17 Agustus 2003

588. Lahirnya Teks Proklamasi

Firman Alah:
-- WLTNZHR NFS MA QDNT LGHD {S. ALhSYR, 59:18), dibaca: waltanzhur nafsun ma- qaddamat lighadin (s. alhasyr), artinya: Dan wajiblah setiap diri mengkaji masa lalu untuk masa depan.

Sebermula Teks Proklamasi tidak seperti yang dibacakan pada 17 Agustus 1945. Sesungguhnya yang akan dibacakan ialah sebuah konsep Teks Proklamasi yang sekali-gus akan dijadikan Muqaddimah UUD kelak, yang kita kenal sebagai Piagam Jakarta. Itulah sebabnya maka Piagam Jakarta hampir identik dengan Pembukaan UUD-1945, yang perbedaannya hanya terletak dalam dua hal seperti yang akan dijelaskan di bawah. Disebut dengan Piagam Jakarta, karena Muqaddimah UUD yang akan dibacakan dalam maklumat kemerdekaan Indonesia, adalah sebuah piagam yang dibuat di Jakarta pada 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan yang terdiri dari sembilan orang, yaitu: Ir Soekarno sebagai ketua merangkap anggota, Drs.Moh Hatta, Mr AA Maramis, KH Wahid Hasyim, Abd.Kahar Moedzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, H.Agoes Salim, Mr Ahmad Soebardjo, Mr Moh.Yamin.

Piagam Jakarta yang dipersiapkan untuk dibacakan dalam maklumat kemerdekaan Indonesia urung dilaksanakan, karena sejarah berkata lain. Bung Karno dan Bung Hatta pada 15 Agustus 1945 larut malam diciduk oleh pemuda yang beraliran ideologi marxisme (Murba) ke Rengas Dengklok dan di sana didesak untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Atas jaminan Mr Ahmad Soebardjo kedua pemimpin itu dikembalikan ke Jakarta pada malam 16 Agustus 1945 dengan janji akan memprokla-masikan kemerdekaan Indonesia pada pagi-pagi keesokan harinya 17 Agustus 1945. Karena naskah Piagam Jakarta tidak ditemukan malam itu, berhubung keberangkatan yang tergesa-gesa karena diciduk pada larut malam 15 Agustus itu, maka dibuatlah teks proklamasi berdasarkan ingatan alinea ketiga Piagam Jakarta. Sehingga diambillah bagian kalimat terakhir dari alinea ketiga Piagam Jakarta: rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Kata "rakyat Indonesia" diganti dengan "kami bangsa Indonesia" dan kata ganti nya diganti dengan Indonesia. Inilah yang dijadikan bagian pertama dari teks proklamasi. Bung Hatta kemudian mengusulkan tambahan untuk menegaskan status hukum peralihan kekuasaan dan itulah yang menjadi bagian kedua dari teks proklamasi: Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Teks itulah yang dibacakan pada 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi.

Pada 18 Agusutus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dibahaslah Piagam Jakarta yang dipersiapkan untuk menjadi Muqaddimah Undang-Undang Dasar itu. Seperti diketahui pada 17 Agustus 1945 petang hari seorang Kaigun datang menyampaikan kepada Bung Hatta, bahwa bagian timur Indonesia tidak ikut membela RI yang baru diproklamasikan itu jika ke-7 kata dalam alinea ke-4 itu tidak dicoret. Maka dalam sidang PPKI tersebut dicoretlah ke-7 kata: dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, kemudian diganti dengan 3 kata: Yang Maha Esa, maka Piagam Jakarta itu disahkanlah sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan dua perubahan: Muqaddimah diganti dengan Pembukaan dan Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam bagi Pemeluk-pemeluknya diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Personel Kaigun ini perlu pembahasan. Pada waktu pendudukan Jepang di Kawasan Timur Indonesia diduduki oleh Kaigun, yaitu pasukan Angkatan Laut, sedangkan Jawa-Sumatera diduduki oleh Rikugun, yaitu pasukan Angkatan Darat Jepang. Tentera Jepang tidak mempunyai khusus Angkatan Udara, jadi masing-masing angkatan itu mempunyai pasukan udara masing-masing. Bahwa kemerdekaan Indonesia akan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 barulah diketahui oleh kelompok kecil yang ada di Rengas Dengklok pada 16 Agustus 1945 malam hari. Jadi kemerdekaan Indonesia baru diketahui merata di seluruh Indonesia, ialah pada 17 Agustus 1945 itulah. Dan pada 17 Agustus 1945 petang hari itu juga sudah ada Kaigun di Jakarta yang membawa aspirasi dari kawasan Indonesia bagian timur untuk mencoret ke-7 kata itu. Proses mengumpulkan aspirasi pada 17 Agustus 1945 di kawasan yang begitu luas, yang pada waktu itu alat komunikasi dan transportasi tidak secanggih sekarang dan cepatnya anggota Kaigun itu tiba di Jakarta pada 17 Agustus 1945 petang hari. Ini yang perlu dipertanyakan, sebab ada kemungkinan personel Kaigun itu adalah Kaigun gadungan dan aspirasi yang disampaikannya hasil rekayasa politik. Pekerjaan rumah bagi para peneliti sejarah!

Karena bukan Piagam Jakarta yang dibaca secara keseluruhan pada waktu proklamasi kemerdekaan, maka berakibat dua hal: Pertama, Republik Indonesia diproklamasikan tanpa Muqaddimah Undang-Undang Dasar, sehingga terjadi kevakuman konstitusi selama satu hari, karena UUD baru disahkan pada 18 Agusutus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kedua, terbuka kesempatan untuk mencoret Syari'at Islam, sebab jika Piagam Jakarta yang dibacakan sebagai teks proklamasi, maka itu sudah sah sebagai Muqaddimah UUD, merupakan ketetapan yang "eenmalig", teks proklamasi tidak dapat diubah lagi, sehingga PPKI tidak berhak mencoret sepatah katapun, dan yang dibicarakan dalam sidang PPKI hanyalah fasal-fasalnya saja.

Pencoretan Syari'at Islam dibayar dengan harga mahal. Ummat Islam yang "sadar politik" dengan ideologi Islam yang "beraliran keras" mengadakan perlawanan bersenjata. Itulah latar belakang timbulnya Darul Islam dengan angkatan perangnya, Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Perlawanan DI/TII itu berlangsung bertahun-tahun. Di Aceh dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh yang dilanjutkan oleh Tengku Hasan di Tiro, di Jawa Barat dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar dan di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Abdul Qahhar Mudzakkar. Di Aceh perlawanan itu masih berlanjut terus hingga sekarang ini dengan baju baru yaitu Gerakan Aceh Merdeka, yang masih dipimpin dari Swedia oleh Tengku Hasan di Tiro. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 17 Agustus 2003