22 Mei 2005

677. Kriminalisasi Keyakinan Shalat Dua Bahasa

Pada pertengahan bulan Mei 2005, sejumlah individu dan lembaga yang rupanya telah terkontaminasi "angin liberal" telah mengeluarkan Pernyataan Bersama Menolak Kriminalisasi Keyakinan Shalat Dua Bahasa yang menghebohkan itu. Sebelum diteruskan pembahasan ini, ada baiknya pembaca disegarkan ingatannya kembali bahwa pada akhir pekan bulan Agustus 2004, telah dikumandangkan pernyataan yang intinya menentang langkah sejumlah pihak, antara lain Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Majelis Ulama Indonesia, Lembaga Sensor Film dan KH Abdullah Gymnastiar (KHAG), karena lembaga-lembaga itu dan KHAG atas nama "moral bangsa" menyatakan supaya film Virgin ditarik dari peredaran. Yang bertanda tangan menentang film yang merusak moral bangsa itu adalah lembaga dan individu yang juga telah terkontaminasi "angin liberal", yakni pernyataan menemtang itu digodok di Jalan Utan Kayu Jakarta, markasnya yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal.

Kembali kepada Pernyataan Bersama Menolak Kriminalisasi Keyakinan Shalat Dua Bahasa yang menghebohkan itu, maka pengasuh kolom ini tidaklah tinggal diam, melainkan menyatakan sikap seperti dinyatakan oleh Bidal Melayu lama: "Gayung bersambut, kata berjawab." Yang akan disambut telah cukup rasanya hanyalah kosideransnya saja, yang intinya seperti berikut:

Kalau Roy Yusman dianggap sebagai orang yang "tidak tahu" tentang Islam, seharusnya para ulama mengedepankan cara-cara yang baik, bi al-hikmah wa al-mau'izhah al-hasanah, untuk menyampaikan kebenaran, bukan dengan melakukan persekusi, "fatwa sesat" apalagi diseret ke pengadilan dengan tuduhan penodaan agama.

Kita sedang menyaksikan betapa negara telah ditarik terlalu jauh untuk mengeksekusi praktik keagamaan seseorang. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan karena akan membawa dampak kurang baik atas kehidupan beragama di Indonesia. Lebih daripada itu, tata cara shalat a la Yusman Roy ini dipandang sebagai tindakan kriminal, sehingga pihak kepolisian segera memposisikan Yusman Roy sebagai tersangka.

Jika dilihat lebih jauh, kasus ini sesungguhnya hanya merupakan perbedaan fiqhiyah biasa, dan salah satu ciri dari fikih itu sendiri adalah perbedaan pendapat.

***

Syahadan, sekali lagi, gayung bersambut, kata berjawab. Maka inilah sambutan dan jawaban itu.
Kalau Roy hanya secara individual melakukan shalat sesuai pendapat pribadinya karena "tidak tahu", maka bolehlah diaplikasikan metode yang sesuai dengan Al Quran, yaitu disadarkan dari ketidak-tahuannya itu dengan merode:
-- AD'A ALY SBYL RBK BALhKMt WALMW'AZHt ALhSNt WJADLHM BALTY HY AhSN (S. ALNhL, 16:125), dibaca: ud'u ila- sabi-li rabbika bil hikmati wal mau'izhatil hasanati wa ja-diluhum billati- hiya ahsan, artinya: Ajaklah kepada Jalan Maha Pengaturmu dengan kebijaksanaan, informasi yang baik, dan komunkasi dua arah yang terbaik.

Namun kasus Roy ini lain, karena aktivitasnya itu sudah berwujud kelembagaan, dan dikampanyekan secara demonstratif, sehingga harus dihadapi pula secara kelembagaan. Yaitu sebagaimana Nabi Muhannad SAW sebagai Kepala Pemerintahan Negara, memperlakukan secara kelembagaan Negara terhadap kelompok yang berkelompok dalam lembaga masjid Dirar.

Seperti baru dijelaskan di atas, aktivitas Roy itu berwujud kelembagaan yang harus dihadapi pula secara kelembagaan, maka lembaga yang paling tepat secara hukum adalah negara yang menurut alinea keempat Pembukaan UUD-1945, negara mempunyai kewajiban melindungi rakyatnya, yang dalam hal kasus Roy ini ibarat virus kesesatan yang ditebarkan secara demonstratif kepada ummat Islam "main stream", yang dilanggar hak asasinya, yaitu kenurnian ibadah mahdhah. Jadi tepatlah apa yang telah diperbuat oleh Bupati Malang yang menutup lembaga "pesantren" Roy dan juga sudah tepat tindakan Polisi menjadikan Roy tersangka dalam konteks melindungi rakyat Indonesia sesuai dengan yang diamanahkan oleh alinea ke-4 Pembukaan UUD-1945.

Apa yang dinyatakan oleh MUI belum sampai menyangkut fiqh, karena fiqh itu adalah hasil istinbath atas Nash, sedangkan statement MUI tentang kasus Roy ini, sama sekali bukanlah hasil istinbath, melainkan langsung dari Hadits: shalatlah sebagaimana kamu melihat saya shalat (HR Bukhari). Salman Al-Farisy berasal dari Persia, namun belum pernah Rasulullah SAW memberikan keringanan kepadanya untuk shalat dengan menggunakan bahasa Persia. Juga Syuhaib Ar-Rumi yang berasal dari Romawi, namun Rasulullah SAW tidak pernah membolehkannya shalat dengan bahasa Romawi. Juga Bilal bin Rabah al-Habsyi yang berasal dari Habasyah, Afrika, namun Rasulullah SAW tidak pernah membolehkannya shalat dengan bahasa Habasyah.

Yang terakhir, inginlah pula kita mendengarkan bagaimana pendapat kelompok Utan Kayu, utamanya Siti Musdah Mulia dalam hal perkara kontes-kontes pameran aurat itu, yang katanya Indonesia akan mengirimkan pula wakilnya, ditinjau dari segi "angin libral"! WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 22 Mei 2005