19 April 2009

870. Lebih Demokratis dan Kurang Demokratis Keduanya Membawa Korban

Mengapa baru Pemilu tahun 2009 ini banyak Caleg yang depresi dari yang lucu/ringan hingga tidak lucu/berat seperti meminta kembali sarung bantuannya, meminta tim sukses mengembalikan biaya selama kampanye, menyegel sebuah sekolah , mengusir penduduk yang menempati tanahnya, meninggal beberapa jam setelah mengikuti penghitungan suara, sedang hamil gantung diri? Jawabannya baiklah dimulai dengan ilustrasi seperti berikut:

Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pengujian pasal 214 UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, yaitu membatalkan penetapan anggota DPR dan DPRD melalui nomor urut menjadi suara terbanyak, demi pertimbangan agar lebih demokratis. Putusan Mahkamah Konstitusi ttg Suara Terbanyak yang lebih demokratis ini membawa implikasi, yaitu senua Caleg dalam sebuah Parpol mempunyai kesempatan yang sama untuk lolos, sehingga terjadi persaingan yang keras di antara Caleg di dalam Parpol bersangkutan, semuanya mati-matian mengeluarkan dana untuk memperkenalkan diri, unjuk gigi, istilah populernya "sosialisasi" dengan membentuk tim sosialisasi. Padahal sebelumnya penetapan anggota DPR dan DPRD melalui nomor urut hanya nomor atas saja yang mengeluarkan dana, aktif bersosialisasi. Menjamurnya yang aktif bersoialisasi berebut kesempatan untuk lolos, padahal kursi yang diperebutkan sangat sedikit ketimbang jumlah yang bersosialisai, maka sudah jelas menjamur pula yang tidak lolos. Inilah yang dimaksud dengan Lebih Demokratis Membawa Korban seperti Judul di atas.

***
Secara teoritis, dalam sistem presidensial yang dianut di Indonesia lebih cocok dengan sistim partai yang sederhana. Sedangkan sistem multipartai yang digunakan saat ini, hanya cocok bila diterapkan dalam sistem parlementer.

Sebermula penyerderhanaan Parpol menggunakan Electoral Threshold (ET). ET adalah ambang batas perolehan kursi suatu parpol agar dapat mengikuti Pemilu berkutnya. Dalam pasal 9 ayat (1) UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilu mengatur üntuk dapat mengikuti pemilu berikutnya parpol peserta pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya tiga persen jumlah kursi di DPR, empat persen jumlah kursi di DPRD Provinsi yang tersebar di setengah provinsi di Indonesia, dan empat persen jumlah kursi di Kabupaten yang tersebar di setengah Kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Jadi focus ET mengurangi jumlah parpol di Pemilu. Kemudian prinsip mengurangi jumlah parpol di Pemilu ini diganti dengan prinsip mengurangi jumlah Parpol di parlemen yang dikenal dengan ambang batas parpol di parlemen, atau istilah krennya Parliamentary threshold (PT) sekecil (bukan sebesar) 2,5%.

Sebelas anggota Parpol yaitu Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Patriot, Partai Persatuan Daerah, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Nasional Banteng Kerakyatan, Partai Perjuangan Indonesia Baru, Partai Karya Pangan, Hanura, Partai Kasih Demokrasi Indonesia dan Partai Merdeka dan beberapa Caleg serta anggota parpol peserta pemilu 2009 mengajukan permohonan agar Mahkamah Konstitusi menguji eksistensi sistem PT sekecil 2,5% tersebut karena kurang demokratis, dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Namun Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut. Majelis menilai pasal 202 ayat 1, pasal 203, pasal 205, pasal 206, pasal 207, pasal 208 dan pasal 209 UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD tidak bertentangan dengan pasal 1 ayat 2 dan 3, pasal 27 ayat 1, pasal 28D ayat 1 dan 3, dan pasal 28I ayat 2 UUD 1945.

Dengan demikian semua suara pemilih yang diperoleh semua Parpol yang hanya memperoleh suara di bawah 2,5% menjadi mubadzdzir tidak berguna untuk Senayan. Seorang Caleg dari sebuah Parpol yang tidak memenuhi 2,5% PT yang sebenarnya mendapat suara cukup untuk mendapat kursi di Senayan, tidak bisa masuk Senayan. Inilah yang dimaksud dengan Kurang Demokratis Membawa Korban seperti Judul di atas, yaitu di samping korban Caleg sehingga depresi dan korban suara rakyat yang memilih yang dikorbankan menjadi Golput. Sebenarnya tidak mubadzdzir, jika diterapkan sistem minoritas yaitu suatu sistem dimana jika seseoarang mendapat suara terbanyak di suatu daerah, maka secara otomatis ia berhak menjadi anggota DPR meskipun partainya tidak mencapai ambang batas yang ditetapkan (PT).

Hanya Nash (Al-Quran dan Hadits Shahih) yang tidak bisa diubah, sedangkan peraturan/hukum buatan manusia wajib diubah kalau itu membawa bencana, korban depresi dan suara rakyat pemilih yang mubadzdzir. Mudah-mudahan suara kolom ini dapat sampai kepada sahabat saya Prof. Laica Marzuki anggota Mahkamah Konstiusi untuk merembukkannya di Mahkamah Konstitusi agar diterapkan untuk Pemilu 2014 yad sistem minoritas biar partainya di bawah PT bisa duduk di Senayan, tokh ini tidak mengganggu pembatasan jumlah Parpol di Senayan, dengan demikian tidaklah suara pemilih itu hilang pecuma menjadi mubadzdzir.

Firman Allah:
-- WLA TBDzR TBDzYRA . AN ALMBDZRYN KANWA AKHWAN ALSYYTHYN (S. BNY ASRAaYL, 17:26,27), dibaca:
-- wala- tubadzdzir tabdzi-ran . innal mubadzdziri-na ka-nu- ikhwa-nasy syaya-thi-n, artinya:
-- janganlah kamu menghambur-hamburkan secara boros. Sesungguhnya mereka yang menghambur-hamburkan secara boros itu adalah saudara-saudara setan-setan.
WaLlahu a'lamu bisshawab

***
Makassar, 19 April 2009