9 Juli 2000

431. Bergaya dan Bervisi pada Posisi Masing-Masing

Pada hari Kamis yang lalu saya menerima telepon menyangkut Seri 430 ybl. Yang bertelepon (saya sebut saja si Fulan sebab ia tidak menyebutkan namanya) itu mengatakan bahwa ia lebih setuju dengan pendapat Mathori Abd Jalil yang diwawancarai Tampubolon dil TPI baru-baru ini tentang gaya kepemimpinan Gus Dur ketimbang tulisan dalam Seri 430 yang menyarankan supaya Gus Dur mengubah gaya kepemimpinannya.. Saya sendiri tidak mengikuti wawancara tersebut, namun saya percaya betul bahwa si Fulan tidak berbohong tentang pendapat Mathori yang memuji gaya kepemimpinan Gus Dur melempar isu untuk memancing reaksi orang-orang yang merasa dirinya kena tuding, melempar isu dengan kata-kata bersayap untuk dapat dibantah kemudian. Si Fulan juga bertanya apakah ada ayat yang mengharuskan orang mengubah gayanya jika posisinya sudah lain. Saya hanya menjawab pendek bahwa gaya lempar isu boleh jadi efektif untuk memancing yang dituding, namun pendapat Mathori yang memuji gaya itu adalah seperti pandangan kuda bendi, tidak melihat ke kanan-kiri. Sebab gaya Gus Dur itu sangat kontra-produktif, lihat saja kurs rupiah yang menukik ke bawah menembus ambang batas psikologis Rp.9000 per $ pada hari Rabu 5 Juli 2000.. Kemudian pertanyaannya tentang ayat, saya suruh cara mencari Surah 39 ayat 39. Kira-kira waktu sepeminum rokok kemudian si Fulan bertelepon lagi bahwa ayat itu mengatakan: Katakanlah, hai kaumku beramallah kamu menurut keadaanmu, sesungguhnya aku beramal pula menurut keadaanku. Kata si Fulan tidak ada sana sekali hubungannya dengan posisi. Lalu saya jawab itu mengambil waktu untuk menjelaskannya di telepon, walaupun pulsanya saudara yang bayar, namun menghalangi telepon yang akan masuk. Maka lahirlah judul di atas itu dalam seri ini.

Sebelum membahas ingin saya mengutip sedikit dari Seri 430:
Kinerja sistem mekanisme organisasi sangat ditentukan oleh gaya kepemimpinan. Kinerja para menteri sangat ditentukan oleh gaya kepemimpinan Gus Dur sebagai Presiden. Gaya kepemimpinan masa lalu Gus Dur dalam dunia informal yang berakar dari pesantren, kemudian bertumbuh dalam iklim LSM dibawa masuk ke dalam dunia formal pemerintahan. Alangkah baiknya jika Gus Dur introspeksi diri mengubah gaya kepemimpinan pesantren “one man show”. Mengubah sikapnya yang dibentuk oleh iklim LSM, bersikap lempar “ucap” ke sana ke mari. yang “kontroversial-kontraproduktif”. Kita berharap semoga Gus Dur dapat memimpin Republik Indonesia ini hingga akhir masa jabatannya tahun 2004. Sebab nanti akan menjadi preseden buruk menurunkan Presiden di tengah jalan.

***

-- QL YQWM A'AMLWA 'ALY MKANTKM ANY ‘AAML FSWF T’ALMWN (S. ALZMR, 39), dibaca: Qul ya- qawmi'malu- 'ala- maka-natikum inni- ‘a-milun fasawfa ta’lamu-n, (s. azzumar), artinya: Hai kaumku berkerjalah pada posisi kamu, sesungguhnya aku bekerja (pada posisi saya pula), maka nanti kamu ketahui (39:39). Akan diperbincangkan dahulu terjemahan MKAN (maka-n). Dalam tafsir-tafsir berbahasa Indonesia maka-n umumnya diterjemahkan dengan keadaan, ke dalam bahasa Belanda dengan vermogen ke dalam bahasa Inggris dengan ability, power. Kita mulai dahulu dengan terjemahan Indonesia. Keadaan dalam bahasa 'Arabnya ialah HALT (ha-lah, dari sini berasal kata hal). Terjemahan ini bersifat umum tidak spesifik, jadi vermogen, ability dan power termasuk di dalamnya. Selanjutnya akan ditinjau terjemahan Belanda vermogen (= kemampuan) dalam bahasa 'Arabnya ialah QART (qadrah), MQDRT (maqdarah) MHART (maha-rah, adapun kata mahar dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ini). Seterusnya akan disorot terjemahan Inggris ability dan power. Ability sama betul artinya dengan vermogen dalam bahasa Belanda, jadi kita langsung tinjau saja power (=kekuasaan). Dalam bahasa 'Arabnya power ini adalah SLTHH (sulthah), DWLT (daulah), QWT (quwwah), QWY (qawiyy).

Dari hasil survei di atas itu tidak kita dapatkan kata MKAN (maka-n). Sinonim dari kata MKAN adalah MRKZ (markaz), MWQF (mauquf, inti ibadah haji adalah wuquf di 'Arafah, mauquf, wuquf dari akar kata WQF) dan MWDH'A (maudhi'). Wadha'a fi- maka-n, = menempati posisi, wadha'a fi- markaz, = menempati markas. Demikianlah maka kita terjemahkan maka-n dalam ayat (39:39) dengan kata “posisi”. Terjemahan dengan kata “spesifik posisi ini” sungguh terjemahan yang kontekstual dengan gaya kepemipinan dan visi seorang pemimpin. Pada waktu Nabi Muhammad SAW masih di Makkah, posisi beliau dan ummat Islam dalam keadaan maf’u-lun bih, objek, maka gaya Nabi Muhammad SAW adalah persuasif, namun setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah menjadi fa-‘il, subyek, gaya Nabi Muhammad SAW menjadi “tegas atas orang kafir, ramah di antara mereka. Di bawah ini disajikan pula dua contoh tentang berubahnya gaya kepemimpinan berhubung berubahnya pula posisinya.

***

Prof DR Ahmad Amiruddin pada waktu masih menjadi Rektor Universitas Hasanuddin berubah visinya tatkala menjadi Gubernur Sulawesi Selatan. Pada waktu Amiruddin wadha'a fi- maka-n, menempati posisi Rektor visinya mengenai Kuliah Kerja Nyata (saya tidak singkatkan dengan KKN) ialah bahwa Kuliah Kerja Nyata itu harus bernuansa pendidikan. Akan tetapi tatkala Amiruddin wadha'a fi- maka-n, menempati posisi Gubernur, visinya berubah mengenai Kuliah Kerja Nyata, yaitu bahwa nuansa Kuliah Kerja Nyata itu adalah pengabdian masyarakat.

Abu Bakar AshShiddiq RA pembawaannya bergaya lemah lembut pada waktu masih menempati posisi sebagai tokoh masyarakat. Akan tetapi pada waktu beliau sudah menempati posisi sebagai Khalifah yang Pertama, gaya beliau menjadi tegas dan keras. Tatkala ada beberapa Qabilah tidak mau membayar zakat, beliau mengambil keputusan untuk memerangi mereka. Walaupun 'Umar bnu Khattab RA (yang kemudian menjadi Khalifah yang Kedua) memberikan nasihat supaya diadakan pendekatan yang persuasif, namun beliau tetap dalam visinya, bahwa ketidak sediaan Qabilah itu membayar zakat, bukan karena ketidak sediaan membayar zakat itu an sich, melainkan mempunyai latar belakang poltik, yaitu pembangkangan terhadap pusat pemerintahan Madinah. Demikian pula Abu Bakar AshShiddiq RA sebagai khalifah mengambil keputusan tegas sekali-gus berperang menghadapi dua raksasa di barat yaitu Kerajaan Rum (Romawi) dan di timur yaitu Kerajaan Sassan (Parsi). Qabilah-qabilah perbatasan yang selama ini di bawah kontrol kerajaan Rum dan Sassan, tidak lagi mentaati kewajibannya sebagai qabilah jajahan, oleh karena telah masuk dalam wilayah administrasi Dawlah Islamiyah Madinah. Itulah sebabnya Abu Bakar AshShiddiq RA yang mempunyai visi harus menegakkan wibawa Dawlah Islamiyah Madinah harus pula bergaya kepemimpian bersikap keras dan tegas dengan membuat keputusan berani berperang melawan kedua raksasa itu. Dan seperti kita lihat dalam sejarah, peperangan melawan kedua raksasa itu kemudian diteruskan oleh Khalifah yang Kedua Umar bnu Khattab RA yang akhirnya dimenangkan oleh Dawlah Islamiyah Madinah. WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.

*** Makassar, 9 Juli 2000