12 Maret 2006

718. Bali Mau Merdeka?

Masyarakat Bali mengancam akan keluar dari Negara Kesatuan Republik Indoensia (NKRI) bila Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) diberlakukan. Ancaman disampaikan oleh Ketua DPD KNPI Bali I Putu Gede Indriawan Karna dan sejumlah tokoh masyarakat lainnya dalam dialog mengenai RUU APP di Kantor Gubernur Bali, Jalan Basuki Rahmat, Denpasar, Bali, pada hari Jumat (3/3/2006).

Dialog tersebut dihadiri 200-an tokoh masyarakat Bali. Antara lain dari Pemprov Bali, DPRD, agamawan, intelektual, LSM, mahasiswa, kalangan parisawata, seniman, dan budayawan. Juga hadir mendengarkan berbagai pendapat masyarakat Bali, 8 anggota Pansus RUU APP DPR yang dipimpin Yoyoh Yusroh. "Kalau RUU ini diberlakukan, kami tidak segan-segan keluar dari NKRI," kata Indriawan disambut gemuruh teriakan merdeka dari peserta dialog. Pada acara penenutupan, Wakil Gubernur Bali IGN Alit Kelakan meminta agar Pansus RUU APP ditinjau ulang. "Jangan sampai Pansus RUU memfasilitasi kami untuk terlibat konflik dengan daerah lain," tandasnya.

***

Seorang yang menamakan diri "ni londo" di cyber space berkomentar seperti berikut:
-- "pengecualian itu merupakan penghinaan terhadap budaya Bali dan juga Papua... soalnya RUU itu akan berbunyi: semua yang berbau porno dilarang, kecuali di Bali dan Papua, disana boleh terus ber'porno', karena memang budayanya udah begitu... lho... berarti budaya Bali dan Papua dianggap porno kan? Tapi boleh terus 'berporno-ria' karena memang udah dari dulunya begitu... sudah jadi tradisi... berarti Pulau Dewata secara implisit akan distigmatisasi sebagai Pulau Porno."

Salah seorang cucu saya yang masih dibangku Aliyah angkat bicara:
-- "Bali mengancam merdeka kalau RUU PP disahkan? Silakan kalau berani bikin GBM ! GAM saja sudah surut langkah masuk RI kembali. Sedangkan A tidak berhasil, apa lagi B. Sekali lagi ana serukan, silakan bikin GBM untuk mempertahankan budaya porno (minjam istilah ni londo). Apa tidak malu dibilangin GBM berjuang untuk merdeka karena mempertahankan budaya porno?"

Ada bidal Melayu Lama memberi nasihat seperti berikut: Pikir itu Pelita Hati; pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Memang kalau dipikir-pikir, penentangan sejumlah kecil (200-an) rakyat di Bali itu, pada hakekatnya bukan berlandaskan kebudayaan, karena betullah apa yang dikatakan ni londo dan cucu saya itu, sungguh tidak enak jika dikatakan budaya Bali itu budaya porno, dan tentu ke-200 orang itu tidaklah mencerminkan rakyat di Bali. Yang 200 orang itu menampilkan budaya ke depan hanyalah sebagai kulit, namun sesungguhnya isinya adalah perkara ekomomi. Mengapa?

Dalam Rgveda VII.21.5 dinyatakan: ma sisnadeva api gur rtam nah. Artinya: Semoga nafsu seks tidak merugikan (membahayakan) kekuatan diri kami. Rgveda VIII. 33.19 mengajarkan kepada kaum perempuan agar merapatkan kakinya waktu duduk. Ini dimaksudkan kalau perempuan itu duduk dengan membukakan kedua kakinya dapat menjadi objek porno bagi yang berpikiran porno. Kalau merapatkan kakinya hal itu akan dapat menutup kesempatan bagi laki-laki yang pikirannya porno. Manawa Dharmasastra IV.45 mengajarkan hendaknya tidak mandi telanjang di tempat terbuka.

Oleh sebab itu perkara ekonmilah yang menjadi motif utama yang mendorong protes yang emosional tersebut. Tegasnya perkara ekonomi itu berupa kekuatiran bahwa orang-orang asing pelaku pornoaksi berjemur bugil akan segan ke Bali lagi, sehingga pendapatan daerah menurun. Tanpa isi kocek orang-orang asing penyandang pornoaksi itu, maka tercapailah keadilan di seluruh daerah di Indonesia mempromosikan keindahan alam dalam mendatangkan wisatawan yang tidak berbudaya porno. Itulah dia Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang bernaung di bawah payung Ketuhanan Yang Maha Esa (Tawhid). Jadi bukan konflik dengan daerah lain sebagaimana dinyatakan secara emosional oleh Wakil Gubernur Bali IGN Alit Kelakan, melainkan berkompetisi secara sehat dan adil dengan daerah-daerah lain di seluruh Indonesia.

Di samping Bidal Melayu lama seperti dikemukakan di atas itu, tentu pada umumnya yang berakal sehat akan lebih menampilkan theorem yang tak asing lagi: Menolak sesuatu yang merugikan harus lebih diprioritaskan ketimbang mengambil manfaat daripadanya. Yang dalam kasus kedatangan orang-orang asing penyandang pornoaksi itu berdampak lebih merugikan secara spiritual ketimbang mendapatkan keuntungan material dari kocek orang-orang asing penyandang pornoaksi itu.

Lagi pula sebagai sebuah produk budaya, RUU ini tak mungkin bisa terlepas dari pengaruh superstruktur agama para produsennya. Yang dimaksud dengan superstruktur adaklah nilai, cita-cita, dan simbol-simbol ekspresif. Disadari atau tidak setiap produsen budaya apakah dia radikal atau tidak akan berusaha memasukkan superstruktur agama ke dalam dasar-struktur kehidupan sosial berupa: hukum, politik, struktur kelas, lembaga-lembaga, ekonomi, demografi, dan teknologi.

Tambahan pula Lembaga Legislatif sebagai produsen budaya adalah keniscayaan baginya tak bisa berlepas diri dari dasar-struktur saat merancang sebuah UU. Karena itu bisa difahami mengapa realitas sosial dijadikan dasar pertimbangan oleh penggagas RUU tersebut. Realitas sosial termaksud ialah terjadinya sekarang ini peningkatan pembuatan, penyebar-luasan, dan penggunaan produk-produk porno, sedangkan belum tersedia UU yang mampu memberikan sanksi yang dapat membuat jera pembuat serta penyebar pornografi dan pelaku pornoaksi itu. Jadi, setidaknya ada dua unsur dasar-struktur yakni hukum (sanksi yang bikin jera) dan teknologi (pembuatan dan distribusi) yang mendorong kelahiran RUU APP ini.

Akhrulkalam, seperti dikemukakan di atas, bahwa RUU ini sebagai sebuah produk budaya tak mungkin bisa terlepas dari pengaruh superstruktur agama, dan Lembaga Legislatif sebagai produsen budaya tak bisa berlepas diri dari dasar-struktur saat merancang sebuah UU, maka kepada para anggota Lembaga Legislatif apapun agama dan partai politiknya, agar secepatnya mensahkan RUU ini dengan sikap: Anjing menggonggong kafilah lalu. Terkhusus kepada yang beragama Islam, ingatlah tanggung-jawab antum, bukan hanya bertanggung-jawab kepada negara dan rakyat Indonesia di dunia, akan tetapi juga, dan ini lebih penting, bertanggung-jawab kepada Allah SWT, di Yawm al-Diyn (Hari Pengadilan) kelak. Firman Allah:
-- TSM J'ALNK 'ALY SYRY'AT MN ALAMR FATB'AHA WLA TTB'A AHWAa ALDZYN LA Y'ALMWN (S. ALJATSYT, 18), dibaca:
-- tsumma ja'alna-ka 'ala- syari-'atim minal amri fattabi'ha- wala- tattabi' ahwa-al ladzi-na la- ya'lamu-n (s. alja-tsiyah), artinya:
-- Kemudian Kami jadikan engkau (hai Muhammad) atas syari'at di antara urusan, maka ikutilah syari'at itu dan janganlah engkau turut hawa-nafsu orang-orang yang tidak berilmu. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 12 Maret 2006