20 Mei 2007

779. Dikhotomi Politik vs Hukum

Penahanan rekan saya Prof Ahmad Ali menjadi ramai dibicarakan oleh politisi dan juris. Saya katakana rekan, karena Ahmad Ali memang rekan saya dalam dua hal: Sama-sama menjadi kolumnis Harian Fajar, dan sama-sama di KPPSI. Ahmad Ali di Dewan Pakar dan saya di Dewan Syura. Orang bodohpun tahu bahwa penahanan Ahmad Ali sangat kental politis. Adalah kenyataan bahwa sekarang ini yang mendominasi adalah politik atas hokum. Mengapa sampai demikian ? Itu karena adanya dikhotomi antara politik vs hokum, sebagai anak dari sekularisme yang dikhotomis itu, yang memisahkan antara agama dengan negara. Sekularisme difahamkan seperti berikut: Secularism (Lt, saeculum = world): a system of political philosophy that reject all forms of religious faith.

Pada tahun 1618 meletus perang sipil di seluruh daratan Eropa antara pendukung dan penentang supremasi gereja. Perang itu berlangsung selama 30 tahun dan menghabiskan sepertiga penduduk Eropa serta meruntuhkan sebagian besar kerajaan di Eropa. Perang terlama terjadi antara Perancis dan Spanyol sampai tahun 1659. Akibatnya, para pemikir terpecah menjadi dua kelompok:
-- 1. yang mempelajari filsafat Yunani, disebut Naturalis, dan meyakini bahwa akal manusia mampu menyelesaikan semua persoalan;
-- 2. yang berpihak pada gereja, disebut Realisme, dan meyakini ajaran gereja sebagai kebenaran.

Perang sipil itu akhirnya dimenangkan oleh kelompok naturalis yang mendasarkan pemikirannya pada penyingkiran peran agama dari kehidupan negara, yang kita sangat kenal yaitu sekularisme. Dalam sekularisme politik dan segala urusan duniawi telah menjadi sangat bebas nilai (liberalisme). Tidak ada satupun yang membatasi. Tidak nilai agama. Tidak pula nilai moral. Gambaran betapa liarnya dunia politik sekuler adalah buku karya Niccolo Machiavelli yang berjudul The Discourses on the First Ten Books of Livy dan The Prince. Salah satu pilar pemikiran politiknya adalah: Politik adalah sesuatu yang sekuler. Politik adalah pertarungan antar manusia untuk mencari kekuasaan. Dalam politik tidak ada nilai kebenaran, yang ada adalah brutal, bohong, dan egoisme yang harus mengikuti qaidah universal, yaitu: Tidak ada teman yang lestari, yang ada hanya kepentingan yang lestari. Penguasa yang sukses harus belajar dari sejarah, harus mengamati para pesaingnya, dan mampu memanfaatkan kelemahan mereka.

Kemenangan kelompok naturalis atas realisme itulah yang menjadi salah satu paradigma Kebudayaan Barat yang menganggap bahwa sekularisme itu adalah hasil proses yang sudah final. Sekularisme yang mendikhotomikan antara negara dengan agama, itu memperanakkan dikhotomi pula antara politik vs hukum dan itu juga merupakan hal yang sudah final. Lihatlah itu Bush, personifikasi sekularisme dan “demokrasi” Barat. Melakukan state terrorism atas Afghanisten dan Iraq, menghancurkan kedua negeri itu dalam wujud mengobrak abrik sistem Negara dan membantai penduduknya. Politik luar negeri Bush mengalahkan Hukum Internasional.

Sadar atau tidak sadar sebagian besar di Indonesia ini mengadopsi pola pemahaman bahwa sekularisme itu sudah final, bahwa dikhotomi antara politik vs hukum sudah final pula. Maka janganlah diharapkan di Indonesia ini politik itu bisa “berdamai” dengan hukum, selama pemahaman politik menurut Machiavelli itu masih dianut pula di Indonesia ini.

***

Islam jelas berbeda dengan sekularisme. Sistem Islam tidak lahir dari akal-akalan manusia, tetapi merupakan wahyu Allah SWT. Bukanlah sekularisme itu yang merupakan proses yang final, melainkan Syari’at Islam itulah yang final, Tetapi dalam bahasa Barat yang sekuler menyebut Islam sebagai Mohammedanism untuk menimbulkan kesan Islam sebagai agama buatan Muhammad. Firman Allah:
-- ALYWM AKMLT LKM DYNKM WATMMT 'ALYKM N'AMTY WRDHYT LKM ALASLAM DYNA (S. ALMAaDt, 5:3), dibaca:
-- alyauma akmaltu lakum di-nakum wa atmamtu 'alaikum ni'mati- wa radhi-tu lakumul Isla-ma di-nan (s. alma-idah), artinya:
-- Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu AGAMA kamun, dan telah Kucukupkan atas kamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai ISLAM menjadi AGAMA bagi kamu.

(AGAMA dengan huruf kapital dimaksudkan mencakup hubungan pribadi dengan Allah dan hubungan antara individu dengan individu, hubungan antara individu dengan masyarakat timbal balik dan hubungan antara manusia dengan lingkungan alam. Sedangkan agama dengan huruf kecil itu hanya menyangkut hubungan antara individu dengan Tuhan yang dalam bahasa barat disebut: religion, religie, godsdienst).

Oleh sebab itu ungkapan politik yang berkonotasi jelek itu perlu diganti dengan istilah menurut Syari'at Islam, yaitu siyasah, yang akarnya dari: Sin-Alif-Sin, SAS (dibaca: sa-sa), yang artinya: urusan kekuasaan dan hukum mencakup pemeliharaan (ri'ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah (irsyad), dan pendidikan (ta'dib). Dengan demikian hilanglah itu dikhotomi antara politik vs hukum. Dengan mengapresiasi istilah siyasah, maka politik dan hukum merupakan satu sistem. Dan juga hilanglah alasan kaum sekuler yang mengatakan politik dengan agama harus dipisahkan, karena politik itu kotor sedangkan agama itu suci.

Rasulullah SAW mempergunakan kata siyasah dalam sabdanya :"Adalah Bani Israil, siyasah mereka diurusi oleh para nabi (tasusu humul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam Hadits tsb kata tasusu ditasrifkan dari Sin-Alif-Sin, SAS. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 20 Mei 2007