28 Desember 2003

607. Semangat Liberal yang Kebablasan

Kutipan-kutipan yang masih akan dijawab.

1. Arthur Jeffery (AJ), orientalis campuran Australia-Amerika, menulis al:
Sura I of the Koran was not originally part of the text. [The Muslim World, Volume 29, 1939]

2. Luthfi Asysyaukani (LA), dosen Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Paramadina, Jakarta, dan Editor jaringan yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal, menulis al:
--Alquran kemudian mengalami berbagai proses "copy-editing". Kaum Muslim meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan angan-angan teologis.
--Seperti dikatakan seorang filsuf kontemporer Perancis, teks --dan apalagi teks-teks suci-- selalu bersifat "repressive, violent, and authoritarian." Satu-satunya cara menyelamatkannya adalah dengan membebaskannya. Jika ada pelajaran yang bisa diambil dari sejarah pembentukan Alquran, saya kira, semangat pembebasan terhadap teks itulah yang patut ditiru. [Dari: www.islamlib.com "Merenungkan Sejarah Alquran", tanggal dimuat: 17/11/2003]

3. Taufik Adnan Amal (TAA), dosen mata kuliah ulumul Quran di IAIN Alauddin Makassar, aktivis jaringan yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal, al menulis:
--Bagi rata-rata sarjana Muslim, "keistimewaan" rasm utsmani merupakan misteri ilahi dan karakter kemukjizatan al-Quran. Tetapi, pandangan ini lebih merupakan mitos.
[www.islamlib.com "Al-Quran Antara Fakta dan Fiksi", tanggal dimuat: 25/11/2001]
--Ada hal lainnya, yang luput dari pembacaan anda, yakni penyempurnaan mushaf utsmani. (Surat TAA kepada Ass. Prof. Dr. Ugi Suharto, Dosen di Kulliyyat ISTAC-IIUM, Malaysia, bertanggal 11 Januari 2002).

***

LA, AJ dan TAA membahas dengan orientasi proses, yaitu pendekatan historis. Akan disungkurkan dengan pembahasan berorientasi output, yaitu output teks Al Quran ejaan 'Utsman (Rasm 'Utsmany) dengan pendekatakan matematis. Allah berfirman:
-- ANA NhN NZLNA ALDzKR WANA LH LhFZhWN (AlhJR, 15:9), dibaca: inna- nahnu nazalnadz dzikra wainna- lahu- laha-fizhu-n, artinya: Sesungguhnya telah Kami turunkan Al Dzikr (Al Quran) dan sesungguhnya Kami memeliharanya. Cara Allah memelihara teks Al Quran ialah:
-- 'ALYHA TS'AT 'ASYR (S. ALMDTSR, 30), dibaca: 'alayha- tis'ata 'asyar (al muddatstsir), artinya: Padanya sembilan belas (74:11). Rasm 'Utsmany dikontrol oleh sistem keterkaitan matematis angka 19, disingkat dengan "sistem 19". Tentang Allah SWT menurunkan perangkat kontrol dengan sistem 19 telah berulang kali ditampilkan dalam Serial ini, yang terakhir adalah Seri 600, berjudul: "Jawaban yang Mendahului Bantahan, Suatu Mu'jizat," bertanggal 9 November 2003. Perlu dicatat bahwa agama Bahai juga memungut angka 19 dari Al Quran, namun dijadikannya khurafat dengan mensakralkan angka 19, yaitu dipengaruhi oleh filsafat Yunani aliran Phytagorean yang mensakralkan bilangan.

Marilah kita sungkurkan/patahkan satu demi satu kutipan-kutipan dari ocehan AJ, LA dan TAA.

Kita mulai dengan menyungkurkan JA, yang memfitnah bahwa Surah Al Fatihah bukan bagian dari Al Quran. Jumlah Surah dan juga Basmalah 114 = 6 x 19. Kalau S. Al Fatihah bukan bagian dari Al Quran, maka jumlah Surah, demikian pula Basmalah cuma 113, bukan sistem 19. Dengan alat kontrol sistem 19 tersungkurkanlah JA dan LA yang membeo kepada JA (lihat Seri 606).

Khusus giliran LA. Orang liberal ini memfitnah bahwa Al Quran kemudian mengalami berbagai proses "copy-editing". Kalau mengalami "copy editing", satu kata saja yang diubah hurufnya, seperti kata shalat menurut Rasm 'Utsmany: Shad, Lam, Waw, Ta, diubah menjadi Shad, Lam, Alif, Ta, maka sistem 19 akan mengontrol. Jumlah huruf Alif + Lam + Mim dalam Surah 2, 3, 7, 13, 29, 30, 31, 32, yaitu 12312 + 8493 + 5871 = 26676 = 1404 x 19. Kalau Waw diganti dengan Alif dalam kata shalat, maka akan rusaklah sistem 19 dalam jumlah huruf Alif + Lam + Mim dalam ke-8 Surah yang di atas itu. Alhasil fitnahan LA tentang proses "copy-editing" telah disungkurkan. Kegenitan LA dengan arogansinya mengejek bahwa kaum Muslimin berangan-angan teologis, telah disungkurkan dengan disungkurkannya fitnahan LA tentang proses "copy-editing" tersebut. (Waw diganti alif dapat kita baca dari teks adzan di semua siaran TV di Indonesia).

Terakhir gilirannya TAA. Kegenitan intelektual TAA tidak terangsang oleh salah satu "keanehan" dari Rasm 'Utsmany. Bukankah ambisinya itu adalah penyempurnaan Rasm 'Utsmany, seperti surat TAA kepada Ugi Suharto? Tulisan bismi dalan bismillah, yaitu 3 huruf BSM berbeda dengan bismi dalam bismi rabbik, yaitu 4 huruf BASM. Hai TAA, di mana itu "semangat liberal" dan kegenitan intelektualnya itu? Tulis saja bismi dalam bismillah dengan 4 huruf supaya sama dengan tulisan bismi dalam bismi rabbik, karena bukankah bismi itu dari bi + ismun? Itu tandanya kegenitan TAA hanya terbatas dalam menimba dari sumur orientalis saja. Tidak ada kedua masalah BSM dan BASM dalam "sumur" para orientalis, jadi tidak tertimba oleh TAA. Mari kita lihat! Kalau bismi dalam bismillah dituliskan menurut semestinya bi + ismun, yaitu BASM, maka jumlah huruf dalam bismilla-hirrahma-nirrahiym = 20. Boleh hitung sendiri: BASMALLHALRhMNALRhYM. Tetapi kalau bismi ditulis BSM, dicopot alif, maka jumlah huruf akan menjadi 19. Sebaliknya jika bismi dalam bismi rabbik ditulis dengan BSM, maka S. Al 'Alaq 1-5 [SK Muhammad diangkat Allah menjadi Nabi], jumlah hurufnya sebanyak 75. Kalau ditulis BASM maka jumlah huruf mrnjadi 76 = 4 x 19. Keanehan bismi ditulis BSM dan BASM itulah salah satu "keistimewaan" Rasm 'Utsmani yang diejek oleh TAA sebagai mitos. Data numerik bukanlah mitos. Arogansi TAA itu disungkurkan oleh alat kontrol sistem 19.

"Kemu'jizatan" teks al Quran yang ditulis menurut Rasm 'Utsmany yang diejek oleh TAA sebagai mitos, telah tersungkurkan dengan data numerik Alif+Lam+Mim. Mana bisa manusia bisa bikin data numerik 26676 = 1404 x 19 itu. Itu adalah mu'jizat, hai TAA.

***

Alhasil, provokasi LA, sebagai editor jaringan yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal, bahwa "semangat pembebasan terhadap teks itu patut ditiru," dengan bertumpu diatas filosof kontemporer Perancis (kok LA tidak menyebutkan nama filosof agnostik itu?), maka tahulah kita "semangat" liberal kelompok yang menamakan dirinya Islam Liberal, adalah semangat liberal yang kebablasan, yang bertumpu di atas paradigma benak dari seorang FILOSOF AGNOSTIK. Suatu kegenitan intelektual yang bukan hanya menolak pendekatan tekstual melainkan bertujuan lebih dalam dari itu, yakni membebaskan diri dari kungkungan teks Al Quran. Maka sungguh tidak patut jaringan ini menyandang predikat Jaringan Islam Liberal (JIL), melainkan Jaringan Aliran Kepercayaaan Liberal (JAKL). WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 28 Desember 2003