamkan bulan sabit (al hilal) baru spb: Timbulnya al hilal baru apabila setelah matahari terbenam, al hilal dapat diintizhar (diobservasi) baik secara langsung (dengan mata kasar), maupun secara tidak langsung (melalui instrumen). Prinsip 'ainulyaqin ini memfokuskan pada silaunya mata ataupun instrumen oleh sinar matahari yang telah terbenam, sehingga al hilal tidak dapat diintizhar, tanpa pertimbangan bahwa al hilal sudah di atas ufuk.

Ahlu lHisab memahamkan al hilal baru spb: Timbulnya al hilal baru apabila setelah matahari terbenam, al hilal sudah ada di atas ufuk, walaupun al hilal tidak dapat diintizhar karena mata ataupun instrumen silau oleh sinar matahari yang telah terbenam. Jadi Ahlu rRu'yah memfokuskan pada teks "melihat", sedangkan Ahlu lHisab memfokuskan pada konteks "al hilal di atas ufuk". Pendekatan kontekstual ini ditopang oleh ayat: FMN SYHD MNKM ALSYHR FLYSHMH (S. ALBAQRT, 185), dibaca: fa man syahida mingkumush shayra falyashumhu, artinya maka barang siapa menyaksikan "asysyahr", maka mestilah mempuasakannya (2:185). Syahr(un) tidak diterjemahkan, sebab tidak ada bahasa Indonesianya. bahasa Inggrisnya ialah month. Menurut ayat (2:185) syahr (month) itu disaksikan (syahida). Jadi sabda Nabi Muhammad SAW: shuwmuw liru'yatihi, berpuasalah karena melihatnya, hendaklah dipahamkan dalam konteks ayat syahida mingkum sysyahra, menyaksikan asysyahr (month). Syahr (month) tidak dapat dilihat dengan mata kasar, karena itu bukan benda kasar, melainkan "hitungan bulan", maksudnya Ramadhan, yang hanya dapat disaksikan dengan hisab.

Yang menjadi masalah sejak dahulu sampai dewasa ini kedua pendekatan tekstual atau prinsip 'ainulyaqin dan kontekstual atau prinsip 'ilmulyaqin itu belum dapat dipertemukan, masih dalam status quo. Lalu sebagai realitas status quo itu, bagaimana seharusnya kita bersikap supaya tidak kebingungan?

Pada tempat-tempat di permukaan bumi di mana matahari dan bulan terbenam pada detik yang sama, maka tempat-tempat tersebut merupakan daerah perbatasan antara akhir bulan Sya'ban dengan permulaan bulan Ramadhan. Tempat-tempat perbatasan tersebut berupa kurva (garis lengkung). Itu secara teori, tetapi sacara faktual sebenarnya berupa bidang oleh karena adanya perbedaan antara Ahlu rRu'yah dengan Ahlu lHisab, dalam daerah tinggi alhilal antara 0 - sekitar 4 derajat busur di atas ufuq pada waktu matahari terbenam.

Karena dilihat dari bumi pada bola langit, gerak matahari lebih cepat dari bulan, maka sebelah barat daerah bidang batas itu matahari sudah mendahului bulan di bawah ufuk, sehingga belahan bumi sebelah barat daerah batas itu sudah masuk 1 Ramadhan, sedangkan sebelah timur batas masih akhir Sya'ban, karena matahari masih di atas ufuk setelah bulan terbenam. Itulah penjelasannya mengapa ada kalanya di Makkah berpuasa atau shalat 'Iyd satu hari lebih dahulu ketimbang Indonesia.

Bidang batas antara akhir bulan dengan awal bulan berikutnya itu bergerak, karena garis batas itu dibina oleh posisi dan gerak matahari, bumi dan bulan. Setiap mathla' di globa ini akan mendapat giliran secara adil dilalui oleh bidang batas itu. Pada orang-orang yang berjejak di bumi di daerah di luar bidang batas itu akan terjadi kecocokan antara ru'yah dengan hisab, yaitu tinggi alhilal sekitar 4 derajat ke atas. Pada belahan bumi yang di sebelah baratnya menurut hisab bulan sudah di atas ufuk pada waktu matahari terbenam dan dapat diru'yah. Pada belahan bumi yang di sebelah timurnya bulan belum dapat diru'yah dan menurut hisab bulan masih di bawah ufuk. Jadi bagi suatu negara yang cukup panjang dan memanjang dari barat ke timur, seperti Indonesia misalnya, jika dipotong oleh bidang batas itu, tidaklah mesti berpuasa dan berlebaran dalam satu hari yang sama. Di sebelah barat bidang batas itu mereka berpuasa. Sedangkan di sebelah timur bidang batas itu mereka belum berpuasa. Dengan demikian tidaklah semestinya seluruh ummat Islam dalam suatu negara berpuasa dan berlebaran dalam hari yang sama, walaupun misalnya telah terjadi kesepakatan visi antara yang tekstual dengan kontekstual.

Lalu bagaimana yang di dalam bidang batas, di mana terdapat perbedaan antara ru'yah dengan hisab? Tidaklah perlu bingung. Resepnya, pahamkanlah secara rasional latar belakang perbedaan itu. Kemudian PULANGKAN KE QALBU (HATI NURANI) KITA MASING-MASING, pilihan mana yang kita rasakan paling menenteramkan (liyuthmainna Qalby), seperti ungkapan Nabi Ibrahim AS. Saya memilih mulai berpuasa pada hari Jum'at 16 November 2001, yaitu memakai prinsip 'ilmulyaqin, karena hal itu lebih menentramkan qalbu saya. Wallahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 25 November 2001