19 Maret 2006

719. Dari Sana-Sini Kelompok "Mayoritas Diam" Angkat Bicara

Pada kali ini, dalam kolom ini tidak dilakukan bahasan, melainkan mengumpulkan dari sana sini suara-suara "jubir" mayoritas diam (silent majority) yang mendukung RUU APP. Namun sebelumnya akan dikemukakan dahulu ancaman oleh mayoritas gegap-gempita (loud majority} dari Sulawesi Selatan: "Kalau sekiranya UU APP keluar dan ternyata banci, maka kami di DPRD Sulsel akan membuat Perda yang berlaku khusus di Sulsel," demikian ancaman anggota DPRD Bukhari Abd Qahhar Mudzakkar (saudara kembar Abd Aziz Qahar Mudazakkar anggota DPD dan Ketua Lajnah Tanfidziyah KPPSI).

Berlawanan dengan apa yang diberitakan selama ini, generasi muda Bali rupanya tidak sedikit yang menyetujui RUU tersebut. Berangkat dari kekhawatiran dan tanggung jawab akan nasib bangsa ke depan, Ketut Agung Ayu Aridewi menyatakan sepakat dengan aturan yang tengah digodok itu. "Jika dibiarkan leluasa begitu, dampak pornografi akan sangat buruk," kata Ari di Denpasar. Pendapat Ari didukung Ratna Citaresmi, rekannya sesama mahasiswa lain kampus. Ratna yakin, dengan adanya regulasi yang tegas akan pornografi, dampak dan keberadaan monster perongrong akhlak itu bisa diminimalkan.

Mereka yang 200-san yang datang ke tempat pertemuan dengar pendapat dengan pansus RUU APP DPR yang dipimpin Yoyoh Yusroh itu justru orang-orang dari luar Bali. Bagaimana mungkin Bali mau menyatakan merdeka hanya gara-gara RUU tersebut. Apalagi RUU itu memang tidak dominan berdasarkan kepentingan suatu agama, sebagaimana yang digembar-gemborkan selama ini. Jero Wijaya, mantan anggota DPRD Kabupaten Bangli menganggap penolakan sejumlah elemen masyarakat Bali terhadap RUU itu tidak lebih dari ikut-ikutan. Dari apa yang dilihatnya di lapangan, menurut Wijaya tidak semua dari mereka memahami isi dan makna RUU tersebut.

Mantan anggota DPRD Kabupaten Bangli itu dengan tegas menyatakan: ""mendukung secara total pemberlakuan RUU APP."" Dukungan Wijaya bukan tanpa alasan. Ia mengajak masyarakat Bali tidak menutup mata terhadap begitu banyaknya perilaku masyarakat yang menyimpang dan dipertontonkan di depan umum. Misalnya, kata Jero Wijaya, makin lazimnya orang berciuman terbuka di ruang tunggu keberangkatan Bandara Ngurah Rai, mengenakan bikini ke pusat perbelanjaan. ""Itu jelas bukan budaya Bali,"" kata dia. Bila hal seperti itu dibiarkan terus berkembang, mau tidak mau budaya Bali akan diselewengkan. Berkaitan dengan pariwisata yang selalu dijadikan alasan pihak yang kontra, Jero Wijaya justru mengajak mereka cerdas bertanya, mau ke mana pariwisata Bali akan dibawa. "Tidak seharusnya Bali menjual seks sebagai pariwisata. Pertahankan pariwisata budaya serta pariwisata spiritual," kata Wijaya. Wijaya juga menyayangkan pernyataan Wagub Bali, Alit Kelakan, yang menyatakan bahwa masyarakat Bali secara bulat menolak RUU itu saat dengar pendapat dengan pansus yang datang ke sana. ""Itu tidak bijaksana,"" kata Wijaya.

"Bung wartawan, Anda tahu jumlah penduduk Indonesia, kan? Dua ratus juta lebih. Mereka itu juga harus didengar, bukan hanya sebagian artis dan sekelompok aktivis LSM itu saja," kata ibu muda yang bernama Zulfiani. Bersama sekelompok ibu-ibu muda lainnya, selepas shalat Zuhur, Zulfiani memang tengah berdiskusi kecil ttg perkara yang hangat saat ini: RUU APP. Obrolan antar para ibu pengajian di Masjid Al-Jihad Padang Panjang, Sumatra Barat, itu akhirnya mengerucut pada demonstrasi para artis dan perempuan aktivis LSM yang menentang diundangkannya RUU APP. "Kami juga punya hak yang sama dengan para artis dan aktivis LSM itu. Suara kami tegas, mendukung RUU APP segera diundangkan," kata Hj Nurainas Abizar, Ketua Bundo Kanduang, organisasi payung berbagai perkumpulan perempuan di Ranah Minang. Nurainas menyatakan, dia mendapat kesan kuat bahwa kehidupan para perempuan, bahkan masa depan generasi muda, hendak ditentukan para artis dan aktivis LSM tersebut. "Bila dunia mereka menyibak penutup tubuh atas nama seni, mereka harus tahu bahwa dunia orang lain tidak seperti itu," kata perempuan yang akrab dipanggil Bundo itu, tegas. Sebagaimana Zulfiani, Nurainas mengingatkan, tidak elok jika sekelompok kecil kalangan itu merasa memiliki hak untuk mengatur sebagian besar yang lain.

Sandi Kurniawan, seorang karyawan swasta dari Bandung, melihat bahwa saat ini media cetak dan elektronika terlalu gamblang memublikasikan gambar ataupun tayangan porno. "Dampaknya besar. Kini pakaian minimalis itu merebak dan menjadi acuan para perempuan hingga ke desa. Jika tidak diatur melalui UU, saya yakin kondisinya akan makin bablas," kata Sandi. Ia melihat, hal itu gampang menular karena saat ini televisi telah menjadi kebutuhan setiap rumah tangga.

Dari Jawa Timur, Ny Suprihatin mendapati kedua anaknya yang masih duduk di bangku SMP, ternyata diam-diam menyimpan cakram padat (VCD) porno di tas sekolah mereka. "Bayangkan, bukan saling pinjam buku pelajaran, tapi justru VCD porno," kata warga Kelurahan Kutoanyar, Tulungagung, yang juga seorang guru SD itu. Suprihatin mengaku tak habis pikir, "yang menentang itu kok ada yang dari kelompok perempuan. Bukankah RUU itu justru hendak menyelamatkan keluarga kita?"

Fitri, seorang ibu rumah tangga, karyawan Biro Humas Pemprov Lampung, menyatakan RUU APP perlu segera diundangkan. Alasannya, kata ibu dua anak itu: "Orang tua hanya mampu mengawasi saat di rumah, selebihnya tidak. Bila ada aturan baku soal itu, peredaran media porno yang sangat mempengaruhi moral generasi muda bisa ditekan," ujar Fitri.

Itulah suara-suara jubir mayoritas diam yang menonjok hidung minoritas bising (noisy minority) yang anti RUU APP. Minoritas bising inilah yang ditonjok oleh ayat:
-- WADzA QYL LHM LA TFSDWA FY ALARDh QALW ANMA NhN MShLhWN (S. ALBQRt, 2:11), dibaca: waidza- qi-la lahum la- tufsidu- fil ardhi qa-lu- innama- nahnu mushlihu-n, artinya:
-- Apabila dikatakan kepada mereka, janganlah kamu berbuat bencana di muka bumi, maka jawab mereka, sesungguhnya kami hanya berbuat kebaikan. WaLlahu a'lamu bissahawab.

*** Makassar, 19 Maret 2006