6 Juni 2004

628. Menolak Jadi Morisko

Suatu sore, ditahun 1525. Penjara terasa hening mencekam, penuh berisi orang-orang yang menolak menjadi Morisko (lihat Seri 627, orang Islam yang beralih agama ke Katholik Roma disebut kelompok Morisko, sedangkan yang dari agama Yahudi disebut kelompok Marrano). Jendral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan. Setiap pegawai penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu lars milik tuan Roberto itu niscaya akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci.
-- Hai, hentikan suara jelekmu! Hentikan! Teriak Roberto sekeras-kerasnya sembari membelalakan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang. Dengan congkaknya ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut wajah badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.

Sungguh ajaib, tak terdengar secuilpun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan hanya mengeluarkan kata:
-- Rabbiy, wa ana 'abduka. Laa hawla walaa quwwata illaa biLla-h. Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata,
-- Bersabarlah wahai ustadz, insya-Allah tempatmu filjannah.

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, algojo penjara itu bertambah memuncak amarahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai.
-- Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Kau telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang seharusnya tak pernah terdengar lagi di sini. Ketahuilah orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan Gereja Katolik Roma. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mau minta maaf dan menjadi Morisko.

Mendengar 'khutbah' itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan tajam dan dingin. Ia lalu berucap:
-- Sungguh, aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh. Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah. Ketika itu dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.
-- Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!, bentak Roberto.
-- Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!' ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya sepatu lars Roberto yang berbobot dua kilogram itu menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.

-- Ah. sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tetapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini, suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan 'aneh' dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol.

Akhirnya Roberto duduk disamping sang ustadz yang telah melepas nafas-nafas terakhirnya. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi [lapangan tempat pembantaian kaum Muslimin dan Yahudi di Andalusia].

Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh perempuam berhijab digantung pada tiang-tiang kayu-sula yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian Muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dan Yahudi dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang kayu-sula, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib, tidak mau jadi Morisko dan Morrano. Siapakah dia, Jendral Adolf Roberto? Diminta kesabaran pembaca, imsya-Allah sampai hari Ahad yang akan datang. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 6 Juni 2004